Waktu Tunggu Pasien: Jangan Jadikan Dokter Tumbal Kegagalan Sistem

Breaking News
- Advertisement -

 

Oleh: Anton Christanto
Dokter Spesialis THT-BKL, RS Hidayah Boyolali

Mudanews.com OPINI – Setiap isu waktu tunggu pasien mencuat, dokter hampir selalu dijadikan sasaran utama. Lamanya antrean kerap dipersepsikan sebagai akibat dokter bekerja lambat atau tidak disiplin. Pandangan ini keliru, karena waktu tunggu bukan persoalan moral atau etos kerja dokter, melainkan indikator kegagalan desain sistem pelayanan kesehatan.

Waktu tunggu pasien mencakup rangkaian proses panjang, mulai dari pendaftaran, verifikasi, antrean, pemeriksaan awal, hingga konsultasi dokter. Namun dalam kebijakan, kompleksitas ini direduksi menjadi target administratif semata. Target BPJS <60 menit terdengar ideal, tetapi di lapangan sering berubah menjadi alat tekanan dan ancaman sanksi, tanpa evaluasi jujur terhadap kapasitas layanan.

Kecepatan dijadikan ukuran mutu, padahal mutu pelayanan medis tidak sesederhana itu. Pemeriksaan yang baik membutuhkan waktu, ketelitian, dan komunikasi. Menekan waktu tanpa memperbaiki sistem justru meningkatkan risiko kesalahan medis yang berujung pada kerugian pasien dan dokter.

Perbandingan dengan Singapura menunjukkan bahwa waktu tunggu panjang tidak identik dengan pelayanan buruk. Di rumah sakit pemerintah, rawat jalan dapat memakan waktu berjam-jam, namun keselamatan pasien, ketepatan diagnosis, dan dokumentasi tetap menjadi prioritas utama. Yang terpenting, dokter tidak dijadikan kambing hitam oleh sistem maupun opini publik.

Di Indonesia, narasi publik justru terbalik. Pasien menunggu, dokter dituding lambat dan tidak profesional, tanpa pernah mempertanyakan rasio dokter-pasien, beban kerja, jumlah kasus berat, serta keterbatasan fasilitas. Dokter dituntut cepat, tetapi ketika terjadi kesalahan, dokter pula yang disalahkan.

Dokter terjebak dalam dilema sistemik: cepat berisiko salah, lambat dianggap tidak kompeten, teliti pun tetap disalahkan. Ini bukan standar pelayanan kesehatan, melainkan jebakan kebijakan yang mengorbankan profesionalisme medis.

Kebijakan yang berorientasi kecepatan memaksa pemotongan anamnesis, pemeriksaan, dan komunikasi. Padahal, kesalahan medis paling sering lahir dari pelayanan yang terburu-buru. Ironisnya, tekanan target waktu tidak pernah diakui dalam regulasi hukum, yang tertulis hanya satu kata: kelalaian dokter.

Akar persoalan sebenarnya sudah lama diketahui: distribusi dokter tidak merata, sistem rujukan tidak terkendali, fasilitas dan SDM tidak sebanding dengan beban layanan, serta sistem administratif dan IT yang justru memperlambat kerja klinis. Namun yang terus diminta berkorban hanyalah dokter dan tenaga kesehatan.

Target waktu tunggu <60 menit mungkin laku dijual secara politik, tetapi tanpa penambahan SDM, perbaikan sistem rujukan, pemerataan fasilitas, dan perlindungan hukum tenaga kesehatan, target itu bukan kebijakan pro-rakyat. Ia adalah bentuk populisme kesehatan yang berbahaya.

Pasien berhak dilayani cepat dan bermutu. Dokter berhak bekerja aman dan bermartabat. Pelayanan kesehatan bukan lomba kecepatan, melainkan tanggung jawab atas nyawa manusia. Jika tekanan waktu yang tidak manusiawi terus dipaksakan, yang sedang dibangun bukan sistem kesehatan, melainkan pabrik risiko medis.**

Berita Terkini