Antara Eggi Sudjana dan Ijazah Asli Jokowi versi Kuasa Hukumnya

Breaking News
- Advertisement -

 

_(Respon atas pernyataan kuasa hukum Prof. Eggi Sudjana, Elida Netty yang sebut Ijazah Jokowi Asli)_

Mudanews.com OPINI – Gelar perkara khusus di Ditreskrimum Polda Metro Jaya pada Senin, 15 Desember 2025, sejatinya dimaksudkan sebagai ruang klarifikasi dan penguatan kepercayaan publik terhadap proses penegakan hukum. Namun, alih-alih meredam polemik, forum tersebut justru membuka babak baru dalam kontroversi dugaan keaslian ijazah mantan Presiden Joko Widodo.

Pasca gelar perkara, publik dikejutkan oleh pernyataan kuasa hukum Eggi Sudjana, Elida Netty, di berbagai media, yang menyebut bahwa ijazah Presiden Jokowi yang ditunjukkan penyidik adalah asli. Pernyataan ini dengan cepat membentuk opini seolah perkara telah selesai, bahkan seakan posisi Eggi Sudjana sebagai pihak yang selama ini konsisten mempertanyakan keaslian ijazah itu ikut berubah.
Faktanya tidak sesederhana itu.

Melalui komunikasi pribadi kepada saya, Kamis sore, 18 Desember 2025, Bang Eggi Sudjana secara tegas menyatakan bahwa apa yang disampaikan oleh kuasa hukumnya bukan merupakan tanggung jawab pribadinya. Bahkan, hingga saat ini, ia menegaskan masih berkeyakinan bahwa ijazah Presiden Joko Widodo adalah palsu. Lebih dari itu, dengan status tersangka yang diyakini prematur, Eggi Sudjana malah dicekal / dilarang berpergian ke luar negeri, kemudian paspornya akan disita.

Pernyataan tersebut penting dicatat, bukan semata untuk membela satu pihak, melainkan demi menjaga kejernihan ruang publik. Dalam sistem hukum, kuasa hukum adalah perwakilan dalam koridor tertentu, tetapi keyakinan substantif klien tetap merupakan hak personal yang tidak dapat dipaksa untuk tunduk pada narasi siapa pun, termasuk kuasa hukumnya sendiri.

Di sinilah letak persoalan yang lebih besar. Polemik dugaan ijazah ini bukan sekedar soal dokumen yang ditunjukkan dalam sebuah forum tertutup gelar perkara khusus. Persoalan utamanya adalah transparansi. Apakah publik diberi ruang untuk menguji? Apakah prosesnya dapat diverifikasi secara independen? Ataukah publik hanya diminta percaya pada pernyataan otoritas?

Gelar perkara khusus memang merupakan mekanisme internal kepolisian. Agendanya sah secara prosedural, tetapi tidak otomatis menjawab seluruh pertanyaan publik, terutama ketika hasilnya hanya disampaikan dalam bentuk pernyataan sepihak tanpa akses uji terbuka. Dalam negara demokrasi, kepercayaan tidak dibangun dari klaim, melainkan dari keterbukaan.

Perbedaan sikap antara klien dan kuasa hukum dalam perkara ini seharusnya dibaca sebagai tanda darurat etik, bukan sensasi. Hal itu menandakan bahwa persoalan yang diperdebatkan masih menyisakan ruang gelap yang belum sepenuhnya diterangi.

Jika memang tidak ada masalah, mengapa perdebatan tak kunjung selesai? Mengapa keyakinan publik tak kunjung pulih?

Tentu dalam konteks ini penulis tidak sedang menghakimi siapa yang benar atau salah. Namun sebagai bagian dari warga negara yang peduli pada kualitas demokrasi, memiliki pandangan bahwa perkara ini seharusnya diselesaikan secara terang-benderang, terbuka, dan dapat diuji oleh akal sehat publik. Bukan dengan saling menutup ruang tanya, apalagi menstigma mereka yang masih kritis.

Perbedaan keyakinan Eggi Sudjana dengan pernyataan kuasa hukumnya adalah cermin dari satu kenyataan, polemik ini belum selesai. Selama transparansi belum sepenuhnya dibuka, selama pertanyaan publik masih dijawab dengan otoritas alih-alih argumentasi, maka kontroversi ini akan terus hidup.

Dalam demokrasi, kritik yang hidup adalah tanda bahwa nurani publik belum mati.***

Agusto Sulistio – Penulis, Content Creator, Pemerhati Isu Demokrasi dan Hukum.

Kalibata, Jaksel, 18 Desember 2025

Berita Terkini