Oleh : Muhanmad Bardansyah. Ch.Cht.
Mudanews.com OPINI | Akhir November 2025 menjadi salah satu periode paling kelam dalam sejarah ekologis Indonesia. Banjir bandang dan longsor melanda Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat secara bersamaan, memakan ratusan korban jiwa, merusak ribuan rumah, dan memaksa ratusan ribu orang mengungsi.
Banyak desa terputus, infrastruktur dasar lumpuh, pasokan pangan dan air bersih terganggu, serta layanan kesehatan darurat kewalahan.
Tetapi jika kita membatasi tragedi ini sebagai “fenomena alam”, maka kita sedang membohongi diri sendiri. Data dan analisis ilmiah menunjukkan bahwa bencana ini adalah bencana ekologis hasil akumulasi kerusakan hutan, tata ruang yang longgar, dan izin ekonomi yang terlalu permisif. Seperti disampaikan satu aktivis lingkungan, “Ini bukan sekadar hujan ekstrem, ini hasil dari kebijakan yang membiarkan hutan hancur.” (Greenpeace Indonesia, 2025).
Dalam konteks seperti ini, pemerintah memang harus menggerakkan bantuan darurat secepat mungkin. Tetapi kita perlu lebih dari tenda, selimut, dan paket sembako. Yang dibutuhkan adalah kepemimpinan nasional untuk menata ulang lingkungan dan ruang hidup warga. Tanpa itu, setiap tahun kita hanya mengulang tragedi yang sama dengan korban yang sama bahkan lebih besar, di lokasi yang sama .
Mengapa Bencana Ini Begitu Parah? Lebih dari Sekadar Hujan Ekstrem
Menurut analisis hidrologi UGM, hujan harian di beberapa titik Sumatra mencapai lebih dari 300 mm, diperparah oleh Cyclone Senyar yang membawa kelembapan besar ke wilayah tersebut (Suryatmojo, 2025).
Fenomena ini memang luar biasa, tetapi bukan faktor tunggal.
WALHI dan Greenpeace menunjukkan bahwa sejak 2016, lebih dari 1,4 juta hektar hutan di Sumatra hilang akibat ekspansi perkebunan, pertambangan, dan proyek energi yang melemahkan fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai penyangga air.
Banyak DAS kini hanya memiliki tutupan hutan <25%—angka yang mereka sebut “membahayakan” (Greenpeace Indonesia, 2025).
Ketika “spons alam” hilang, hujan deras tidak lagi meresap, tetapi langsung meluncur ke lereng, mengikis tanah, menciptakan longsor, dan menjadi arus besar yang meluluhlantakkan desa-desa. Karena itu, banjir bandang ini bukan kejutan. Ia adalah konsekuensi dari struktur kebijakan dan izin yang dibiarkan berjalan selama bertahun-tahun.
𝐊𝐨𝐫𝐛𝐚𝐧 𝐄𝐤𝐨𝐥𝐨𝐠𝐢𝐬 𝐝𝐚𝐧 𝐌𝐚𝐧𝐮𝐬𝐢𝐚: 𝐃𝐮𝐚 𝐋𝐮𝐤𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐒𝐚𝐥𝐢𝐧𝐠 𝐌𝐞𝐧𝐠𝐮𝐚𝐭𝐤𝐚𝐧
Dampak bencana 2025 sangat luas:
– Ratusan orang meninggal, ribuan terluka, ratusan hilang.
– Infrastruktur vital—jalan, jembatan, sanitasi, akses listrik—hancur dan terputus.
– Ratusan ribu warga kehilangan rumah dan mata pencaharian.
– Risiko penyakit meningkat karena minim air bersih dan fasilitas kesehatan.
Dari perspektif ekologis, kerusakan hutan berarti hilangnya lapisan perlindungan paling penting. Dari perspektif sosial, masyarakat kini menghadapi risiko berlapis: trauma, ketidakpastian ekonomi, dan masa depan permukiman yang terancam.
Dalam situasi seperti ini, pemerintah harus bekerja cepat tanpa terjebak dalam mentalitas reaktif. Sebab jika hanya fokus pada bantuan darurat, maka pemulihan hanya akan menjadi “penyangga sementara” sebelum bencana berikutnya datang.
Bantuan Darurat Penting, Tapi Tidak Cukup
Kita sering terjebak pada pola yang sama: bencana terjadi → tenda didirikan → bantuan makanan dikirim → pejabat datang → krisis mereda → perhatian hilang.
