Oleh Yusuf Mars
Mudanews.com OPINI | Ketika konflik PBNU kian tajam dan menukik, yang paling berbahaya bukan sekadar perbedaan sikap, melainkan hilangnya ruang tengah. Warga NU seolah didorong untuk memilih: ikut satu kubu atau dicap bermasalah. Dalam situasi seperti ini, jam’iyah tidak sedang dipimpin menuju penyelesaian, tetapi diseret ke jurang polarisasi yang semakin dalam.
Karena itu, poros tengah bukan pilihan tambahan, melainkan keharusan historis. NU sejak awal berdiri bukan jam’iyah ekstrem—tidak larut dalam kuasa, tidak pula tenggelam dalam oposisi. Tradisi tawassuth, tawazun, dan i‘tidal bukan jargon, melainkan mekanisme etik untuk menjaga NU tetap waras di tengah badai politik dan kekuasaan.
Poros tengah bukan sikap abu-abu, apalagi netral yang oportunistik. Ia adalah keberanian moral untuk menjaga jarak dari dua ekstrem: ekstrem pembelaan membabi buta dan ekstrem perlawanan tanpa etika jam’iyah. Poros tengah menolak sakralisasi kekuasaan sekaligus menolak delegitimasi total terhadap institusi NU.
Dalam konteks konflik PBNU, poros tengah harus diisi oleh figur dan kelompok yang:
tidak terikat pada kepentingan kekuasaan,
tidak terjebak dalam dendam politik,
dan berani menyerukan muhasabah jam’iyah secara terbuka.
Tanpa poros tengah, NU hanya akan berputar dalam konflik elit yang melelahkan, sementara warga Nahdliyin kehilangan arah. Tetapi dengan poros tengah, NU memiliki peluang untuk keluar dari wilayah syubhat, memulihkan etika keulamaan, dan mengembalikan jam’iyah pada mandat utamanya: mengabdi kepada umat, bukan kepada kekuasaan.
Pada akhirnya, poros tengah adalah ujian kedewasaan NU abad kedua.
Bukan tentang siapa menang atau kalah, melainkan tentang apakah NU masih mampu berdiri sebagai rumah besar umat—atau terpecah oleh konflik yang seharusnya bisa diselesaikan dengan akal sehat dan keberanian moral.**
*Yusuf Mars adalah Founder @PadasukaTV dan Mahasiswa S3, Program Sejarah Peradaban Islam.
