Oleh: M. Farhan Muhaimin, S.Sos
Mudanews.com OPINI – Musim hujan pada akhir November 2025 seharusnya menjadi fenomena rutin di Sumatera Utara. Namun dalam empat hari, 24–27 November, hujan berubah menjadi petaka. Banjir bandang dan longsor menghantam Sibolga, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Nias Selatan, sebagian Kota Medan, hingga Pakpak Barat. Ratusan warga meninggal dunia, puluhan dilaporkan hilang, dan lebih dari seribu orang mengungsi di sedikitnya sebelas kabupaten/kota.
Di tengah situasi darurat itu, publik mempertanyakan efektivitas tata kelola risiko bencana di tingkat daerah. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, melalui Gubernur Bobby Nasution, berkali-kali menegaskan bahwa faktor utama adalah cuaca ekstrem dan peringatan BMKG yang telah disampaikan sebelumnya. Namun, pertanyaannya kemudian muncul: jika mitigasi sudah dilakukan, mengapa infrastruktur dasar tidak siap, peringatan dini tidak bekerja optimal, dan ribuan warga tetap terjebak tanpa akses evakuasi?
Hujan deras memang tidak dapat dikendalikan, tetapi kondisi hulu sungai, bukit yang gundul, serta sedimentasi yang parah bukanlah konsekuensi cuaca, melainkan akibat kebijakan tata ruang dan pengawasan yang lemah. Organisasi lingkungan sejak lama mengingatkan deforestasi di Batang Toru dan kawasan sekitarnya, termasuk ekspansi tambang dan pembukaan lahan di berbagai daerah hulu sungai. Ketika tutupan hutan berkurang, daya serap air menurun, dan aliran air permukaan meningkat drastis mengundang risiko banjir bandang yang kini menjadi kenyataan.
Bencana ini membuka dua persoalan besar sekaligus. Pertama, kegagalan sistemik dalam tata kelola risiko bencana: sistem peringatan dini yang belum menyeluruh, penyusunan tata ruang yang tidak konsisten, pengawasan izin tambang dan pembalakan yang tidak ketat, serta koordinasi antarpemerintah yang berjalan lambat. Kedua, budaya alibi birokrasi yang terus menyandarkan penyebab bencana semata-mata pada cuaca, padahal faktor struktural jauh lebih menentukan.
Jika BMKG sudah mengeluarkan peringatan sejak jauh hari dan rapat koordinasi telah dilaksanakan, publik berhak bertanya mengapa kesiapan pemerintah justru kalah cepat dibanding datangnya air bah. Mengapa respons mitigatif tidak terlihat sebelum bencana, sementara setelah korban berjatuhan semua pihak berlomba menunjukkan aksi tanggap darurat?
Peran gubernur tidak berhenti pada distribusi bantuan sembako, mie instan, atau kunjungan ke lokasi bencana. Itu adalah tahap respons jangka pendek. Fungsi utama seorang kepala daerah adalah memastikan pencegahan berjalan, pengawasan terhadap pemanfaatan ruang dilakukan, dan sistem peringatan dini bekerja efektif. Tanpa itu, bencana bukan sekadar fenomena alam, melainkan kegagalan manajemen risiko.
Masyarakat Sumatera Utara tidak sekadar membutuhkan penjelasan tentang cuaca, tetapi jaminan bahwa kebijakan pembangunan, tata ruang, dan pengawasan lingkungan dilakukan secara serius. Banjir dan longsor kali ini seharusnya menjadi alarm keras bahwa kebijakan yang longgar dan koordinasi yang lambat berkontribusi pada besarnya dampak yang terjadi.
Sejarah akan menilai para pemimpin bukan dari seberapa banyak bantuan yang dibagikan setelah bencana, tetapi dari seberapa kuat mereka memastikan bencana tidak menelan korban. Ketika sungai sudah “berbicara” melalui banjir bandang, pertanyaannya yang muncul: apakah pemerintah daerah siap mendengar dan memperbaiki tata kelola, atau kembali berlindung di balik alasan cuaca? **

