Oleh : Anton Christanto : Pengamat dan Pemerhati Sosial Politik di Boyolali
Mudanews.com OPINI – Kontroversi mengenai keaslian ijazah Presiden Joko Widodo kembali memanas pada pertengahan tahun 2025. Isu yang sempat meredup pasca Pilpres 2019 kini muncul lagi dengan gelombang tekanan hukum dan opini publik yang lebih sistematis. Kelompok yang mengangkat isu ini mengklaim bahwa dokumen akademik Jokowi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) tidak otentik, dengan berbagai alasan mulai dari ketidaksesuaian font, desain dokumen, hingga dugaan manipulasi data akademik.
Namun di balik polemik ini, publik bertanya-tanya: apakah ini benar murni gerakan pembuktian hukum, atau justru bagian dari strategi politik untuk mendelegitimasi sosok yang selama 10 tahun terakhir menjadi pusat kekuasaan nasional?
🧠 Alasan Resmi Kelompok Penggugat
Kelompok-kelompok seperti Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA), Rismon Sianipar, dan sejumlah tokoh lainnya memberikan sederet dalih teknis yang menjadi dasar gugatan mereka. Di antaranya:
1. Perbedaan font dalam ijazah (menggunakan Times New Roman yang diklaim belum populer pada 1985).
2. Stempel dan tanda tangan yang dianggap “modern” untuk era 1980-an.
3. Perbedaan wajah antara foto di ijazah dan dokumentasi masa muda Jokowi.
4. Tidak adanya nama Jokowi dalam daftar wisudawan tahun 1985 (klaim belum terbukti secara sahih).
5. Ketidaksesuaian arsip akademik yang diajukan ke pengadilan dengan basis data UGM (menurut pihak penggugat).
Meski semua tuduhan ini telah dibantah oleh pihak UGM dan dinyatakan tidak berdasar oleh Bareskrim pada Mei 2025, kelompok ini terus menuntut penyelidikan lanjutan bahkan sampai ke Mahkamah Internasional (sebuah langkah yang secara hukum tidak relevan tapi punya daya tarik politik).
🎯 Tujuan Terselubung: Membaca Arah Politik di Balik Polemik
Jika dibedah lebih dalam, ada beberapa tujuan tersirat dari penggiringan isu ini:
1. Mendelegitimasi Jokowi pasca kekuasaan
Jokowi yang sudah tak menjabat per Juli 2024 tetap memiliki pengaruh politik kuat, baik melalui putranya Gibran Rakabuming yang kini menjadi Wakil Presiden, maupun melalui jaringan elite kekuasaan. Isu ijazah ini bisa menghancurkan simbol moral Jokowi dan memberi pembenaran politik untuk menyerang para loyalisnya.
2. Membuka pintu delegitimasi Gibran dan Pilpres 2024
Dengan menargetkan keabsahan Presiden ke-7 RI, kelompok ini mencoba menanamkan gagasan bahwa proses politik yang dihasilkan oleh Jokowi adalah hasil dari manipulasi sistemik. Jika dijadikan dasar hukum, hal ini bisa berujung pada gugatan terhadap keabsahan Gibran sebagai pejabat publik—meskipun secara konstitusional ini sangat sulit.
3. Menggiring persepsi publik bahwa negara sedang ditipu
Narasi “pemimpin palsu dengan ijazah palsu” sangat efektif dalam demokrasi populis, di mana logika digantikan oleh emosi dan kecurigaan. Dengan mempermasalahkan hal yang secara teknis tak mudah diverifikasi oleh publik, mereka menciptakan “ruang ketidakpastian” yang bisa terus dimanfaatkan untuk menggoreng isu politik.
⚖️ Apa yang Terjadi Jika Ijazah Jokowi Terbukti Palsu?
Ini adalah pertanyaan yang serius, dan jawabannya menyentuh dasar hukum tata negara Indonesia.
A. Implikasi Hukum
Jika terbukti di pengadilan bahwa ijazah Jokowi benar-benar palsu:
1. Jokowi bisa dijerat pasal pidana:
Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen (hukuman maksimal 6 tahun).
Pasal 266 KUHP bila pemalsuan digunakan dalam administrasi negara.
Pasal 93 UU Administrasi Pemerintahan bila terbukti memberikan keterangan palsu saat mencalonkan diri.
2. Gugatan perdata terhadap SK Presiden RI dapat dimungkinkan, walau akan kompleks dan menghadapi resistensi dari Mahkamah Konstitusi.
B. Implikasi Politik
1. Membuka celah pemakzulan retroaktif secara moral—walau tidak secara konstitusional.
2. Membatalkan legitimasi keputusan politik besar selama era Jokowi, termasuk pemilihan kepala lembaga negara, kebijakan ekonomi besar, hingga pengangkatan duta besar dan pejabat tinggi.
