Pendidikan yang Berkebudayaan Sebagai Pendidikan Budi Pekerti

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Jakarta – Universitas Paramadina Jakarta Gelar Webinar dengan tema “Pendidikan yang Berkebudayaan dalam Konteks Keislaman, Keindonesiaan dan Kemodernan”, Rabu (25/11/2020).

Pendidikan yang berkebudayaan menemukan relevansinya dimasa pandemi karena pada akhirnya kita bertahan, mengatasi situasi kekinian umat manusia ini dengan nilai yang mempererat rasa kemanusiaan, persaudararaan sesama umat manusia.

Demikian pernyataan Yudi Latif PhD, Intelektual Muslim dan Pemikir Kebangsaan, dalam kuliah umum yang diselenggarakan secara virtual oleh Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina ini.

Acara yang dihadiri 450 peserta dari kalangan akademisi dan masyarakat yang mengambil tema tersebut dibuka dengan Keynote Speech oleh Dr Fatchiah Kertamuda, Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Paramadina.

“Gagasan pendidikan yang berkebudayaan sangat erat dengan ide-ide yang diusung oleh Alm Prof Dr Nurcholish Madjid (Cak Nur), pendiri Universitas Paramadina,” katanya.

Yudi Latif, sebagai narasumber pertama menerangkan bahwa, pendidikan yang berkebudayaan pada hakikatnya adalah pendidikan budi pekerti.

Merujuk pada gagasan Ki Hajar Dewantara, Yudi Latif memaparkan bahwa, hakikat pendidikan adalah proses menjadi manusia seutuhnya dengan belajar dari kehidupan sepanjang hayat atau menjadi insan kamil. Dan jantung pendidikan adalah budi pekerti.

“Budi terkait dengan dimensi batin, yakni pikiran, perasaan dan kemauan atau cipta, karsa dan rasa. Sedangkan pekerti berhubungan dengan aspek lahir, yaitu daya. Budi pekerti sama dengan budi daya atau budaya,” jelasnya.

Dengan demikian, pendidikan budi pekerti itu pendidikan berkebudayaan yang mengintegrasikan daya pikir, daya rasa, daya karsa. pikiran, perasaan, dan kemauan yang melahirkan daya, yang mendorong perbuatan yang baik, benar dan indah.

Dalam pendidikan yang berkebudayaan, apaakah yang dikembangkan? (1) olah pikir (2) olah rasa (etika, estetika, spiritualitas). (3) olah karsa (kreativitas). (4) olah raga (ketangkasan).

Bagaimana cara mengembangkannya? Harus jiwa merdeka untuk menangkap dari mana pun mata air kebajikan itu muncul, terutama dari tradisi (masa lalu). Tak ada cerita bangsa maju bangsa yang tak mampu merawat warisan terbaik dari masa lalunya. Cak Nur sendiri mengapresiasi hal modern sekaligus tradisi. Nah, tradisi diangkat sejauh mampu mengembangkan mutu budaya, mutu keadaban, mutu persatuan.

“Selain itu, dibutuhkan sikap terbuka hal baru dari dalam maupun luar. Manusia merdeka adalah manusia berbudaya. manusia berbudaya itu merawat warisan terbaik dari masa lalu, terbuka pada unsur-unsur baru sejauh mengembangkan mutu budaya, mutu peradaban, dan mutu persatuan,” pungkasnya.

Nara Sumber kedua, M Wahyuni Nafis MA, Ketua Nurcholish Madjid Society, menambahkan perspektif Keparamadinaan. Menurutnya, ada empat hal penting dari nilai keparamadinaan yang kontekstual dengan pendidikan yang berkebudayaan.

Pertama, iman yang menyadarkan manusia akan hakikat dirinya sebagai makhluk spiritual.

Kedua, ilmu pengetahuan. Manusia harus bersikap dan bertindak berdasar pengetahuan, bukan ketidaktahuan. Ketiga, amal. Ilmu harus diamalkan, diterapkan dalam sejarah. Keempat, akhlak atau budi pekerti yang menuntun manusia menjalin koneksi yang baik antar sesamanya.

“Empat hal ini sangat penting dan harus melekat dalam diri kita sebagai akademisi yang mengamalkan nilai-nilai keparamadinaan,” pungkasnya.

Pendidikan yang Berkebudayaan Sebagai Pendidikan Budi Pekerti (2)
Universitas Paramadina Jakarta Gelar Webinar

Nara Sumber terakhir, Tia Rahmaniah MPsi, dekan Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina, mempertegas bahwa pendidikan haruslah berorientasi pada pengembangan kemampuan dan akhlak yang ditujukan agar terjadi perubahan kognitif, afektif, psikomotor.

“Oleh karena itu, siapa pun yang ingin jadi pendidikan perlu mengenal sisi psikologis agar tepat sasaran,” katanya.

Selanjutnya, dalam proses pendidikan peserta didik didorong untuk aktif, tak pasif, dan responsif. Pendidikan harus memberi reward atas respon bentuk pengakuan, pujian dan lainnya. Jadi, ada interaksi dua arah pendidik dan peserta didik. Dengan kata lain, metode pengajaran diarahkan agar peserta didik menjadi manusia otonom dan kreatif.

Oleh sebab itu, para pendidikan perlu mengetahui seputar perkembangan kognitif manusia, gaya belajar dan sebagainya sebagai modal dalam proses pendidikan yang berhasil.

”Pendidikan yang berhasil akan menjadi sumber energi masyarakat bangsa dan negara,” tutup Tia Rahmania mengutip pernyataan Cak Nur. (red)

- Advertisement -

Berita Terkini