Ajarkan Anakmu Menjadi Manusia, Jangan Sekadar Menjadi Orang Hebat

Breaking News
- Advertisement -

 

Anton Christanto
Dosen Fakultas Kedoteran UNS di RS UNS.

Mudanews.com OPINI | Di dunia yang makin riuh oleh prestasi, ranking, dan pencapaian, banyak orang tua tanpa sadar terjebak dalam satu tujuan: membesarkan anak yang hebat. Hebat nilainya, hebat prestasinya, hebat gelarnya.
Namun jarang kita berhenti sejenak dan bertanya:
apakah anak kita juga belajar menjadi manusia?

Menjadi hebat bisa diajarkan lewat kursus, bimbingan belajar, dan target-target yang terukur.
Tetapi menjadi manusia—yang berempati, jujur, dan peduli—tidak pernah tumbuh dari angka, melainkan dari teladan dan pengalaman hidup.

Anak-anak hari ini mungkin fasih berbicara tentang toleransi, keadilan, dan kebaikan. Namun tanpa contoh nyata, semua itu hanya akan menjadi hafalan kosong. Empati tidak lahir dari ceramah panjang, tetapi dari melihat orang tuanya menolong tanpa pamrih, berbicara dengan lembut, dan menghargai sesama—terutama kepada mereka yang berbeda dan yang lemah.

Sering kali, ambisi orang tua disamarkan sebagai cinta. Kita ingin anak “menjadi yang terbaik”, padahal tekanan itu perlahan menumbuhkan ketakutan gagal. Anak yang terlalu dikejar hebat tumbuh menjadi perfeksionis, takut salah, dan sulit mencintai proses. Ia belajar mengejar hasil, bukan makna. Ia takut jatuh, karena jatuh dianggap aib, bukan bagian dari belajar.

Padahal dunia nyata tidak diukur dari rapor. Dunia nyata menguji ketahanan hati:
mampu bangkit setelah gagal,
mampu jujur meski rugi,
mampu peduli meski tidak mendapat pujian.

Di masa depan, kecerdasan buatan mungkin mengalahkan manusia dalam logika, hafalan, dan strategi. Tapi ada satu hal yang tidak bisa ditiru mesin: empati.
Kemampuan mendengar, memahami perasaan orang lain, bekerja bersama, dan hadir secara utuh sebagai manusia—itulah yang akan membuat anak kita relevan, bukan sekadar unggul.

Anak adalah cermin yang jujur. Ia meniru lebih cepat daripada mendengar. Ketika orang tua meminta anak sabar, tapi mudah marah; meminta anak jujur, tapi memberi contoh sebaliknya; meminta anak lepas dari gawai, tapi dirinya sendiri tak bisa—di situlah anak belajar kebingungan, bukan nilai.

Mendidik anak bukan tentang mencetak kesempurnaan.
Mendidik anak adalah menemani proses menjadi manusia seutuhnya.

Pada akhirnya, dunia tidak terlalu membutuhkan anak yang selalu juara. Dunia lebih membutuhkan manusia yang berhati baik.
Anak mungkin tidak selalu hebat, tetapi selama ia punya empati, integritas, dan kepedulian, harapan tidak pernah benar-benar hilang.

Maka ajarkan anakmu membaca, berhitung, dan berprestasi—itu penting.
Namun yang jauh lebih penting:
ajarkan anakmu berbagi, memahami, dan mencintai sesama.

Karena hebat bisa dipelajari.
Tapi kemanusiaan…
harus dihidupkan.***

Berita Terkini