Rejuvenasi Pendidikan (“Syarah Buku Sekolah Saja Tidak Pernah Cukup“ Karangan Andreas Harefa)

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: Roni Gunawan

MUDANews.com, Medan (Sumut) – Buku ini (karangan Andreas Harefa, peny.) cukup sederhana, dari cara penyusunan dan penulisannya, penulis hanya cukup mengomentari (analisis) dari berbagai pendapat dan tulisan-tulisan dari tokoh-tokoh yang sengaja dipilih penulis untuk mewakili “arus utama” wawasan dalam buku ini. Kemudian penulis merangkaikannya melalui sintesa-sintesa hasil berpikirnya dengan menghubungkannya melalui pendapat tokoh-tokoh yang lain untuk memperkuat sintesa berpikirnya. Mengawali buku ini melalui pendapat 2 orang sukses (indicator kekayaan dan kemampuan mendapatkan kekayaan) semakin menguatkan pendapat-pendapat di bab berikutnya bahwa apa yang akan disajikan penulis dalam buku ini merupakan realitas yang memang sangat layak untuk dipikirkan, dibahas, dan benar-benar dicari jalan keluarnya.

Realitas dunia pendidikan yang diwakili oleh organisasi formal bernama Sekolah yang ternyata sangat menyimpang jauh secara proses dan tujuan utama pendidikan, sehingga yang terjadi adalah upaya-upaya formalisasi kaku yang ternyata mengerdilkan identitas orang-orang di dalamnya, sehingga apa yang terjadi di dalamnya (sekolah) hanya sebatas proses semu yang menghasilkan segala sesuatu yang juga semu, sehingga menjadi sebuah fakta yang semakin menguatkan bahwa apa yang dilakukan dan jalan hidup yang dipilih dari dua orang sukses di awal  adalah tepat. Mereka adalah Larry Ellison orang terkaya nomor 2 dunia dan Robert T Kiyosaki seorang entrepreneurship ulung saat ini. Apa yang mereka pilih berkaitan dengan pendidikan bukanlah hal yang biasa. Ellison yang memilih keluar dari perguruan tinggi karena melihat ada sebuah ketidakpastian dan keterkungkungan cara berpikir orang-orang yang duduk dibangku kuliah akibat terdoktrin lama di kampus, yang akhirnya menghantarkan dia untuk mendirikan perusahaan piranti lunak dan akhirnya sukses seperti saat ini, sama seperti Bill Gates, Paul Allen, Michel Dell yang juga mengambil langkah yang sama untuk keluar dari Perguruan tinggi dan memilih cara yang sama hingga akhirnya jadi seperti sekarang ini, orang-orang terkaya di muka bumi ini, sebuah indicator sukses yang paling objektif saat ini.

Setelah memaparkan apa pendapat 2 tokoh di awal dalam melihat realitas pendidikan sekarang dan hubungannya dengan kesuksesan seseorang, penulis kemudan memaparkan tentang ke arah mana sebenarnya dunia pendidikan (universitas) menuju, ada sebuah pergeseran proses pendidikan yang terjadi di universitas-universitas sekarang di dunia, termasuk Indonesia. Betapa tidak, dahulu universitas merupakan tempat ideal di mana orang-orang di dalamnya mencari sebuah kebenaran akan sebuah peristiwa yang terjadi dalam hidup ini. Maka saat itulah muncul filosofi pendidikan sebenarnya dalam hidup, yakni membentuk manusia menjadi orang yang berakal budi dan selalu mencari kebenaran dalam hidup ini melalui pembuktian eksistensi diri dalam hidup ini. Kemudian jaman berkembang dan akibat revolusi industry terjadi pergeseran dalam dunia pendidikan, dimana pendidikan tidak lagi seperti tujuan di awal tapi sudah terarah pada hal-hal yang bersifat praktis dalam mempermudah kehidupan manusia, ditemukannya mesin uap (james watt) dan alat-alat lain yang mempermudah kehidupan manusia, dan beberapa perkembangan lain yang akhirnya sampai pada saat ini. Terjadi pergeseran yang cukup besar dimana nilai-nilai pendidikan di perguruan tinggi dahulu terarah pada hal-hal yang ,meningkatkan kesadaran social, penanaman nilai dan moral, kesadaran kritis pendidikan bergeser kepada sebuah upaya melahirkan orang-orang yang dipersiapkan untuk menjadi sumber daya bagi perusahaan-perusahaan.