3. Memunculkan krisis kepercayaan publik terhadap institusi akademik (UGM), pemilu, dan bahkan Mahkamah Konstitusi.
4. Efek domino terhadap Gibran dan elite eks-Jokowi bisa menyebabkan reshuffle, tekanan politik, atau bahkan upaya hukum lanjutan.
🧭 Sebaliknya: Apa Jika Ternyata Ijazah Jokowi Asli?
1. Gugatan terhadap Jokowi menjadi fitnah berat, dan pelapor dapat dijerat UU ITE atau pencemaran nama baik.
2. Munculnya simpati publik terhadap Jokowi, yang bisa memperkuat posisi politik moralnya sebagai “korban politik”.
3. Menjadi bukti bahwa politik kebencian tidak berhasil menggulingkan fakta hukum.
4. Membungkam kelompok oposisi dengan konsekuensi hukum, yang justru memperkuat citra Jokowi sebagai tokoh yang sah dan bermartabat.
🔚 Demokrasi Butuh Kebenaran, Bukan Kebencian
Polemik ijazah Jokowi bukan lagi sekadar urusan selembar kertas. Ini adalah pertarungan persepsi, simbol, dan warisan kekuasaan. Di satu sisi, publik berhak mengawasi pejabat negara. Tapi di sisi lain, bila isu ini digiring dengan kebencian tanpa bukti kuat, maka demokrasi kita sedang diseret ke jurang manipulasi kolektif.
Jokowi bisa saja dibenci atau dikritik karena kebijakan, gaya kepemimpinan, atau arah politiknya. Tapi membangun narasi bahwa seluruh hidupnya adalah kebohongan akademik, tanpa fakta yang sahih, adalah bentuk penghancuran karakter yang berbahaya bagi kehidupan demokrasi bangsa ini.
“Hukum adalah alat keadilan, bukan senjata politik.”
***
Berikut adalah tentang ijazah Joko Widodo (Jokowi), termasuk perkembangan terkini:
🎓 Latar Belakang & Tuduhan
Jokowi lulus dari Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 5 November 1985 .
Sejak 2014 dan makin intens sejak Pilpres 2022, muncul tuduhan bahwa ijazah dan skripsinya palsu—disebutkan karena perbedaan font seperti Times New Roman yang diduga belum tersedia pada saat itu .
🏛️ Klarifikasi Resmi
UGM secara tegas membantah tuduhan tersebut. Mereka menyatakan font yang digunakan di percetakan lokal sah dan menunjukkan bahwa dokumen autentik tersedia dalam arsip mereka .
Pada 22 Mei 2025, Bareskrim Polri menyatakan setelah memeriksa dokumen asli, kertas, tinta, watermark, dan tanda tangan, “ijazah Jokowi autentik”, serta menghentikan penyelidikan awal karena tidak ada indikasi pidana .
🔍 Proses Peninjauan Ulang
Tekanan dari Roy Suryo, Rismon Sianipar, TPUA, dan lainnya membuat polisi membuka peninjauan khusus kasus pada awal Juli 2025 .
Tim penggugat menyampaikan hasil analisis forensik foto foto ijazah (ELA) dan klaim ketidaksesuaian foto serta karakter dokumen .
Namun, tim hukum Jokowi menegaskan tidak ada bukti sah bahwa dokumen asli dipalsukan dan pemanggilan ulang ini hanya memenuhi prosedur pemeriksaan ulang .
⚖️ Proses Hukum Saat Ini
Jaksa dan petugas polisi telah menanyai beberapa pihak, termasuk ajudan Jokowi, Syarif Muhammad Fitriansyah sebagai saksi .
Di saat yang sama, Jokowi mengajukan laporan atas pelapor menggunakan UU ITE terhadap klaim palsu .
Kasus ini telah memasuki tahap penyidikan di Polda Metro Jaya sejak sekitar 10 Juli 2025 .
⏱️ Garis Waktu Singkat
Tanggal Peristiwa
1985 Jokowi lulus dari UGM (5 Nov)
2014–2022 Isu ijazah palsu muncul sporadis
Mar 2025 Rismon cs menuduh font tak sesuai era
Apr 2025 Sidang perdata Solo digelar; Jokowi tidak hadir langsung
Mei 2025 Bareskrim menyatakan ijazah asli → kasus dihentikan sementara
Juli 2025 Peninjauan ulang oleh polisi, penyidikan lanjutan, interogasi saksi
🧭 Simpulan Terkini
1. IJAZAH ASLI: Menurut UGM dan Bareskrim Polri, ijazah Jokowi autentik.
2. PENINJAUAN LANJUTAN: Klaim palsu terus muncul sehingga polisi kembali meninjau sejak Juli 2025.
3. TIDAK ADA BUKTI KUALITATIF: Hingga kini belum ada bukti kuat yang membalik status autentik dokumen.
4. ASPEK POLITIK: Jokowi menilai tuduhan ini bertujuan menjatuhkan reputasinya pasca-kejabatan .
🎯 Kesimpulannya
Hingga tanggal 21 Juli 2025, ijazah Jokowi masih dinyatakan resmi dan sah oleh lembaga yang berwenang. Meski begitu, dinamika politik membuat kasus ini terus berlanjut dengan proses hukum berjalan. Situasinya mencerminkan bagaimana rekam jejak akademik bisa menjadi prajurit dalam medan persaingan politik.