Pola ini harus dihentikan.
Setidaknya ada empat alasan:
1. Krisis ekosistem tidak akan sembuh dengan sendirinya. Rehabilitasi hutan adalah pekerjaan jangka panjang yang harus dimulai segera.
2. Infrastruktur harus dibangun ulang dengan standar adaptif. Tidak cukup “mengembalikan seperti semula”. Kita harus membangun lebih baik dari sebelumnya.
3. Ekonomi lokal runtuh. Petani kecil, masyarakat adat, dan desa hulu kehilangan sumber hidup ketika lahan tertimbun lumpur.
4. Tanpa perubahan tata ruang dan izin, bencana akan berulang. Di beberapa daerah, izin perkebunan dan tambang masih aktif bahkan di zona rawan bencana.
𝐁𝐚𝐧𝐭𝐮𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐫𝐮𝐫𝐚𝐭 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐥𝐚𝐦𝐚𝐭𝐤𝐚𝐧 𝐡𝐚𝐫𝐢 𝐢𝐧𝐢, 𝐭𝐞𝐭𝐚𝐩𝐢 𝐫𝐞𝐤𝐨𝐧𝐬𝐭𝐫𝐮𝐤𝐬𝐢 𝐛𝐞𝐫𝐤𝐞𝐥𝐚𝐧𝐣𝐮𝐭𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐥𝐚𝐦𝐚𝐭𝐤𝐚𝐧 𝐦𝐚𝐬𝐚 𝐝𝐞𝐩𝐚𝐧.
Saatnya Pemerintah Memimpin: Roadmap Rekonstruksi Sumatra
Jika negara ingin mengakhiri siklus bencana, pemerintah harus memimpin secara strategis. Kampanye “serba mendadak”, mobilisasi tanpa koordinasi, atau kunjungan seremonial tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah satu komando nasional, dengan kolaborasi lintas kementerian.
1. Bentuk Satuan Tugas Nasional Rekonstruksi Sumatra Dipimpin langsung oleh Presiden atau Wapres. Anggotanya meliputi:
– BNPB (respons darurat)
– Kementerian Sosial (perlindungan sosial)
– Kementerian PUPR (infrastruktur adaptif)
– Kementerian Kesehatan (layanan medis)
– KLHK (restorasi hutan & DAS)
– ATR/BPN (penataan ruang)
– Bappenas (perencanaan & pendanaan jangka panjang)
– Pemerintah daerah dan lembaga pengawas independen
Satu kesalahan paling berulang dalam bencana adalah koordinasi yang lambat, karena setiap kementerian bekerja sendiri-sendiri. Satgas nasional adalah cara memutus ego sektoral.
2. Fase Pemulihan Bertahap: Darurat → Pemulihan → Rekonstruksi
Fase 1: Darurat (0–6 bulan)
– Evakuasi, logistik, air bersih, hunian sementara, pos kesehatan, data korban.
– Pemetaan dampak lapangan: kerusakan, lahan longsor, DAS kritis.
– Cash transfer bagi korban agar kebutuhan dasar terpenuhi cepat.
Fase 2: Pemulihan (6–24 bulan)
– Perbaikan jalan, jembatan, sanitasi, fasilitas kesehatan sementara.
– Relokasi permukiman dari zona rawan dengan partisipasi warga.
– Program padat karya hijau: rehabilitasi DAS, kontrol erosi, tanam pohon.
– Bantuan ekonomi bagi petani kecil, UMKM, dan kelompok rentan.
Fase 3: Rekonstruksi (2–10 tahun)
– Restorasi hutan asli dan vegetasi lokal.
– Moratorium izin baru di DAS kritis; review izin lama.
– Pembangunan infrastruktur tahan banjir dan longsor.
– Monitoring tutupan hutan secara berkala dengan publikasi terbuka.
3. Penataan Ruang Berbasis Risiko
Perlu keberanian politik untuk mencabut dan meninjau ulang izin yang terbukti merusak. Banyak bencana ini terjadi di daerah yang sejak awal tidak boleh disentuh industri berat. Jika negara tidak tegas, maka rekonstruksi hanya menyiapkan panggung untuk bencana berikutnya.
