Catatan Pagi :  Ketidakpastian Kenaikan UM 2026

Breaking News
- Advertisement -

 

Mudanews.com OPINI – Pembahasan upah minimum (UM) 2026 sampai sekarang belum ada landasan hukumnya. Pihak Pemerintah cq. Kementerian Ketenagakerjaan belum menyelesaikan regulasinya, apakah dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) atau Peratura Menteri Ketenagakerjaan. Sesuai amanat PP 36 Tahun 2021 Gubernur diwajibkan menetapkan UM Propinsi paling lambat tanggal 21 November dan UM Kabupaten/kota paling lambat 1 Desember 2025, yang akan berlaku tanggal 1 Januari 2026.

Ketiadaan regulasi hingga saat ini membuktikan Pemerintah cq Kemnaker tidak serius menyelesaikan masalah kenaikan UM untuk 2026 padahal UM menjadi masalah terus setiap tahun. Kenaikan UM 2025 tidak jelas prosesnya, tiba-tiba Presiden menyatakan kenaikan 6.5%, lalu dibuat Permenaker yang mengadopsi 6.5% dan berlaku sama di seluruh propinsi.

Apakah untuk kenaikan UM 2026 masih harus menunggu pernyataan Presiden sehingga menjadi acuan bagi Menteri Tenaga Kerja untuk membuat Peraturan Menteri Ketenagakerjaan. Seharusnya tidak.

Bila hal ini juga dilakukan untuk kenaikan UM 2026, maka ada beberapa permasalahan, yaitu:
1. Proses penentuan kenaikan tidak didasari regulasi yang jelas, hanya mengadopsi pernyataan Presiden. Seharusnya ada regulasi yang menjadi dasar penentuan UM 2026, bukan pernyataan Presiden.

2. Angka 6.5% pada saat penentuan UM 2025 berlaku untuk seluruh propinsi padahal inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi propinsi (PDRB) tidak sama sehingga dengan kenaikan UM 6.5% akan ada pekerja yang dirugikan, yaitu pekerja di propinsi yg memiliki PDRB tinggi seperti Maluku Utara, yang di Triwulan I 2025 mencatatakan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia sebesar 34,58%. Ini tidak fair bagi pekerja di Maluku Utara.

3. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yg mengamanatkan KHL pun tidak dilaksanakan padahal aturan KHL ada di Permenaker 18 tahun 2020 yang mengatur 64 item KHL. Memang yang ideal adalah kenaikan UM didasari pada perhitungan KHL.

4. Bahwa Putusan MK pun mengamanatkan peran Dewan Pengupahan Daerah (DPD), namun sampai saat ini tidak jelas keterlibatan DPD dalam penentuan UM 2026. Ini sudah jelas Menaker melanggar putusan MK 168.

Permasalahan ini menyebabkan ketidakpastian bagi pekerja dan perusahaan. Bagi perusahaan, kenaikan UM 2026 akan menjadi dasar perhitungan anggaran biaya tenaga kerja di 2026 sehingga keterlambatan ini akan menyusahkan Perusahaan untuk membuat anggaran di 2026. Termasuk perencanaan perhitungan biaya tenaga kerja yang akan berpengaruh juga terhadap penentuan harga barang dan jasa yang diproduksi.

Demikian juga dengan pekerja dan keluarga yg saat ini saja sudah dibayangi inflasi khususnya kebutuhan pangan, yang cenderung akan meningkat di 2026, termasuk kebutuhan lainnya. Hal ini berpotensi mempengaruhi upah riil pekerja yang berpengaruh pada daya beli pekerja dan keluarga sehingga penurunan daya beli akan menurunkan kesejahteraan pekerja dan keluargannya.

Dengan keterlambatan ini maka potensi terjadinya gugat menggugat kenaikan UM 2026 di Pengadilan Tata Usaha Negara akan semakin besar. Akan ada potensi kegaduhan tentang kenaikan UM 2026 ini.

Seharusnya Menaker sensitif untuk masalah ini. Keterlambatan ini sebagai kegagalan Menaker menyelesaikan masalah UM di 2026. Ini sudah tahun kedua kegagalan Menaker dengan menciptakan ketidakpastian kenaikan UM. Seharusnya Presiden mengevaluasi Menteri Ketenagakerjaan, karena potensi kegaduhan (demonstrasi dan gugat menggugat) akan semakin besar.***(Red)

Pinang Ranti, 18 Nopember 2025

Tabik

Timboel Siregar

Berita Terkini