****
Alasan dan tujuan dari kelompok orang yang mempermasalahkan ijazah Presiden Joko Widodo (Jokowi) sangat beragam, dan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga dimensi utama: hukum, politik, dan psikologi sosial.
Berikut ini penjelasan lengkapnya:
🔍 I. Alasan Formal yang Dinyatakan Kelompok Penggugat
Kelompok seperti TPUA (Tim Pembela Ulama dan Aktivis), Rismon Sianipar, Roy Suryo, dan sejumlah tokoh di media sosial menyampaikan alasan-alasan berikut:
1. Keraguan terhadap keaslian dokumen
Mereka menuduh:
Font dalam ijazah (misalnya Times New Roman) belum lazim dipakai tahun 1985.
Kertas, tanda tangan, dan stempel tampak “modern”.
Perbedaan wajah Jokowi di foto ijazah dibanding foto lama.
Tidak ditemukan nama Jokowi di buku yudisium/daftar wisudawan (klaim belum terbukti).
2. Klaim adanya pemalsuan identitas akademik
Jika terbukti, menurut mereka, maka:
Jokowi telah membohongi publik dan penyelenggara Pemilu.
Masyarakat punya hak untuk menuntut keabsahan semua keputusan yang pernah ia buat sebagai pejabat negara.
🎯 II. Tujuan Terselubung atau Tak Langsung (Interpretasi Kritis)
1. Mendelegitimasi warisan kekuasaan Jokowi
Setelah Jokowi tak lagi menjabat, ada kekuatan politik yang khawatir akan pengaruhnya tetap kuat lewat:
Anaknya (Gibran Rakabuming) sebagai Wapres.
Koalisi kekuasaan baru yang tetap melibatkan loyalis Jokowi.
Tuduhan palsu terhadap ijazah bisa menjadi cara untuk:
Menghancurkan kredibilitas pribadi Jokowi.
Membatalkan kemenangan politik Gibran (melalui “delegitimasi genetik”).
2. Menyerang dengan isu yang sulit dibantah sempurna
Ijazah adalah dokumen lama, sebagian besar masyarakat tidak bisa mengecek keasliannya secara langsung.
Maka, sangat efektif sebagai alat kampanye hitam, karena:
Mudah disebarkan.
Membuat keraguan yang terus-menerus.
Memunculkan ilusi bahwa ada “yang ditutupi”.
3. Pancingan agar Jokowi bereaksi emosional
Dengan membuat Jokowi terus membela diri:
Ia tampak defensif dan tidak tenang.
Masyarakat bisa merasa “ada yang aneh” karena terus dibela.
Persepsi publik bisa berubah, walau tanpa bukti nyata.
🧠 III. Aspek Psikologi Sosial: Mengapa Isu Ini Laku?
1. Kebutuhan publik untuk menemukan “celah” pada tokoh besar
Ada sekelompok masyarakat yang merasa:
Jokowi terlalu sempurna di media.
Tidak mungkin “anak tukang kayu” jadi presiden tanpa “sesuatu”.
Maka, mereka mencari dan percaya pada narasi alternatif (conspiracy bias).
2. Budaya sensasionalisme di era digital
Isu yang bersifat teknis dan kuno (dokumen 40 tahun lalu) menjadi viral karena:
TikTok, YouTube, dan X (Twitter) memudahkan “pakar instan” membahas font, tinta, dll.
Masyarakat terpapar terus-menerus → jadi merasa itu penting.
3. Rasa frustrasi terhadap elite
Banyak yang kecewa dengan Jokowi karena:
Diduga berkhianat ke demokrasi (meloloskan Gibran, kerja sama dengan Prabowo).
Isu ini jadi saluran “melampiaskan” kekecewaan dengan cara simbolik.
🧾 Kesimpulan:
Kelompok yang mempermasalahkan ijazah Jokowi bertindak bukan semata soal dokumen, tapi:
Untuk mendelegitimasi kepemimpinan.
Untuk memukul balik kekuatan politik Jokowi dan keluarganya.
Untuk memainkan opini publik menjelang transisi kekuasaan.
Isu ini mencerminkan bagaimana politik identitas, disinformasi, dan dendam kekuasaan bercampur dalam demokrasi pasca-kepemimpinan.