Suksesi Ketua PP Muhammadiyah : Pendekatan Historis, Kultural, dan Sosiologis

Breaking News
- Advertisement -

 

Oleh : Anton Christanto
Pengamat dan Pemerhati Sosial Politik di Boyolali

Mudanews.com OPINI – Jika ada satu fenomena organisasi di Indonesia yang sulit dijelaskan secara logika politik modern, maka salah satunya adalah suksesi kepemimpinan Muhammadiyah. Organisasi yang berdiri sejak tahun 1912 ini telah melewati penjajahan Belanda, Jepang, Revolusi, pergantian presiden, reformasi politik, dan dinamika demokrasi modern—namun satu hal tetap sama: pemilihan ketua umum selalu berlangsung tenang, tanpa drama, tanpa transaksional kekuasaan, dan tanpa manuver politik yang gaduh.

Padahal, kalau diukur dari sumber daya, Muhammadiyah bukan organisasi kecil. Per 2024, ia memiliki:
* 200+ perguruan tinggi
* lebih dari 10.000 sekolah
* ratusan rumah sakit dan layanan kesehatan
* aset yang nilainya diperkirakan mencapai ratusan triliun rupiah
* jutaan simpatisan dan kader tersebar dari kota besar hingga dusun terpencil.

Di organisasi lain, modal sebesar itu biasanya memicu kontestasi, faksi, bahkan intrik politik. Namun Muhammadiyah justru memberi contoh: kekuasaan yang tidak diperebutkan, tetapi diamanahkan.

Fenomena ini bukan kebetulan. Ia dibangun oleh sejarah panjang watak gerakan, sistem yang stabil, dan kultur keagamaan yang mengakar.

1. DNA Awal: Sejak KH Ahmad Dahlan, Muhammadiyah Bukan Gerakan Kepentingan Jabatan

KH Ahmad Dahlan tidak mendirikan Muhammadiyah untuk menjadi “tuan organisasi”. Bahkan ia bukan tipe pemimpin yang ingin dipuja. Dalam catatan sejarah, ia sering berjalan kaki seorang diri keliling kampung, mengajar Al-Qur’an, berdiskusi, dan menghidupkan masjid.

Ketika organisasi mulai berkembang, beliau tidak membangun pola kultus individu. Tidak ada slogan “Dahlanisme”. Tidak ada simbol pemimpin diagungkan. Ia mendidik kader untuk menjadi pekerja amal, bukan pemburu posisi.

Nilai inilah yang kemudian dirumuskan menjadi etos:

Memimpin itu taklif (beban tanggung jawab), bukan tasyriif (kehormatan).

2. Tradisi “Menolak Jabatan” yang Berulang dalam Sejarah

Tidak sedikit cerita menarik.
Di Muktamar 1937 di Purwokerto, seluruh formatur yang terpilih menolak menjadi ketua umum. Semua merasa tidak layak. Semua merasa ada yang lebih baik. Sampai akhirnya diputuskan memanggil RA St. Mansur dari Minangkabau untuk menjadi ketua—bahkan harus “dinaturalisasi Muhammadiyah Yogyakarta”.

Fenomena ini berulang dalam banyak muktamar. Penolakan bukan sandiwara. Itu ekspresi spiritual bahwa jabatan adalah amanah yang berat.

3. Sistem Pemilihan yang Elegan dan Tanpa Kampanye

Pemilihan ketua umum Muhammadiyah menggunakan sistem formatur. Anggota memilih nama-nama yang dianggap layak, lalu para formatur bermusyawarah menentukan sendiri siapa ketua.

Tidak ada:
* Baliho wajah memenuhi kota.
* Kampanye visi-misi.
* Slogan gerakan.
* Konsolidasi politik massa.
* Serangan faksi atau tim sukses.

Karena sejak awal, kultur Muhammadiyah tidak mendidik kompetisi personal, melainkan kompetensi dan kelayakan.

4. Aset Muhammadiyah Tidak Bisa Dikuasai Ketua Umum

Muhammadiyah memiliki sistem kelembagaan yang sangat rapi. Semua berada dalam AUM (Amal Usaha Muhammadiyah) yang:
* dikelola kolektif,
* diawasi ketat,
* tidak dapat dijual, dialihkan, atau dikendalikan oleh satu orang.

Artinya, menjadi ketua umum tidak memberi akses ekonomi—yang ada justru akses ke beban amanah dan waktu kerja.

Karena itu logikanya berbeda:
Jabatan bukan pintu rezeki, tetapi pintu ujian.

5. Kaderisasi Panjang dan Terkelola

Seseorang yang menjadi formatur pusat biasanya telah melalui perjalanan panjang:
* pernah di IPM,
* pernah di IMM,
* di NA,
* di Pemuda Muhammadiyah,
* di ortom,
* di PWM dan PDM,
hingga akhirnya dipanggil ke pusat.

Selama perjalanan itu, orang sudah matang—bukan hanya secara intelektual dan organisatoris, tetapi juga secara akhlak.

Mereka tumbuh dalam kultur “kerja kolektif”, bukan kultus individu.

6. Tradisi Ilmu dan Nalar Rasional

Berbeda dari tradisi keagamaan yang emosional-populis, Muhammadiyah bergerak menggunakan ilmu dan tajdid. Budaya intelektual ini membuat dinamika organisasi lebih rasional, tertib, dan tidak mudah terprovokasi ego pribadi.

Sampai muncul humor internal:
“Rapat besar Muhammadiyah seperti rapat dosen—tenang, sopan, dan sebagian besar pakai kacamata.”

7. Spirit Keikhlasan yang Menjadi Pondasi

Keikhlasan bukan slogan di Muhammadiyah—ia bagian dari kultur. Banyak pimpinan hidup biasa-biasa saja, bahkan ada yang sederhana secara ekonomi, tetapi tetap melayani karena merasa:

“Ini bukan tugas politik, ini tugas agama.”

Kesimpulan: Muhammadiyah Telah Menemukan Rumus Kepemimpinan Tanpa Perebutan

Apa yang terjadi dalam setiap suksesi ketua umum Muhammadiyah bukan fenomena instan, bukan kebetulan. Itu hasil akumulasi:
* nilai agama,
* sistem organisasi,
* budaya keilmuan,
* dan tradisi akhlak sosial.
Karena itu setiap muktamar selalu terasa sejuk—sejuk dalam suasana, sejuk dalam wibawa, dan sejuk dalam hati.

Di dunia yang semakin gaduh oleh ambisi kekuasaan, Muhammadiyah mengajari satu pelajaran penting:

“Kepemimpinan sejati bukan diperebutkan, tetapi dipikul.”

Semoga tradisi ini diwariskan terus, hingga generasi terakhir umat manusia.
Aamiin.**

Berita Terkini