Catatan Akhir Pekan :  Bencana Sumatra, Konflik NU, dan Ujian Kepemimpinan

Breaking News
- Advertisement -

 

Mudanews.com Editorial  – Pekan ini mencatat dua isu besar yang sama-sama menguji kedewasaan kepemimpinan publik: bencana ekologis yang kembali melanda Sumatra dan konflik internal yang mencuat di tubuh Nahdlatul Ulama (NU). Keduanya hadir dalam ruang berbeda, namun bertemu pada satu titik krusial—rapuhnya tata kelola ketika krisis datang bersamaan.

Banjir dan longsor di berbagai wilayah Sumatra tidak bisa lagi dibaca sebagai musibah alam semata. Ia adalah sinyal keras dari krisis lingkungan yang dibiarkan menahun, mulai dari kerusakan hutan, eksploitasi sumber daya yang berlebihan, hingga perencanaan tata ruang yang mengabaikan daya dukung alam. Negara tak cukup hanya hadir saat air meluap, tetapi harus bertanggung jawab sebelum bencana berulang.

Respons penanganan bencana pun kembali diuji. Koordinasi yang lambat dan kebijakan yang terfragmentasi menunjukkan bahwa manajemen krisis belum sepenuhnya berpihak pada kecepatan dan ketepatan. Ketika negara terlambat, korban menanggung beban berlapis—kehilangan tempat tinggal, sumber penghidupan, dan kepastian masa depan.

Pada saat bersamaan, konflik internal NU yang terbuka ke ruang publik memperlihatkan tantangan serius organisasi besar dalam mengelola perbedaan. Ketegangan elite yang berlarut bukan hanya soal prosedur, tetapi menyangkut wibawa moral organisasi. Ketika energi habis pada konflik internal, peran strategis NU sebagai penopang sosial dan kebangsaan berisiko tereduksi.

Di tengah kegamangan tersebut, masyarakat sipil justru tampil paling sigap. Relawan, komunitas lokal, organisasi kemanusiaan, dan individu-individu bergerak melampaui sekat formal. Mereka menggalang bantuan, mendistribusikan logistik, dan hadir langsung di tengah korban—sering kali lebih cepat daripada mekanisme resmi.

Peran aktif masyarakat sipil ini bukan sekadar pelengkap, melainkan alarm keras bagi negara dan organisasi besar. Solidaritas publik menunjukkan bahwa warga tidak kehilangan kepedulian, justru institusilah yang dituntut untuk berbenah. Modal sosial yang tumbuh di akar rumput semestinya dirangkul, bukan dibiarkan bekerja sendiri tanpa dukungan kebijakan.

Catatan akhir pekan ini menegaskan satu hal: bencana lingkungan dan konflik organisasi adalah dua wajah dari krisis kepemimpinan. Tanpa keberanian memperbaiki tata kelola dan merawat persatuan, negara dan organisasi akan terus tertinggal dari inisiatif warganya sendiri. Dan ketika itu terjadi, yang dipertaruhkan bukan hanya reputasi institusi, melainkan kepercayaan publik yang kian menipis.**(Red)

Berita Terkini