EDITORIAL AKHIR TAHUN 2025
Mudanews.com Editorial – Tahun 2025 dibuka dengan janji besarnya: penghargaan bagi guru, pemerataan tenaga pendidik, digitalisasi pembelajaran, dan upaya inklusivitas. Mudanews.com pun memberitakan — dengan dokumentasi resmi — langkah-langkah tersebut. Namun, di balik judul-judul gemerlap, terkuak realitas yang kerap tak terdengar di ruang rapat: ketimpangan struktural, prioritas retorik, dan ketidakpastian implementasi.
“Guru Memegang Peranan Penting…” — Tapi Realitas di Lapangan Bercerai Berai
Menurut laporan Mudanews.com dalam artikel tentang Apresiasi GTK 2025, pemerintah menekankan bahwa “guru memegang peranan penting dalam menumbuhkan karakter melalui 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat (7 KAIH)” — menunjukkan komitmen terhadap kualitas dan keteladanan guru.
Namun belakangan, kebijakan Kebijakan Redistribusi Guru ASN yang diberlakukan untuk pemerataan tenaga pendidik pun mengakui kondisi sekolah yang kekurangan guru — termasuk sekolah swasta — sebagai target redistribusi.
Artinya: guru dianggap penting, namun kenyataan menunjukkan bahwa banyak sekolah — terutama di daerah— terus kekurangan guru. Guru dipuja di panggung “apresiasi”, tapi di lapangan mereka sering harus bertarung sendiri dengan kekurangan fasilitas dan ketidakpastian posisi.
Digitalisasi Dicanangkan — Tapi Sarana & Infrastruktur Terabaikan
Mudanews.com menulis bahwa Apresiasi GTK 2025 juga berbarengan dengan dorongan “inovasi guru dan digitalisasi pembelajaran.”
Tapi di banyak laporan lain—yang mewarnai sepanjang 2025—masalah klasik tetap muncul: sekolah tanpa akses internet stabil, ruang kelas rusak, dan fasilitas pembelajaran dasar yang tidak memadai. Kesenjangan ini menunjukkan bahwa digitalisasi cepat — tanpa dukungan sarana/prasarana — sama seperti memberi pena kepada siswa tapi tak membekali mereka kertas untuk menulis.
Inklusivitas & Pemerataan — Ide Indah, Pelaksanaan Rapuh
Kebijakan redistribusi guru ASN dimaksudkan untuk meratakan akses pendidikan, bahkan ke sekolah swasta di daerah terpencil.
Tapi redistribusi pun bukan jaminan: wilayah terpencil sering tidak menarik minat guru, sedangkan sekolah swasta mungkin tak mampu menyediakan lingkungan belajar dan tunjangan layak. Kesetaraan akses menjadi janji besar, namun realitanya tetap penuh disparitas — baik dari segi kuantitas guru maupun kualitas layanan.
Prestasi Global — Bukti Potensi, Tapi Hanya Secuil dari Masalah Sistemik
Beberapa mahasiswa dari perguruan tinggi berhasil menoreh prestasi di ajang nasional dan internasional — sebuah kabar membanggakan yang Mudanews.com soroti.
Tapi pertanyaan besarnya: berapa banyak dari mereka yang mewakili “keberhasilan sistem pendidikan”? Atau sekadar “oase di tengah gurun”? Sistem yang rapuh tetap membatasi akses bagi banyak siswa dan mahasiswa untuk mencapai potensi maksimalnya.
2025: Banyak Program, Sedikit Akar yang Disentuh
Mudanews.com tahun ini memang mencerminkan upaya nyata: apresiasi guru, redistribusi, digitalisasi, dorongan prestasi. Namun di balik semua itu, tampak jelas bahwa prioritas anggaran, konsistensi pelaksanaan, dan pemerataan layanan pendidikan masih lemah.
Sekolah tanpa guru, fasilitas rusak, akses tak merata — ini bukan sekadar “kekurangan operasional.” Ini adalah indikasi kegagalan sistemik: bahwa pendidikan belum menjadi prioritas struktural, melainkan kadang sekadar tema kampanye dan seremonial tahunan.
Penutup — Suluh Harus Jadi Api, Bukan Hiasan
2025 harus menjadi alarm bagi kita semua: bahwa penghargaan guru dan program digitalisasi tidak cukup. Bila kita benar-benar peduli pada masa depan bangsa, maka 2026 harus menjadi tahun di mana komitmen dijawab dengan aksi nyata:
Perbaikan sarana dan prasarana sekolah — bukan sekadar cat ulang, tapi renovasi total bila perlu.
Redistribusi guru harus dibarengi insentif dan jaminan kesejahteraan agar tidak sekadar pindah lokasi.
Digitalisasi harus diiringi akses infrastruktur, pelatihan guru, dan literasi — agar tidak sekadar jadi slogan.
Pendidikan inklusif harus diwujudkan dengan fasilitas, SDM, dan pendekatan yang serius — bukan hanya deklarasi.
Karena bila tidak, apa arti “inovasi pendidikan”, “apresiasi guru”, dan “persaingan global”? Semua itu hanya menjadi hiasan pinggir, sementara yang paling mendasar — keadilan dan akses — terus tertinggal.
Dan bangsa ini — jika ingin kuat — tak boleh membangun masa depan di atas fondasi retorika semata.
— _Editorial berdasarkan pemberitaan Mudanews.com_