4. Pendanaan Berkelanjutan
Rekonstruksi Sumatra butuh dana besar. Pendanaan dapat berasal dari:
– APBN dan APBD
– Dana darurat BNPB
– Skema donor internasional
– Blended finance: kolaborasi publik–swasta
– Insentif bagi komunitas lokal yang berhasil memulihkan hutan
Transparansi anggaran wajib. Tanpa itu, rekonstruksi mudah tersandera oleh korupsi lokal dan politik anggaran.
5. Masyarakat Sipil Harus Dilibatkan
WALHI, Greenpeace, akademisi, komunitas adat, dan kelompok masyarakat lokal harus dilibatkan bukan sekadar sebagai “konsultan moral”, tetapi sebagai mitra utama dalam mengawasi izin lahan, memantau restorasi, serta memastikan data lingkungan tidak dimanipulasi.
Respons Pemerintah Saat Ini: Mengapa Terlihat Tergopoh-gopoh?
Hari-hari awal tanggap darurat memperlihatkan beberapa kelemahan:
– Koordinasi logistik lamban dan tidak terpusat.
– Data korban berubah-ubah.
– Status bencana nasional belum ditetapkan meski dampaknya lintas provinsi.
– Minim informasi tentang rencana jangka menengah dan panjang.
Kesan bahwa pemerintah “bekerja tanpa arah” muncul bukan karena niat buruk, tetapi karena tidak ada peta jalan nasional untuk bencana ekologis berskala besar.
Satu kutipan dari aktivis lingkungan mungkin mewakili kekecewaan publik:
“Kita tidak bisa terus mengelola bencana dengan mentalitas pemadam kebakaran.” (WALHI Aceh, 2025).
Rekomendasi Prioritas untuk Pemerintah
1. Tetapkan status darurat nasional untuk mempercepat mobilisasi.
2. Bentuk Satgas Nasional Rekonstruksi Sumatra 2025.
3. Hentikan pemberian izin baru di DAS kritis dan kaji ulang izin lama.
4. Laksanakan program restorasi hutan berbasis komunitas.
5. Bangun infrastruktur adaptif, bukan sekadar membangun ulang.
6. Transparansi total: anggaran, izin, data kerusakan, progres pemulihan.
7. Libatkan masyarakat sipil sebagai pengawas independen.
𝐏𝐞𝐧𝐮𝐭𝐮𝐩: 𝐓𝐫𝐚𝐠𝐞𝐝𝐢 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐇𝐚𝐫𝐮𝐬 𝐌𝐞𝐧𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐓𝐢𝐭𝐢𝐤 𝐁𝐚𝐥𝐢𝐤
Banjir bandang dan longsor Sumatra 2025 bukan hanya menguji kapasitas negara, tetapi juga kualitas moral kita sebagai bangsa. Ribuan keluarga kini tidak tahu bagaimana masa depan mereka. Mereka butuh lebih dari sekadar uluran tangan; mereka butuh jaminan bahwa rumah, sungai, dan hutan mereka tidak lagi menjadi ancaman.
Jika rekonstruksi dilakukan sekadar formalitas, maka kita gagal. Tetapi jika tragedi ini mampu menggugah kesadaran ekologis nasional—mengubah cara kita mengelola ruang dan alam—maka kita memberi makna baru dari luka yang terjadi.
Harapannya sederhana:
Bencana ini menjadi titik balik, bukan pengingat tahunan.
Dan itu hanya mungkin jika pemerintah benar-benar memimpin—bukan bereaksi.
𝗗𝗮𝗳𝘁𝗮𝗿 𝗣𝘂𝘀𝘁𝗮𝗸𝗮
1. Ahmad Soilhin, WALHI Aceh. (2025, Desember). Pernyataan resmi tentang bencana dan degradasi lingkungan. Dikutip dalam: How decades of deforestation turned Asia’s floods into one of the deadliest weather events of 2025. Euronews.
2. AsiaToday.id. (2025, Desember). Rampant Deforestation in Sumatra: Forests Shrinking, Rivers in Crisis, Floods Devastate.
3. Dio Suhenda. (2025, 3 Desember). Environmental degradation in spotlight in Sumatra floods. The Jakarta Post.
4. Greenpeace Indonesia. (2025, 2 Desember). Sumatra Floods Send Prabowo Govt Warning to Correct Course.
5. Suryatmojo, H. (2025, 1 Desember). Severe Sumatra Flash Floods Driven by Upper Watershed Forest Degradation. UGM News.
6. BNPB. (2025). Laporan tanggap darurat Sumatra 2025.

