Natal 2025 Bersama, Menag RI Moderat atau Melampaui Batas Akidah?

Breaking News
- Advertisement -

_Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed._

Mudanews.com OPINI | Kemenag 2025 memutuskan untuk mengadakan “Natal Bersama” secara resmi pertama kalinya sepanjang sejarah pasca-kemerdekaan. Rencana ini diumumkan oleh Menag Nasaruddin dalam acara Jalan Sehat Lintas Agama 2025 di Kantor Kemenag Jakarta, Minggu, 23 November 2025.

Tema resmi Natal 2025 adalah “C-LIGHT: Christmas – Love in God, Harmony Together”. Tema ini menekankan kasih dalam Tuhan serta harmoni dan persaudaraan antar umat beragama dalam keberagaman bangsa.

Peringatan Natal Bersama yang diumumkan Menteri Agama tahun 2025 ini telah memantik percakapan panjang di tengah umat. Di satu sisi ada rasa ingin merawat kerukunan, tapi di sisi lain ada kegelisahan ketika batas keyakinan mulai terasa kabur. Keresahan itu bukan muncul dari kebencian terhadap keberagaman, melainkan dari rasa cinta terhadap akidah yang harus dijaga.

Dalam perspektif iman, kita sesungguhnya sedang diingatkan oleh Al-Qur’an tentang bagaimana seluruh alam semesta bertasbih, sementara manusia sendiri sering tidak menyadari tasbih itu. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Isra’, langit dan bumi tunduk pada ketetapan-Nya, tetapi manusia justru kerap berjalan tanpa kepekaan rohani, bahkan seakan tidak menyadari ada dinding tak terlihat yang menghalangi cahaya petunjuk. Bila cahaya itu terhalang, maka bisa saja seseorang, meski memiliki jabatan, tidak menangkap pesan wahyu, lalu berjalan dengan persepsi yang keliru.

Kiranya hal ini menjadi perlu sebagai pandangan keyakinan umat beragama apapun untuk menangkap poin penting yang disampaikan Prof. Eggi Sudjana lewat pesan moral hariannya yang viral dimedia sosial whatsapp group “Mutiara Hikmah, episode Selasa, 9 Desember 2025.

Bahwa hati, telinga, dan mata akan kehilangan fungsinya ketika seseorang tak lagi bersandar pada wahyu. Maka ketika Menteri Agama menyampaikan gagasan untuk merayakan Natal bersama sebagai agenda resmi kementerian di tahun 2025 ini, sebagian umat menilai telah terjadi pencampuran antara hak dan batil suatu penilaian yang tentu tidak lahir dari prasangka, tetapi dari pandangan keagamaan yang dalam.

Dalam Islam, Natal bukan hanya perayaan sosial, tetapi memiliki inti akidah Kristen tentang ketuhanan Yesus. Ketika negara, melalui pejabatnya, memberi kesan ikut berada dalam arena ritual tersebut, tentu saja umat merasa gelisah. Karena toleransi itu tidak dimaksudkan agar umat Islam turut memasuki wilayah akidah agama lain, melainkan menghormati dari luar batasnya masing-masing.

Tidak dapat kita abaikan juga peringatan Al-Qur’an bahwa orang-orang yang berpaling dari iman akan terhalang dari cahaya, hingga persepsinya menjadi kabur. Menurut penulis diinbangi oleh berbagai catatan dan pandangan umum para cendikiawan dan pemerhati religi dari berbagai sumber, pandangan Prof. Eggi mengkritik Menteri Agama bahwa kebijakan seperti ini bisa menyesatkan umat, apalagi jika dijalankan oleh lembaga negara yang memiliki dampak luas, tidaklah keliru.

Meski tak semua pihak anggap kitik itu keras, tetapi tidak kehilangan adabnya, karena ditujukan agar umat tetap berada dalam lindungan akidah, bukan untuk menciptakan permusuhan.

Diantara suara kritik itu, ada pula seruan terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto agar menegur, bahkan bila perlu mengganti Menteri Agama bila kebijakan ini terus dilaksanakan. Pandangan saya, seruan itu bukan bentuk provokasi politik, namun dengan jernih saya memaknainya sebagai himbauan agar pemimpin tertinggi negara tidak diam, terlebih dalam suasana keadaan bangsa tengah hadapi ujian berat diberbagai sektor kehidupan. Sebab salah langkah dalam urusan akidah, dari banyak catatan sejarah bangsa beragama dapat membawa efek sosial yang jauh lebih luas. Kita tidak mau perbedaan agama justru menjadi kekacauan sosial seperti yang diperingatkan dalam kitab suci islam Alquran, surah Al-An’am ketika manusia dipertemukan dalam pertengkaran, bukan dalam keimanan.

Namun demikian, kritik tidak pernah bertujuan untuk mempermalukan seseorang. Kritik justru cara paling elegan menjaga agar negara tetap berada dalam garis kebenaran.

Karena pemimpin yang benar adalah pemimpin yang membawa petunjuk Tuhan, menjaga syariat, membela umat, dan tidak memasukkan akidah ke ruang kompromi politik.

Kita semua mencintai kerukunan, tetapi kerukunan tidak selalu ditunjukkan dengan cara menyatu dalam ritual yang bukan milik kita. Toleransi tidak lahir dari pencampuran keyakinan, tetapi dari penghormatan terhadap garis pemisah yang harus dijaga. Justru batas itulah yang membuat umat Islam menghormati Kristen dan Kristen menghormati Islam. Jika batas hilang, penghormatan juga ikut melemah.

Tulisan ini bukan sekedar opini tentang sebuah acara, tetapi lebih dari itu, agar kita kembali merenungi firman Allah bahwa ada dinding tak terlihat ketika seseorang jauh dari petunjuk.

Jika para pejabat agama berjalan tanpa cahaya, maka umat akan kehilangan arah. Dan bila umat kehilangan arah, negara pun tak lagi punya pijakan spiritual untuk menjadi bangsa besar.

Pada akhirnya, kita ingin Indonesia tetap berdiri sebagai negeri yang menghormati semua agama tanpa mencampuradukkan akidah. Karena justru di situlah letak keindahan keberagaman Indonesia. Kita ingin menjadi bangsa yang bertakwa, bukan hanya tampak toleran dalam berita, tetapi kokoh dalam prinsip iman***

Kalibata, Jakarta Selatan, 9 Desember 2025, 15:18 Wib.

Berita Terkini