Oleh Drs. Muhammad Bardansyah. Ch.Cht
Mudanews.com OPINI – Bukit Barisan bukan sekadar jajaran gunung di peta: ia adalah tulang punggung hidrologis dan geomorfologis Pulau Sumatera.
Hutan di lereng-lerengnya menahan air hujan, memperlambat aliran, menahan tanah, dan memberi waktu bagi sungai untuk menampung dan menyalurkan limpasan.
Merusak Bukit Barisan melalui perambahan, pembalakan liar, konversi ke perkebunan, tambang, atau kebakaran berarti merobek lapisan proteksi alamiah yang selama ini mencegah bencana hidrometeorologi membesar menjadi tragedi.
Dalam tiga tahun terakhir tekanan terhadap Bukit Barisan meningkat; pada puncaknya sekarang kita menyaksikan banjir bandang dan longsor yang meluluhlantakkan wilayah-wilayah di Sumatera Barat, Sumatera Utara (termasuk Tapanuli Selatan/Tapsel dan Sibolga/Medan), serta beberapa kabupaten di Aceh.
Korban jiwa, rumah hanyut, infrastruktur terputus fenomena yang berulang dan semakin intensif.
𝗔𝗽𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝘀𝗲𝗱𝗮𝗻𝗴 𝘁𝗲𝗿𝗷𝗮𝗱𝗶 𝘀𝗲𝗸𝗮𝗿𝗮𝗻𝗴 (𝗳𝗮𝗸𝘁𝗮 𝗿𝗶𝗻𝗴𝗸𝗮𝘀)
Curah hujan ekstrem dalam beberapa hari terakhir memicu banjir bandang dan tanah longsor di banyak titik sepanjang pantai barat dan dataran tinggi Sumatera;
Provinsi Sumbar telah menetapkan status tanggap darurat. Laporan media nasional dan BNPB/ BPBD mencatat ratusan rumah terdampak, puluhan korban luka, dan belasan korban meninggal dalam beberapa peristiwa terpisah.
Di Tapanuli Selatan dan sekitar Batang Toru, banjir bandang menewaskan puluhan orang dan puluhan lainnya masih dalam pencarian. Di Sibolga dan Padang beberapa kawasan dilaporkan terendam parah.
𝐏𝐞𝐧𝐲𝐞𝐛𝐚𝐛 𝐞𝐤𝐨𝐥𝐨𝐠𝐢𝐬: 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐚𝐩𝐚 𝐛𝐞𝐧𝐜𝐚𝐧𝐚 𝐢𝐧𝐢 𝐛𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐦𝐚𝐭𝐚 “𝐜𝐮𝐚𝐜𝐚 𝐛𝐮𝐫𝐮𝐤”
Hujan lebat adalah pemicu langsung, tetapi kerentanan sistem hasil aktivitas manusia menentukan seberapa destruktif banjir dan longsor itu menjadi.
𝐓𝐢𝐠𝐚 𝐣𝐚𝐥𝐮𝐫 𝐩𝐞𝐧𝐲𝐞𝐛𝐚𝐛 𝐮𝐭𝐚𝐦𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐝𝐨𝐤𝐮𝐦𝐞𝐧𝐭𝐚𝐬𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐛𝐞𝐫𝐤𝐨𝐧𝐭𝐫𝐢𝐛𝐮𝐬𝐢 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐬𝐤𝐚𝐥𝐚 𝐝𝐚𝐦𝐩𝐚𝐤:
Deforestasi dan perambahan hutan — Penelitian dan pemantauan menunjukkan pengurangan tutupan hutan di gugus Bukit Barisan (termasuk TNBBS dan kawasan konservasi lain) selama dekade terakhir akibat pembukaan lahan untuk pertanian, perambahan, dan penebangan.
Hilangnya kanopi dan akar yang menahan tanah mempercepat aliran permukaan dan meningkatkan risiko longsor.
Illegal Logging dan kegiatan ekonomi ekstraktif (tambang, perkebunan berskala besar)
Laporan konservasi, investigasi media, dan pengaduan masyarakat menyinggung operasi penebangan liar serta konversi lahan yang merusak zona tangkapan air di Bukit Barisan.
Aktivitas ini sering melibatkan rantai aktor lokal hingga jaringan yang lebih besar, sehingga sulit ditangani hanya dengan tindakan lokal sporadis.
Kebakaran hutan dan lahan Kebakaran, termasuk pembakaran lahan untuk membuka wilayah, menghilangkan bahan organik pelindung tanah dan membuat tanah menjadi lebih mudah ter-erosi saat hujan deras. Selain itu perubahan iklim memperkuat pola hujan ekstrem yang mempercepat siklus bencana.
Kesimpulannya: kombinasi curah hujan ekstrem dan lanskap yang sudah terkoyak oleh aktivitas manusia menghasilkan “bencana yang dapat diprediksi” bukan semata nasib.
𝐃𝐚𝐦𝐩𝐚𝐤 𝐬𝐨𝐬𝐢𝐚𝐥-𝐞𝐤𝐨𝐧𝐨𝐦𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐦𝐚𝐧𝐮𝐬𝐢𝐚𝐚𝐧
Dampaknya berlapis: korban jiwa dan kehilangan tempat tinggal adalah yang paling terlihat, tetapi ada pula dampak jangka menengah-panjang—lahan pertanian terendam atau rusak, infrastruktur jalan/jembatan putus (membuat distribusi bantuan sulit), sumber penghidupan terganggu, dan potensi konflik lahan meningkat ketika masyarakat terdampak mencoba mengakses sumber daya baru.
