Hakikat Belajar : Kemerdekaan Ruhani dari Sifat Material

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi memiliki tagline “Merdeka Belajar”. Sebuah tagline yang sempat membuat senyum anak bangsa merekah. Anak bangsa menerima angin sejuk kemerdekaan dalam pembelajaran dunia pendidikan.

Sebuah wujud hakikat tentu saja memiliki sifat dan tata cara untuk mencapai wujud hakikat tersebut. Jika “Merdeka Belajar” kita anggap sebagai wujud hakikat, maka tentu saja harus ada sifat dari “Merdeka Belajar” tersebut. Lebih dari itu, tata cara atau metodologi “Merdeka Belajar” pun harus mampu dikuasai pengajar dan peserta ajar.

Tanpa kesadaran terhadap epistemologi (wujud hakikat/rasa), ontologi (pengetahuan tentang hakikat/rasa), metodologi (cara mewujudkan rasa) dan aksiologi (pengamalan terhadap rasa), tagline yang hari ini viral itu hanya akan berbuah penyerapan anggaran sosialiasi dan publikasi tanpa kepastian terwujudnya produk pendidikan.

Kemerdekaan atau bahasa arab menyebutnya sebagai Istiqlaliyah, disadari atau tidak sebenarnya merupakan wilayah ruhani. Sehingga, dalam rangka mewujudkan “Merdeka Belajar”, ruhani pengajar dan peserta ajar haruslah merdeka terlebih dahulu.

Lawan dari wilayah ruhani manusia adalah wilayah jasmaninya sendiri. Selama ini, ruhani tersebut terjajah oleh jasmani. Ruhani tergerak mengoperasikan jasmani bukan untuk kepentingan ruhani, melainkan untuk kepentingan jasmani.

Jika bicara konteks pendidikan, spirit mengajar haruslah terbebas dari wujud jasmani. Istilah jasmani ini sebenarnya merujuk pada sifat material. Kumpulan kata dan kalimat dalam buku berisi sifat material. Suara yang berisi simbol bahasa dalam komunikasi adalah juga sifat material.

Sehingga, saat kalimat dan simbol bahasa itu dipahami sebagai sumber pengetahuan pengajar dan diajarkan kembali kepada peserta ajar. Maka sebenarnya, pengajar itu sedang mengajarkan sifat material, bukan mengajarkan kemerdekaan yang merupakan sifat ruhani.

Berbeda halnya jika dalam diri pengajar sudah muncul sifat kemerdekaan ruhani dari berbagai sifat material. Seluruh bahan ajar yang muncul dari dalam jiwanya itu akan pula bersifat memerdekakan ruhani peserta ajarnya.

Metode Menuju Kemerdekaan Ruhani

Ruhani terpenjara oleh material jasmani setiap saat karena memang posisinya saat ini masih berada di dalam jasmani. Akan tetapi, peluang untuk kemerdekaan ruhani itu masih sangat besar jika manusia mengetahui metodologinya.

Hakikat diri manusia adalah pikirannya sendiri. Jika pikiran manusia masih dipenuhi oleh simbol material baik masalah kehidupan maupun pengetahuan tentang huruf dan suara. Maka hakikatnya, manusia itu belumlah merdeka.

Mampukah memerdekakan manusia lain jika diri sendiri masih belum merdeka? Mampukah “Merdeka Belajar” jika pengajar dan peserta ajar masih terpenjara oleh sesuatu yang bersifat material? Tentu saja jawabannya, jauh panggang dari api, jauh gunung dari laut.

Tidak banyak pihak yang mengkaji hakikat rasa yang terkandung dalam “Laa Ilaaha Illallah”. Mereka menganggap itu hanya sebagai rangkaian huruf yang sudah menjadi kata dan kalimat, kemudian terbahasakan.

Padahal, “Laa Ilaaha Illallah” adalah spirit kemerdekaan jiwa dari segenap material jasmani bahkan dunia. Pikiran sebagai bagian dari ruhani manusia terbebaskan dari seluruh sifat material tersebut sehingga berfokus pada rasa positif di dalam hati manusia tersebut. Hati adalah Sang Pemilik Kemerdekaan.

Hati yang sudah merdeka dari sifat material, akan menggerakan pikiran untuk berpikir positif. Hati yang sudah merdeka dari sifat material, akan menggerakan lisan untuk berbahasa dengan bahasa positif. Hati yang sudah merdeka dari sifat material, akan menggerakan seluruh panca indera untuk menarik pelajaran dari kehidupan.

Jika metode “Laa Ilahaa Illallah” atau Dzikrullah ini terlaksana secara menyeluruh, maka guru bagi para pengajar adalah sifat ilahiyah di dalam hatinya. Guru bagi para peserta ajar pun adalah sifat ilahiyah di dalam hatinya. Baik pengajar maupun peserta ajar kemudian terbebas dari bahan ajar berupa kumpulan silabus dan kurikulum yang bersifat material.

Tugas pengajar kemudian menjadi sangat sederhana, yakni membukakan kesadaran ruhani peserta ajar bahwa di dalam hati terdapat sifat ilahiyah harus mampu memerdekakan ruhani untuk menggerakan jasmani ke dalam kebaikan. Sehingga tercapailah, Pendidikan Karakter yang sesungguhnya. (*)

Oleh : Aba Farhan
Kabid Pengembangan Sumber Daya Manusia TQN Cermin Hati, Cimaung Purwakarta

- Advertisement -

Berita Terkini