Anton Christanto , Staf Pengajar Prodi PPDS THT-BKL FK-UNS/RS-UNS
Mudanews.com OPINI – Sudah hampir tiga tahun dunia kesehatan, khususnya pendidikan kedokteran, dipenuhi perdebatan panjang. Suasananya sering emosional, penuh prasangka, dan dibumbui pernyataan dari pejabat publik yang justru seharusnya menjadi penjernih suasana. Muncul pula persepsi baru yang tak kalah gaduh: “yang ini terpaksa mengurusi karena yang itu tidak beres mengurusi.”
Di mata publik, seolah ini menjadi panggung kompetisi antar lembaga. Padahal persoalan utama yang seharusnya kita tekankan justru adalah kolaborasi.
Isu yang paling memanas selama tiga tahun terakhir tidak lain adalah Pendidikan Profesi Dokter Spesialis (PPDS)—untuk mudahnya kita sebut saja Pendidikan Spesialis.
Alasannya sederhana: kebutuhan pelayanan kesehatan meningkat, sementara jumlah dan distribusi dokter spesialis dinilai belum memadai. Betul, keduanya menjadi masalah.
Tetapi persoalan ini tidak bisa dilihat sebagai urusan satu pihak saja. Ada dua kementerian yang memiliki mandat utama:
* Kemendiktisaintek, yang mengurusi pendidikan tinggi.
* Kemenkes, yang mengurusi sistem kesehatan dan SDM kesehatan.
Selain keduanya, ada pula peran Kemendagri, Kemenkeu, KemenPANRB, serta Pemerintah Daerah.
1. Menempatkan Pendidikan Kedokteran pada Porsinya
Tugas Kemendiktisaintek membentang luas: Pendidikan Tinggi, Riset dan Pengembangan, serta Sains-Teknologi.
Di dalam rumpun Dikti, terdapat Dikti Kesehatan, lalu Dikti Kedokteran, yang mencakup dua jenjang:
1. Pendidikan Profesi Dokter
2. Pendidikan Spesialis (dan Subspesialis)
Di sinilah sebenarnya posisi Pendidikan Spesialis: ia adalah salah satu bagian dari pendidikan tinggi kesehatan.
Sementara itu, dalam kerangka Sistem Kesehatan Nasional (SKN), Kemenkes mengurusi tujuh subsistem, salah satunya adalah SDM Kesehatan, yang mencakup lima area:
1. Perencanaan
2. Pengadaan
3. Pendayagunaan
4. Peningkatan mutu
5. Kesejahteraan
Isu pendidikan dokter spesialis hanya berada di area Pengadaan SDM. Setelah pendidikan selesai, barulah berada di ranah Pendayagunaan, yang sepenuhnya urusan Kemenkes.
Karena itulah terdapat Kolegium untuk masing-masing profesi kesehatan, sebagai mitra penyelenggara pendidikan. Di sinilah Pendidikan Kedokteran memperoleh kekuatan akademik sekaligus standar profesi.
2. Mengapa Soal Ini Menjadi Ramai?
UU Kesehatan 17/2023 memang membawa perubahan besar. Salah satu yang positif adalah penataan Kolegium bagi semua tenaga kesehatan. Banyak tenaga kesehatan selain dokter memang masih membutuhkan dukungan pembenahan sistem pendidikan.
Namun untuk kedokteran, ada catatan penting. Pendidikan spesialis sudah berkembang jauh lebih dulu, bahkan sebelum negara hadir.
Tahun 1960-an: pendidikan spesialis dilakukan di rumah sakit oleh senior kepada junior, learning by doing.
Tahun 1970-an: para dokter senior membentuk Kolegium sebagai bentuk standarisasi.
Tahun 1980-an: mulai muncul pendidikan terstruktur melalui kerjasama RS dan Fakultas Kedokteran (FK).
Tahun 2000-an: model kolaborasi FK–RS dikukuhkan melalui berbagai UU (Sisdiknas, Dikti, Praktek Kedokteran, Dikdok).
Model ini telah menghasilkan lebih dari 50.000 dokter spesialis—sebuah pencapaian besar dalam sejarah kesehatan Indonesia.
Karena itu, ketika UU 17/2023 dan PP 28/2024 menempatkan Kolegium di bawah koordinasi Menkes, wajar muncul kekhawatiran:
apakah independensi profesi masih terjaga?
Di sisi lain, Kemenkes mulai menginisiasi PPDS Hospital-Based (HB)—pendidikan spesialis yang diselenggarakan oleh Rumah Sakit Pendidikan Penyelenggara Utama (RSPPU).
Gagasannya sudah muncul sejak 2022, namun sayangnya langsung memicu perdebatan emosional, sering tanpa pemahaman komprehensif.
