Oleh : Anton Christanto Yayasan Karya Kasih Kesehatan Perhati (YK3P)
Mudanews.com OPINI | Di Aceh, hari ini, rakyat tidak mengibarkan bendera kemenangan.
Mereka tidak merayakan apa pun.
Mereka mengibarkan bendera putih—tanda menyerah karena kehabisan daya.
Di beberapa tempat, bendera putih itu berdampingan dengan bulan bintang—simbol sejarah, identitas, dan luka panjang yang pernah dilalui Aceh.
Bukan untuk menantang negara.
Bukan untuk politik.
Tetapi sebagai teriakan sunyi: kami sudah di batas kemampuan.
Banjir datang berhari-hari.
Rumah tenggelam.
Sawah hilang.
Anak-anak mengungsi.
Air bersih langka.
Obat-obatan menipis.
Dan ketika semua pintu terasa tertutup, rakyat melakukan hal paling manusiawi yang bisa mereka lakukan:
meminta tolong dengan cara yang paling sederhana—mengibarkan kain putih.
Bendera Putih Itu Bukan Ancaman, Itu Permohonan Hidup
Siapa pun yang membaca peristiwa ini sebagai manuver politik, telah kehilangan empati.
Bendera putih bukan simbol perlawanan.
Ia simbol keputusasaan.
Ia adalah bahasa terakhir orang-orang yang sudah terlalu lelah untuk berteriak.
Aceh punya sejarah panjang dengan konflik, trauma, dan janji-janji yang tak selalu ditepati.
Karena itu, setiap simbol di Aceh selalu punya makna emosional yang dalam.
Bulan bintang bukan sekadar lambang masa lalu—ia adalah ingatan kolektif tentang rasa ditinggalkan.
Hari ini, simbol itu muncul bukan karena hasrat berpisah,
tetapi karena rasa tak didengar.
Di Mana Negara Saat Rakyat Menyerah?
Pertanyaan ini tidak bisa dihindari.
Di mana negara ketika rakyat mengibarkan bendera putih?
Di mana negara ketika ibu-ibu menggendong anak di pengungsian tanpa susu dan obat?
Di mana negara ketika rakyat Aceh harus meminta tolong dengan simbol yang seharusnya tidak pernah mereka gunakan?
Presiden Prabowo dan para pejabat negara harus memahami satu hal mendasar:
bencana bukan sekadar peristiwa alam, tetapi ujian kepemimpinan.
Negara tidak cukup hadir dengan pernyataan.
Tidak cukup dengan laporan.
Tidak cukup dengan kunjungan simbolik.
Yang dibutuhkan adalah kehadiran nyata, cepat, dan bermartabat.
Yang Ditunggu Rakyat Bukan Pidato, Tapi Perlindungan
Rakyat Aceh tidak menuntut keistimewaan.
Mereka hanya ingin tidak dibiarkan sendirian.
Bendera putih itu seharusnya menjadi alarm nasional.
Bukan ditafsirkan dengan curiga,
tetapi dibaca dengan empati.
Karena ketika rakyat sudah mengibarkan tanda menyerah,
itu berarti semua daya tahan telah habis.
Jika negara terlambat merespons,
yang runtuh bukan hanya rumah dan sawah—
tetapi kepercayaan.
Jangan Biarkan Simbol Itu Menjadi Sejarah Baru
Aceh sudah terlalu sering menjadi halaman luka dalam sejarah bangsa ini.
Jangan tambahkan satu bab lagi:
bab tentang rakyat yang mengibarkan bendera putih, sementara negara sibuk menafsirkan makna politiknya.
Presiden dan para pejabat hari ini sedang diuji,
bukan oleh lawan politik,
tetapi oleh jeritan kemanusiaan.
Bendera putih itu bukan tanda kekalahan rakyat.
Ia adalah peringatan keras bagi negara.
Bahwa jika negara tidak segera hadir,
rakyat akan terus belajar bertahan sendiri—
dan itu adalah kegagalan paling sunyi,
namun paling berbahaya,
dalam sebuah republik.
Jangan Biarkan Bendera Putih Berkibar Sendirian
Bendera putih yang berkibar di Aceh tidak boleh dibiarkan menjadi simbol kesepian.
Ia harus kita jawab dengan tindakan bersama.
1. Donasi Sekarang — Karena Menunggu Berarti Membiarkan
Bantuan tidak bisa menunggu rapat, konferensi pers, atau kalender politik.
Di pengungsian, yang dibutuhkan adalah hari ini: makanan, air bersih, obat, selimut, dan perlengkapan bayi.
Seberapapun donasi Anda, itu sangat berarti.
Kecil bagi kita, besar bagi mereka.
Hari ini kita membantu—besok bisa jadi kita yang membutuhkan.
Rakyat bantu rakyat.
2. Jadi Relawan — Hadirkan Negara Lewat Tangan Warganya
Bagi yang punya waktu, tenaga, dan keahlian—datanglah.
Bantu distribusi, layanan kesehatan, dapur umum, pendampingan psikososial.
Ketika negara terlambat, rakyat sering kali menjadi penolong pertama.
Dan dari sanalah martabat bangsa dijaga.
3. Desak Kebijakan — Empati Harus Berubah Menjadi Keputusan
Bencana bukan hanya soal air yang meluap, tetapi kebijakan yang harus bergerak:
* penetapan status darurat yang jelas,
* percepatan bantuan logistik dan kesehatan,
* perlindungan pengungsi tanpa birokrasi berbelit,
* evaluasi tata kelola lingkungan agar tragedi tidak berulang.
Desak dengan cara bermartabat, keras namun beradab.
Karena diam adalah persetujuan terhadap kelambanan.
_Bendera putih di Aceh bukan tanda menyerah rakyat. Ia adalah seruan terakhir agar kita semua bergerak_
Jika hari ini kita memilih peduli,
kita sedang menyelamatkan lebih dari rumah dan sawah—
kita sedang menjaga kepercayaan pada negara dan kemanusiaan.
Saatnya bertindak. Sekarang.
Donasi. Relawan. Desakan kebijakan.
Rakyat bantu rakyat—dan negara harus hadir.***