Laporan BNPB, media lokal, dan tim penyelamat menunjukkan skala kerusakan dan kebutuhan darurat saat ini.
𝐊𝐞𝐧𝐚𝐩𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐛𝐮𝐭 “𝐨𝐥𝐢𝐠𝐚𝐫𝐤𝐢” 𝐝𝐚𝐧 “𝐨𝐤𝐧𝐮𝐦” 𝐫𝐞𝐥𝐞𝐯𝐚𝐧
Aktivitas perusakan lanskap sering terkait dengan tekanan ekonomi dan kepentingan: permintaan komoditas, izin-izin yang longgar, serta praktik perizinan dan pengawasan yang lemah.
Istilah seperti “oligarki” atau “oknum” merujuk pada pola struktur kekuasaan dan ekonomi—bukan tuduhan kriminal spesifik—yang memungkinkan eksploitasi sumber daya alam tanpa pertanggungjawaban memadai.
Menyentuh pola ini penting untuk memahami skala masalah dan mengusulkan solusi struktural.
𝐑𝐞𝐤𝐨𝐦𝐞𝐧𝐝𝐚𝐬𝐢 𝐤𝐞𝐛𝐢𝐣𝐚𝐤𝐚𝐧 (𝐦𝐞𝐧𝐝𝐞𝐬𝐚𝐤 𝐝𝐚𝐧 𝐩𝐫𝐚𝐤𝐭𝐢𝐬)
Berikut langkah-langkah prioritas yang harus diambil sekarang — segera dan dalam jangka menengah — oleh pemerintah pusat & daerah, bersama masyarakat sipil dan donor/LSM yang bener (banyak LSM abal-abal yang tentu kita kecualikan :
Pengetatan moratorium izin baru di zona sensitif Bukit Barisan — segera hentikan pemberian izin yang berpotensi mengkonversi tutupan hutan di zona tangkapan air. (aksi administratif dan legal).
Gerakan darurat rehabilitasi dan reboisasi terfokus — program restorasi lereng kritis dengan tanaman asli, prioritas pada daerah hulu yang paling terdegradasi. Libatkan masyarakat lokal lewat skema insentif kerja.
Penegakan hukum terhadap illegal logging & tambang skala kecil — operasi terpadu penegakan hukum lingkungan dan audit izin, serta pengembalian biaya rehabilitasi kepada negara dari pihak pelaku jika terbukti.
Penguatan tata ruang dan perlindungan kawasan konservasi — revisi tata ruang berbasis risiko hidrologi; lindungi kawasan inti Bukit Barisan dan koridor ekologis penting (sejalan dengan rekomendasi konservasi internasional).
Sistem peringatan dini dan kesiapsiagaan komunitas — investasi pada early-warning systems di DAS (daerah aliran sungai) kritis serta pelatihan evakuasi untuk desa-desa di lereng bukit.
Transparansi izin & audit lingkungan independen — publikasi data izin, peta konsesi, dan monitoring tutupan hutan secara real-time agar publik dan media bisa memantau. Ini melemahkan ruang bagi oknum dan jaringan yang merusak.
𝐏𝐢𝐥𝐢𝐡an 𝐚𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐚𝐦𝐛𝐚𝐥 𝐚𝐭𝐚𝐮 𝐦𝐞𝐫𝐨𝐛𝐨𝐡𝐤𝐚𝐧 𝐩𝐞𝐧𝐲𝐚𝐧𝐠𝐠𝐚
Bukit Barisan adalah infrastruktur alam—lebih efektif, murah, dan berkelanjutan daripada infrastruktur beton yang harus dibangun ulang setiap kali bencana menerpa.
Jika kita menunggu sampai pascabangun, biaya ekonomi dan kemanusiaan akan jauh lebih besar. Tindakan yang diperlukan bukan hanya empati sementara, melainkan keputusan politik yang tegas:
menempatkan perlindungan lingkungan sebagai prioritas kebijakan publik, menegakkan aturan tanpa terkecuali, dan melibatkan komunitas lokal sebagai pelindung jangka panjang. Saatnya mengakhiri logika proyek jangka pendek yang menggerus penyangga alam, dan memilih strategi pemulihan yang mencegah tragedi berikutnya.
𝗥𝗲𝗳𝗲𝗿𝗲𝗻𝘀𝗶
– Al Jazeera. (2025, 26 November). At least 17 people killed in Indonesia floods, landslides.
– Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). (2025, 26 November). Perkembangan situasi dan penanganan bencana di tanah air — 26 November 2025.
– Liputan6.com. (2025, 27 November). Update Banjir dan Longsor di Sumbar: 9 Orang Meninggal, Pencarian Korban Hilang Terus Dilakukan.
– Detik.com (DetikSumut). (2025, 26 November). Update Korban Banjir-Longsor di Tapsel: 11 Orang Tewas, 38 Terluka; dan Update Korban Bencana di Sumut: 34 Tewas-52 Dalam Pencarian.
– Kementerian/Lembaga & Penelitian: Studi deforestasi Bukit Barisan Selatan (IPB / ResearchGate). (2015–2025). Deforestation in Bukit Barisan Selatan National Park / related studies.
– IUCN / UNESCO. (2025). Tropical Rainforest Heritage of Sumatra — State of conservation / threats (2025).
– State of Indonesia’s Forests / SoIFo (2024). The State of Indonesia’s Forests 2024 — illegal logging and forest change overview.
– AnalisaDaily / laporan lokal. (2025). Perambahan dan illegal logging di gugus Bukit Barisan — ancaman kelestarian hutan.

