Kepentingan Jokowi dan Bloomberg

Breaking News
- Advertisement -

 

Oleh: Aznil Tan

Mudanews.com OPINI | Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, tampil sebagai pembicara penutup dalam Bloomberg New Economy Forum (BNEF) pada 21 November 2025 di Singapura, dengan tema “Thriving in an Age of Extremes.”

Dalam pidatonya, yang disampaikan dalam bahasa Inggris, Jokowi menonjolkan pembangunan infrastruktur, transformasi digital, dan visi Indonesia menuju “ekonomi cerdas.”

Bagi banyak kalangan di dalam negeri, kehadiran Jokowi di forum berskala global ini dianggap sebagai bukti pengakuan dunia atas prestasi ekonominya. Persepsi ini semakin diperkuat sejak Bloomberg New Economy menunjuk Jokowi sebagai anggota Dewan Penasihat Global pada 9 April 2025 dan memposisikannya sebagai representasi negara berkembang yang dianggap berhasil menjaga stabilitas politik sekaligus mendorong pembangunan fisik dan digitalisasi.

Dalam konstruksi narasi internasional, Jokowi dihadirkan sebagai wajah “Global South” yang mampu menjembatani Asia Tenggara dengan jaringan bisnis global, seolah menjadi simbol negara berkembang yang sukses bertahan di era gejolak geopolitik.

Narasi ini sejalan dengan agenda Bloomberg yang berkutat pada teknologi, urbanisasi, dan transformasi ekonomi sebagai jawaban atas tantangan global. Namun, narasi ini tidak lepas dari kebutuhan pencitraan dan diplomasi ekonomi, di mana tampilnya seorang pemimpin di panggung global bukan hanya komunikasi publik, tetapi juga strategi legitimasi internasional yang dapat memperkuat posisi domestik.

Persoalannya, forum seperti Bloomberg tidak beroperasi dalam kerangka nilai-nilai publik.

Logika Kapital global

Kapital global menilai negara bukan berdasarkan hak asasi manusia, kualitas demokrasi, atau pemerataan kesejahteraan, melainkan melalui kriteria yang lebih sederhana: apakah negara tersebut memberikan kepastian bagi investasi dan akses pasar.

Dalam logika ini, demokrasi direduksi menjadi stabilitas; selama pemerintah tidak menimbulkan risiko bagi investor, ia dianggap sukses, terlepas dari metode politik yang digunakan untuk mempertahankan kekuasaan.

Itulah sebabnya negara yang demokratis tetapi gaduh oleh protes dapat dipandang tidak stabil, sementara rezim otoriter yang represif terhadap rakyatnya dapat dipandang ramah investor.

Pola ini terlihat pada sosok-sosok seperti Xi Jinping di China, Mohammed bin Salman di Arab Saudi, Narendra Modi di India, dan kini Jokowi di Indonesia. Mereka dipuji bukan karena memperkuat institusi demokrasi atau meningkatkan kesejahteraan rakyat secara merata, tetapi karena menyediakan prediktabilitas politik dan kepastian kebijakan pembangunan yang dapat dikapitalisasi oleh pasar global.

Bloomberg beroperasi dalam logika yang sama. Maka bagi sebagian masyarakat Indonesia yang hidup dalam bayang-bayang penggusuran, utang publik, eksploitasi sumber daya, dan demokrasi yang melemah, penokohan Jokowi oleh Bloomberg bukanlah kebanggaan, melainkan ironi.

Model pembangunan yang dipromosikan Jokowi selama dua periode pemerintahannya tidak hanya mengandalkan proyek fisik besar, tetapi juga skema pembiayaan yang bergantung pada utang BUMN, pembiayaan luar negeri, dan kemitraan publik-swasta (KPBU).

Jalan tol, Ibu Kota Negara baru, hingga proyek pelabuhan dan kawasan industri bukan sekadar pembangunan; ia merupakan instrumen finansialisasi ekonomi nasional yang membuka pintu bagi ekspansi korporasi global. Konsekuensinya adalah risiko ketergantungan fiskal jangka panjang, privatisasi aset strategis, dan perpindahan kepemilikan ruang ekonomi publik ke tangan modal internasional. Di lapangan, manfaat pembangunan tidak merata.

Pertumbuhan ekonomi tetap terkonsentrasi di Jawa, desa-desa tertinggal tidak beranjak dari stagnasi, dan kekuasaan ekonomi semakin terkonsolidasi dalam lingkaran oligarki sumber daya.

Digitalisasi dan hilirisasi sering dipromosikan sebagai tonggak ekonomi baru, namun keduanya belum menjawab persoalan struktural: pengangguran pemuda yang tetap tinggi, dominasi pekerja informal, serta minimnya penciptaan pekerjaan berkualitas.

