LP Ma’arif NU: Apa Salahnya Guru Jadi PNS?

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Jakarta – Lembaga Pendidikan Ma’arif PBNU mempertanyakan kebijakan penghapusan guru dari formasi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan hanya diangkat sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

“Jangan hanya direkrut sebagai PPPK dong. Apa salahnya guru jadi PNS,” kata KH Arifin Junaidi, Ketua LP Ma’arif PBNU, kepada NU Online pada Selasa (5/1).

Ia menyampaikan bahwa saat ini sedang kekurangan 1,3 juta guru, sedangkan pemerintah hanya mengangkat 1 juta PPPK dengan kontrak lima tahun kerja. Tentu bisa diputus sewaktu-waktu. Dengan demikian, menurutnya, permasalahan kekurangan guru tidak akan pernah bisa diatasi jika hal itu tetap dilakukan.

“Ini kan jelas ada kekurangan guru 1,3 juta guru. Nah, pemerintah akan mengangkat satu juta. Itu pun masih kurang 300 ribu. Tidak sebagai PNS. Itu berlakunya 5 tahun. Kalau terus menerus akan menjadi bom waktu. Lima tahun akan ada kekurangan lagi,” katanya.

Kiai Arifin mengaku senang dengan adanya guru PNS yang diperbantukan ke sekolah swasta. Di naungan Ma’arif sendiri, ia menyebut ada 13 ribu guru PNS. Namun, jika guru-guru PNS diangkat ke madrasah negeri, tentu tidak akan tertampung mengingat jumlahnya hanya lima persen dari total keseluruhan madrasah, yakni sekitar 3.650

Menurutnya, guru-guru yang diperbantukan ke sekolah atau madrasah swasta merupakan bentuk dukungan pemerintah kepada swasta yang membantu pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan.

Ia mencatat bahwa jika PPPK itu nantinya akan ditempatkan di sekolah negeri, ia menyampaikan hal tersebut merugikan pihak swasta. Sebab, mereka telah lama mengajar di institusi tersebut.

Oleh karena itu, jika PPPK tetap diterapkan, Kiai Arifin meminta agar guru tersebut tetap mengajar di sekolah atau madrasah semula.

“PPPK yang sudah mengajar di swasta tetap mengajar di sekolah semula, tidak di negeri. Ini kerja sama swasta dan pemerintah begitu,” ujarnya.

Artinya, PPPK jangan ditarik dari sekolah semula. Tetapi, biarkan guru yang mendaftar di PPPK tetap mengajar di sana. Lebih lanjut, LP Ma’arif juga meminta PPPK tidak hanya di sekolah, tetapi juga di madrasah, di bawah Kemenag.

“Jangan kemudian Kemendikbud membuang loh itu urusannya Kemenag. Kan ada BKN juga,” ujarnya.

Bersyukur sebagai Honorer Muhammad Majdi, guru di madrasah di Cirebon, Jawa Barat, juga berharap PPPK menjadi solusi bagi guru-guru honorer yang tidak menjadi PNS.

Meskipun demikian, ada juga guru yang tidak mempermasalahkan terkait penghapusan guru dari formasi PNS. Bagi Hasyim Azhari, seorang guru di Lumajang, Jawa Timur, untuk sampai ke sana sangat repot.

“Agar jadi PNS itu repot banget, apalagi sekarang lulusan S1 keguruan itu berhamburan di mana-mana,” katanya.

Hasyim mengaku sudah beruntung dan bersyukur atas karunia menjadi guru, meskipun sekadar honorer.

“Sudah jadi guru meski itu hanya honorer sudah untung banget dan itu perlu disyukuri karena udah bisa ngajar meski gaji segitu, bisa dikatakan kurang,” katanya.

Memang, ia mengakui gajinya tidak seberapa. Tetapi, ia meniatkan diri sebagai bentuk khidmat terhadap almamaternya.

Untungnya, ada dana hibah non-NIP sebesar Rp 500 ribu dari pemerintah melalui Dinas Pendidikan. Hal itu ditransfer langsung ke rekening pribadi guru masing-masing.

Baginya, hal itu sudah cukup untuk menghidupi sendirinya yang masih lajang. Namun, rekan-rekan sejawatnya mesti mencari tambahan penghasilan selepas mengajar guna mencukupi kebutuhan keluarga.

Sumber : NU Online

- Advertisement -

Berita Terkini