Cita-cita dan Kenyataan

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Setiap orang punya cita-cita, dan setiap orang punya kenyataan. Dari sekian banyak yang bercita-cita, banyak juga yang akhirnya harus berbeda dengan kenyataan hidupnya. Saya salah satunya, dari seringnya saya ditanya cita-citamu apa ketika masih di sekolah dasar (SD), saya bercita-cita jadi Astronot. Cita-cita yang sangat besar memang untuk seorang seperti saya.

Menginjak SMP cita-cita berubah, menjadi tentara. Tiap ditanya cita-cita oleh guru, saya menjawab “ingin menjadi Tentara Republik Indonesia/TNI, Bu” waktu berjalan hingga suatu ketika kecelakaan menimpa, waktu bermain bola tangan harus patah. Untuk jadi TNI syaratnya tidak boleh ada bekas cacat. Akhirnya cita-cita pun dibiarkan kandas.

Memasuki SMA, cita-cita itu berganti lagi. Saya ingin merantau ke luar kota. Bekerja di tempat yang jauh dari rumah, saya ingin hidup mandiri jauh dari orang tua. Karena saya sadari, saya termasuk anak yang dimanja, saya anak bungsu dari dua bersaudara. Saya ingin merasakan susahnya berjuang mencari uang, dan hanya pulang jika hari raya tiba. Dan benar saja, selepas keluar sekolah saya sempat mengalaminya, 2 bulan merantau di Ibu Kota kerja di salah satu restoran di Jakarta Pusat.

2 bulan bekerja, sempat nangis saking rindunya dengan orang tua. Jika tidur, yang ada di mimpi cuma wajah ibu. Selang beberpa bulan akhirnya saya memutuskan berhenti. Karena waktu kerja yang membuat sangat lelah, kerja dari jam 6 pagi, tutup jam 11 malam, istirahat cuma beberapa saat. Tapi di sini ada ketenangan hati, dan rasa tenang. Meski fisik tak cukup kuat. Saya pun mencari pekerjaan lain, ke sana kemari dan tertawa, tak ada juga yang menerima.

Akhirnya orang tua menelepon, jika salah satu sekolah meminta saya untuk bekerja di sana, saya berpikir “di sekolah?” itu bukan cita-cita saya dari sejak dilahirkan, saya tidak pernah terpikirkan untuk mengabdikan diri bekerja di sekolah.

Perdebatan sama orang tua pun terjadi, hingga harus mengasingkan diri ke luar kota. Karena tak mau menerima pekerjaan tersebut. Sedangkan orang tua tetap memaksa, kedua-duanya malah, tak ada yang membela. Saya pun, pasrah menerimanya. Dan pulang dengan perasaan terpaksa, kareka kasian dengan apa yang diharapkan orang tua. Mereka ingin ada penerus almarhum kakek saya, yang dahulu berprofesi sebagai pegawai negeri sipil di bidang pendidikan.

Saya menerima untuk bekerja, meski hati terus berontak hingga sekarang ini, sembilan tahun sudah mengabdikan diri dengan perasaan terpaksa dan hati yang sama sekali belum bisa menerima. Saya bekerja, hanya karena tak ingin membuat orang tua kecewa. Itu saja niatnya. Yang masih dipegang hingga sekarang.

Tak apa, saya tersiksa asal orang tua bahagia. Bukan tidak bisa bersyukur, bukan tidak bisa ikhlas. Saya sudah berusaha beberapa tahun untuk menerima semuanya, namun kenyataannya, hati tetap saja menolak. Ada perasaan lelah yang berlebihan ketika melakukan hal yang dipaksakan.

Pesannya, untuk para orang tua. Jangan terlalu memaksakan kehendak anak, biarkan ia menemukan passionnya sendiri. Karena kata orang, “pekerjaan yang membahagiakan, ialah pekerjaan yang sesuai dengan hobi. Atau hal yang memang digemari.”

2019

Penulis adalah Dede Humaedi

- Advertisement -

Berita Terkini