Oleh : Anton Christanto
Pengamat dan Pemerhati Sosial Politik di Boyolali
Mudanews.com.com OPINI | Dalam beberapa bulan terakhir, ruang publik Indonesia disuguhi dua drama besar yang berasal dari dua institusi tua, berpengaruh, dan memiliki akar sejarah panjang: Nahdlatul Ulama (NU) dan Kraton Surakarta. Keduanya tengah berada dalam pusaran konflik internal, saling berhadapan antar-kubu, saling mengklaim legitimasi, dan pada titik tertentu membawa dampaknya ke hadapan publik yang lebih luas.
Meski berasal dari dua dunia yang berbeda—yang satu organisasi keagamaan terbesar, yang satu institusi budaya dan adat yang memiliki sejarah ratusan tahun—konflik keduanya memiliki pola yang mencurigakan serupa.
Apakah ini kebetulan?
Ataukah memang konflik kekuasaan memiliki wajah universal?
1. Konflik NU: Ketika Para “Gus” Tidak Lagi di Ruang Pesantren
NU, organisasi keagamaan yang lahir dari kultur pesantren dan dikenal penuh kearifan, akhir-akhir ini harus menghadapi dinamika internal yang keras. Perbedaan pandangan elite, perebutan otoritas, dan tarik-menarik kepentingan menjelma menjadi konflik terbuka.
Para tokohnya—yang sering disebut “Gus”—umumnya dihormati sebagai simbol ilmu, keteduhan, dan teladan. Namun, dalam konflik internal, julukan tersebut tampak kehilangan aura sakralnya.
Ruang yang mestinya menjadi ladang kebijaksanaan justru berubah menjadi arena klaim-mengklaim, pernyataan publik, pembentukan kubu, hingga manuver politik yang menguras energi organisasi.
NU, sebagai rumah besar umat, tampak sedang “bersuara keras ke dalam”—sebuah kondisi yang memalukan banyak warga nahdliyyin yang selama ini bangga pada keutuhan dan kebijaksanaan para pemimpinnya.
2. Konflik Kraton Surakarta: Ketika Para “Gusti” Tidak Lagi Menjaga Keagungan
Kraton Surakarta bukan sekadar bangunan bersejarah, tetapi simbol budaya Jawa yang memadukan estetika, etika, dan filosofi kepemimpinan.
Namun keagungan itu retak.
Konflik internal antar-keluarga, sengketa legitimasi, dan perebutan otoritas muncul ke permukaan.
Para “Gusti”—yang mestinya menjadi pewaris nilai-nilai adiluhung—justru terlibat dalam konflik terbuka yang menyeret kraton ke pusaran kontroversi modern, dari ruang rapat hingga ruang pemberitaan.
Perpecahan internal itu melahirkan kebingungan:
mana yang sah, mana yang mewakili budaya, atau apakah kraton masih mampu menjadi simbol pemersatu?
Situasi ini membuat banyak masyarakat Jawa hanya bisa mengelus dada. Sebuah institusi yang mestinya menjaga martabat kini terlihat justru sedang mempergunjingkan martabat itu sendiri.
3. Dua Konflik, Satu Pola: Ketika Elite Lupa Menjadi Teladan
Bila dicermati, konflik NU dan Kraton Surakarta memiliki sejumlah titik kemiripan yang mencolok:
Sama-sama soal kepemimpinan
Perebutan otoritas, legitimasi, dan pengaruh menjadi akar utama.
Sama-sama mengeras karena ego antar-kubu
Ketika dialog kehilangan ruang, yang muncul justru deklarasi dan saling menegaskan posisi.
Sama-sama dipertontonkan ke publik
Konflik internal yang seharusnya diselesaikan secara internal kini menjelma menjadi tontonan nasional.
Sama-sama memalukan pengikutnya
Warga NU dan masyarakat Jawa yang mengagumi kraton merasa kecewa karena teladan yang seharusnya dijaga justru tercederai.
Sama-sama menunjukkan paradoks kepemimpinan
Mereka yang seharusnya menjadi panutan justru bersikap jauh dari nilai yang mereka representasikan.
Ini menunjukkan satu hal:
ketika elite lupa pada peran moralnya, konflik akan lebih mudah tumbuh daripada kedewasaan untuk meredakannya.
4. Pelajaran Besar dari Dua Konflik Tua dalam Wajah Baru
Konflik internal sebenarnya bukan hal aneh dalam organisasi—baik agama, budaya, politik, maupun genetis. Tetapi ketika dua institusi yang mestinya menjadi role model publik justru terperangkap dalam pertikaian, maka dampaknya jauh lebih besar:
psikologis, sosial, bahkan moral.
Masyarakat akhirnya belajar bahwa:
* Ketinggian jabatan tidak selalu sejalan dengan ketinggian budi.
* Kemuliaan institusi tidak otomatis melahirkan kemuliaan perilaku anggotanya.
* Sejarah panjang tidak menjadi jaminan kecerdasan dalam mengelola konflik.
* Kita melihat bukan hanya pertarungan antar-elite, tetapi juga pertarungan melawan kedewasaan diri.
Pesan Moral untuk Pembaca dan Rakyat Indonesia
Konflik NU dan Kraton Surakarta menjadi cermin besar bagi bangsa ini:
bahwa institusi sebesar apa pun tetap rapuh bila manusianya tak dewasa, dan tradisi sekokoh apa pun mudah retak bila pemimpinnya kehilangan kebijaksanaan.
Karena itu, pesan moral yang layak kita renungkan:
🔹 Jangan pernah menggantungkan martabat sebuah institusi hanya pada gelar, kedudukan, atau garis keturunan. Yang membuat sebuah lembaga mulia adalah akhlak orang-orang yang mengelolanya.
🔹 Ketika para pemimpin sibuk memenangkan diri sendiri, maka yang kalah selalu rakyatnya.
🔹 Dan ketika dua kubu saling berebut “siapa yang paling berhak”, rakyat hanya ingin satu hal: siapa yang paling benar-benar bertanggung jawab.
Pada akhirnya, baik “Gus” maupun “Gusti”, baik yang mengaku pemimpin maupun yang merasa berhak memimpin, semuanya akan diukur bukan oleh klaim politik, melainkan oleh kebijaksanaan, keteladanan, dan kemampuan menjaga martabat yang dipercayakan kepadanya.
Semoga bangsa ini belajar, sebelum terlalu lelah menyaksikan mereka yang mestinya memberi contoh justru sibuk saling menjatuhkan.***