Sarjana-sarjana diluluskan untuk kepentingan industrialisasi, ini semua karena pengaruh globalisasi dan ideology neoliberalisme, yang akhirnya menjauhkan pendidikan kita dari nilai-nilai luhurnya. Karena nilai-nilai dan kepentingan, itu maka pendidikan sekarang ada dalam kondisi kebimbangan sehingga yang terjadi adalah ketidak jelasan arah, yang akhirnya menjadikan pendidikan hanya sebatas ritual belaka (ujian,pengumuman, bayar uang kuliah, kuliah, ujian, tamat) siklus yang terus begitu dan tidak ada nilai tambah yang diberikan secara formal kepada pelaku-pelakunya.

Realitas ini diperkuat penulis dengan menampilkan wacana dari Nurcholis Madjid tentang kesadaran individu dalam kehidupan yang kemudian dikonversikan penulis dengan kesadaran individu dalam mengenyam pendidikan khususnya peran manusia sebagai “manusia pembelajar”, manusia pembelajar adalah manusia yang berusaha menjadi dirnya sendiri dengan lebih dulu menemukan eksistensi sejati kenapa manusia hidup, sehingga saat kita mampu menjawabnya kita memunyai kesadaran manusiawi dalam hidup untuk menjadi manusia sesungguhnya dengan memaksimalkan potensi diri sendiri.

Lalu realitas tersebut ditambahkan lagi oleh seorang cendikiawan katholik Pater Drost, yang melihat kondisi pendidikan di Indonesia sekarang. Tidak jauh berbeda dengan yang dipaparkan sebelumnya  tentang pergeseran dalam dunia pendidikan, hanya saja Pater Drost memaparkan kondisi pendidikan Indonesia sekarang secara lebih konkrit dan mengena ke sasaran. Ada proses pengerdilan individu yang terjadi saat ini dalam dunia pendidikan termasuk Perguruan tinggi, pendidikan bergeser dari nilai luhurnya, karena banyak kepentingan- kepentingan yang akhirnya mengubah arah pendidikan tersebut, sehingga proses yang terjadi di dalamnya tidak filosofis, pelaku-pelaku pendidikan terdikte dengan undang-undang dan kebijakan sehingga orang-orang di dalamnya hanya mengikut, terdoktrin, membeo, terdikte dengan  apa yang dinginkan kebijakan tersebut, sehingga tidak ada kreasi yang muncul dan semua yang dilakukan semu, hasillnya apa? Tentu produk pendidikan yang hanya sekedar mengikut, membeo, miskin kreativitas, hanya menjalankan formalitas kaku dan menghasilkan sarjana-sarjana palsu yang tahunya hanya materi (bahwa tujuan kuliah adalah untuk mencari duit setelah sarjana guna mengembalikan modal awal dan bertahan hidup).

Sekolah hanya tempat formalitas mendapatkan ijazah untuk mempermudah kerja atau naik jabatan, dengan jalan singkat cara itu dilakukan, skripsi/tesis palsu, plagiat-plagiat, proses transformsi yang hanya sekedar ceremony dan miskin kreativitas metode, korupsi waktu, dsb. Sehingga dengan realitas semua itu, masih patutkah pola seperti ini dipertahankan di Universitas/sekolah???

Penulis adalah Alumnus Fakultas Kesehatan Masyarakat USU dan juga merupakan Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang semasa aktif berorganisasi banyak melakukan perjuangan keumatan melalui organisasinya.[jo]

- Advertisement -

Berita Terkini