3. PPDS HB vs PPDS UB: Apa Sebenarnya Bedanya?
Secara historis, pendidikan spesialis memang berlangsung di rumah sakit. Tidak ada yang baru dari segi praktik.
Bedanya hanya penyelenggaranya:
PPDS UB (University-Based) → Penyelenggara: Fakultas Kedokteran
PPDS HB (Hospital-Based) → Penyelenggara: RSPPU, bekerja sama dengan FK
Untuk menjadi RSPPU, syaratnya ketat:
1. RS harus terlebih dahulu menjadi Rumah Sakit Pendidikan (RSP) yang bermitra dengan FK
2. Harus menunjukkan kinerja baik dalam pendidikan
3. Harus memiliki kekuatan fiskal
4. Harus memenuhi standar mutu
5. Harus kembali bekerjasama dengan FK untuk penjaminan mutu prodi
6. Setelah itu baru bisa membuka Prodi PPDS HB melalui mekanisme DIKTI
Dengan kata lain, PPDS HB tidak bisa berdiri tanpa FK.
Jadi apa bedanya?
Secara praktik pendidikan dan output lulusan, PP 28/2024 menyebutkan bahwa semua aspek UB dan HB sama.
Kalau realitanya berbeda, berarti yang harus diperbaiki adalah penyelenggara, bukan sistemnya.
4. Soal Bullying: Bukan Soal HB atau UB
Bullying dapat terjadi dalam sistem pendidikan kesehatan mana pun karena:
* pendidikan berlangsung 24 jam
* intensitas kerja tinggi
* tanggung jawab besar
* adanya hirarki senior–junior
Ini berlaku baik di HB maupun UB.
Ironisnya, saat ini justru muncul ketimpangan baru:
* PPDS HB sebagian besar mendapat beasiswa “full”, tidak membayar
* PPDS UB sebagian besar membayar sendiri
Disparitas ini sendiri dapat memicu dinamika yang tidak sehat.
5. Soal Distribusi Dokter Spesialis: Akar Masalahnya Bukan PPDS HB vs UB
Kemendikti sudah menyiapkan program akselerasi: membuka prodi baru, kerjasama dengan pemda, dan memperbanyak beasiswa daerah.
Sementara Kemenkes menyatakan akan membangun 500 RSPPU.
Padahal, menjadi RSPPU bukan proses mudah.
Saat ini, setelah dua tahun berjalan, jumlah peserta PPDS HB baru sekitar 110.
Lulusnya baru 3–4 tahun lagi.
Bandingkan dengan kapasitas FK yang sudah mapan dan lebih cepat untuk diekspansi.
UU Kesehatan 17/2023 sendiri (Pasal 209) jelas menyebutkan:
* Pendidikan Spesialis utamanya diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi (FK)
* Jika belum mencukupi, baru dapat diselenggarakan oleh RSPPU
Artinya RSPPU adalah opsi tambahan, bukan sistem yang menggantikan FK.
6. Mengapa Seolah Pendidikan Spesialis Menjadi Arena “Kompetisi”?
Jika pilar-pilar lain dalam sistem kesehatan—layanan primer, layanan rujukan, JKN, farmalkes, alat kesehatan—belum sepenuhnya tuntas, mengapa energi terpusat pada pendidikan spesialis?
Bukankah lebih baik berbagi tupoksi?
Kemenkes fokus memperbaiki mutu layanan dan menyiapkan RS agar layak menjadi RSP
Kemendikti fokus menjaga kualitas pendidikan dan kapasitas prodi
Model kolaborasi ini sudah terbukti berjalan selama puluhan tahun.
7. *Gugatan MK: Tidak Menghambat Persebaran Spesialis*
Gugatan dari kalangan profesi lebih banyak terkait dua hal:
1. Independensi Kolegium
2. Pelaksanaan PPDS HB yang dirasa terlalu dipaksakan sebagai “program”
Tidak ada satu pun gugatan yang menargetkan pasal-pasal terkait distribusi dokter spesialis.
Jadi tidak tepat menyatakan bahwa gugatan MK menghambat persebaran dokter spesialis.
***********
Saatnya Kembali pada Akal Sehat dan Kolaborasi
Mari kita hindari kebiasaan membuat pernyataan heroik yang menggugah emosi publik, tetapi tidak menyentuh akar masalah.
Mari kita hentikan saling sangkal tanpa data. Jangan sampai diskusi menjadi sekadar saling tuding yang justru membuat kita semua tampak bebal.
Pendidikan kedokteran—terutama pendidikan spesialis—adalah elemen kecil dari sistem kesehatan. Namun entah mengapa dalam tiga tahun terakhir, isu kecil ini justru menjadi sumber kegaduhan terbesar.
Semoga tulisan ini dapat membantu menjernihkan perspektif kita.
Agar energi kita tersalurkan lebih efektif, lebih kolaboratif, dan lebih bermanfaat bagi bangsa.**

