𝗣𝗲𝗿𝘀𝗮𝘁𝘂𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗻 𝗞𝗲𝘀𝗮𝘁𝘂𝗮𝗻 𝗕𝗮𝗻𝗴𝘀𝗮 𝗗𝗶𝘂𝗷𝗶 𝗼𝗹𝗲𝗵 𝗕𝗲𝗻𝗰𝗮𝗻𝗮 𝗦𝘂𝗺𝗮𝘁𝗲𝗿𝗮

Breaking News
- Advertisement -

 

Oleh : Drs. Muhammad Bardansyah. Ch.Cht

Mudanews.cpm OPINI | Bencana tidak pernah datang hanya membawa kerusakan fisik. Ia juga membawa ujian yang lebih dalam: ujian kemanusiaan, ujian kepemimpinan, dan terutama ujian persatuan dan kesatuan bangsa.

Banjir bandang dan longsor yang melanda Sumatera—khususnya di Aceh, serta di Sumatera Utara dan Sumatera Barat—pada waktu-waktu terakhir ini menjadi cermin yang jujur tentang siapa kita sebagai sebuah bangsa.

Aceh, dengan sejarah panjangnya, adalah wilayah yang tidak hanya rentan secara geografis, tetapi juga sensitif secara sosial dan psikologis.

Setiap krisis di tanah ini selalu memiliki potensi untuk ditarik ke arah yang lebih berbahaya: provokasi, pembelahan, dan politisasi penderitaan. Ketika banjir dan longsor merenggut rumah, akses, dan bahkan nyawa, yang diuji bukan hanya kesiapan sistem negara, tetapi ketahanan persaudaraan kita sebagai bangsa yang majemuk.

Dalam situasi darurat, keterlambatan dan kelemahan penanganan—apa pun alasannya—tidak pernah berdiri di ruang hampa. Ia dengan cepat menjadi celah yang dimasuki oleh berbagai narasi.

Di ruang digital, riak-riak itu tampak jelas: potongan informasi yang dipelintir, emosi yang diprovokasi, dan opini yang mencoba memecah gelombang persatuan.

Narasi-narasi ini tidak hanya muncul dari dalam negeri, tetapi juga mulai datang dari luar, dengan sorotan internasional yang kian terasa dan berpotensi merusak citra bangsa jika tidak disikapi dengan arif.

Namun narasi-narasi tersebut sejatinya harus dibaca sebagai kritik keras—kritik yang seharusnya menyadarkan, bukan memecah. Kritik adalah bentuk cinta pada bangsa. Ia menjadi pengingat bahwa di era keterbukaan, kegagalan komunikasi dan keterlambatan respons bukan hanya berdampak pada korban bencana, tetapi juga pada kepercayaan publik dan posisi Indonesia di mata dunia.

Di tengah semua itu, ada satu pemandangan yang jauh lebih kuat daripada narasi perpecahan mana pun: gerak spontan rakyat Indonesia.
Dari Sabang sampai Merauke, masyarakat bergerak dengan satu naluri yang sama—menolong. Tanpa menunggu perintah, tanpa mempersoalkan perbedaan. Masyarakat Tionghoa (Cina), Jawa, Sunda, Batak, Melayu, Minangkabau, Bugis, Dayak dari Kalimantan, masyarakat Sulawesi, Bali, Papua, dan seluruh suku yang ada di negeri ini turun tangan.
Demikian pula umat dari seluruh agama—Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, dan berbagai kepercayaan—bersatu dalam tindakan nyata.

Mereka tidak hanya mengirimkan donasi. Mereka datang langsung ke lokasi bencana. Mereka bergelut dengan lumpur dan air bah. Mereka bekerja bahu-membahu dengan TNI, Polri, dan Basarnas: mengevakuasi korban, membuka jalur, mendirikan dapur umum, membagikan sandang dan pangan.

Tidak ada sekat identitas di sana. Yang ada hanya rasa persaudaraan.
Inilah bukti hidup persatuan Indonesia. Di saat sebagian pihak sibuk membangun narasi, rakyat memilih bekerja. Di saat ada yang mencoba menyulut perbedaan, masyarakat justru memperlihatkan bahwa kebinekaan bukan kelemahan, melainkan kekuatan.

Dalam konteks itu pula, bangsa Indonesia dengan lapang dada menerima uluran tangan dari luar negeri. Kami berterima kasih atas bantuan kemanusiaan yang datang dari negara sahabat, termasuk dari Malaysia.

Bantuan adalah bahasa universal, dan niat baik selalu patut dihargai.
Namun rasa terima kasih itu perlu ditegaskan batasnya. Kami tidak menyukai, dan tidak menerima, narasi provokatif yang memecah belah. Bantuan kemanusiaan seharusnya berdiri di atas empati, bukan disertai komentar yang merendahkan, menghakimi, atau menunggangi penderitaan korban untuk kepentingan tertentu.

Bangsa ini boleh dikritik, bahkan harus dikritik. Tetapi ketika bencana dijadikan alat untuk menyulut kebencian dan perpecahan, di situlah garis moral harus ditarik. Kami berterima kasih atas bantuan, tetapi kami menolak segala bentuk provokasi.

Perbedaan paling nyata terlihat di sini: sementara sebagian pihak asing memilih berkomentar dari kejauhan dengan nada yang tidak berempati, rakyat Indonesia justru turun langsung, memeluk sesamanya yang terluka.

Solidaritas bangsa ini tidak lahir di ruang komentar, melainkan di lapangan—di lumpur, di dapur umum, di tenda pengungsian.

Bencana Sumatera ini menyadarkan kita bahwa persatuan bangsa tidak rapuh seperti yang sering ditakutkan. Ia hidup di akar rumput. Ia terpelihara oleh rasa senasib dan sepenanggungan. Masyarakat Indonesia tidak mudah terprovokasi. Mereka tahu siapa saudara mereka.
Karena itu, kepada siapa pun yang mencoba menunggangi bencana—baik dari dalam maupun dari luar—pesannya tegas secara moral: hormatilah duka, hormatilah persaudaraan, dan berhentilah memancing perpecahan.

Menyebarkan api di tengah bencana adalah tindakan yang menjijikkan dan tidak berperikemanusiaan.
Di luar segala kekurangan dan keterlambatan yang perlu dikritisi dan dibenahi, satu hal telah ditunjukkan dengan terang oleh rakyat Indonesia: mereka adalah saudara yang tidak terpisahkan. Dan selama kesadaran itu tetap hidup, bangsa ini akan selalu lebih kuat daripada bencana apa pun—dan lebih kuat daripada upaya apa pun yang ingin memecahnya.

Jakarta 25 Desember 2025 bertepatan dengan Hari Natal yang sedang di Rayakan oleh saudara-saudara kami Umat Nasrani

Berita Terkini