Infrastruktur memang bisa menurunkan biaya logistik, tetapi tidak otomatis menciptakan pemerataan kesejahteraan. Ketimpangan dalam konteks ini bukan kecelakaan sejarah, tetapi hasil struktural dari pembangunan yang berorientasi pertumbuhan dan akumulasi modal, bukan distribusi dan partisipasi.

Pada saat bersamaan, demokrasi mengalami erosi signifikan. Pemilu 2024 menjadi titik balik ketika Mahkamah Konstitusi mengubah aturan batas usia calon presiden dengan cara yang dinilai memfasilitasi politik dinasti.

Kooptasi lembaga negara, pelemahan KPK, pembungkaman oposisi, dan politisasi aparat menegaskan bahwa pembangunan tidak netral secara politik. Namun pasar tidak terusik. Selama proyek berjalan dan modal aman, demokrasi dapat dinegosiasikan.

Dalam kapitalisme global, rakyat dapat dikorbankan selama pasar tidak terganggu.

Ini bukan sekadar ironi moral, tetapi ancaman masa depan negara berkembang yang memprioritaskan legitimasi pasar di atas legitimasi rakyat.

Ketemunya Kepentingan Jokowi dan Bloomberg

Di lapisan struktural, persoalan ini terkait fungsi Bloomberg itu sendiri. Secara formal, Bloomberg mengklaim independensi editorial, tetapi forum seperti Bloomberg New Economy Forum bukan ruang evaluasi akademik atau seleksi moral. Ia adalah arena kurasi narasi di mana modal, kekuasaan, dan persepsi internasional diperdagangkan.

Akses ke forum semacam itu tidak ditentukan oleh kapasitas intelektual atau rekam jejak demokratis, melainkan oleh relevansi geopolitik, kedekatan jaringan, kontribusi finansial, kemampuan menjual narasi, serta potensi membuka pasar bagi investor global. Dalam ekosistem seperti ini, uang bukan satu-satunya mata uang; narasi, simbolisme, dan akses lebih berharga.

Karena itu, tampilnya Jokowi di panggung Bloomberg bukan seleksi moral, melainkan transaksi simbolik. Ia hadir bukan karena dianggap paling berpihak pada rakyat, tetapi karena dipandang dapat menjaga stabilitas politik, memuluskan proyek strategis, dan menawarkan kerangka pembangunan yang mudah diprediksi investor.

Forum semacam ini tidak dirancang untuk menguji ide, tetapi untuk mengemas gagasan menjadi narasi yang dapat dikonsumsi pasar. Tidak mengherankan jika pemimpin yang memakmurkan rakyat tetapi tidak ramah investor tak pernah diundang, sementara pemimpin yang represif tetapi efektif mengakumulasi modal justru mendapatkan tempat terhormat.

Masalah terbesar muncul ketika publik Indonesia membaca panggung global sebagai panggung pengakuan moral. Mentalitas pascakolonial membuat kita merasa bahwa suatu pemimpin baru sah apabila diakui oleh institusi global berbasis Barat.

Padahal perubahan domestik seharusnya dinilai dari pengalaman rakyat, bukan dari tepuk tangan konferensi bisnis internasional. Bloomberg bukan lembaga demokrasi, bukan penilai kesejahteraan publik, bukan otoritas etika pembangunan. Bloomberg adalah perpanjangan tangan kapital global yang mengkurasi figur dan narasi yang menenangkan pasar.

Di sinilah letak ilusi Jokowi di forum Bloomberg: pengakuan global yang diklaim bukanlah validasi moral, melainkan legitimasi strategis yang dipertukarkan dalam ekonomi politik global. Pengakuan semacam ini tidak menjawab pertanyaan fundamental: apakah rakyat menikmati keadilan sosial? Apakah pembangunan dilakukan dengan partisipasi? Apakah demokrasi diperkuat? Selama pertanyaan-pertanyaan itu tidak dijawab, maka panggung internasional hanyalah dekorasi kekuasaan, bukan ukuran keberhasilan.

Tugas kita bukan menolak panggung global, tetapi menolak menjadikan panggung global sebagai pengganti legitimasi rakyat. Keberhasilan pemimpin tidak diukur dari siapa yang memujinya di forum internasional, tetapi dari siapa yang merasakan dampaknya di dalam negeri. Legitimasi terbesar tidak dibangun di hotel-hotel konferensi, tetapi dalam kehidupan warga negara. Dan sejarah, pada akhirnya, tidak mengingat siapa yang tampil di panggung internasional—sejarah mengingat siapa yang membela rakyatnya.**

Berita Terkini