Sebelum Memproses Hukum RRT Lebih Lanjut  Adili Dulu Kepastian Ijazah Jokowi!

Breaking News
- Advertisement -

 

 

Oleh : Henri Subiakto

Mudanews.com OPINI – Kalau tersangka Roy Suryo dan kawan-kawan (RRT) dinyatakan oleh polisi mengedit ijazah Jokowi maka, penegak hukum tersebut harus membuktikan bahwa ada informasi elektronik milik Jokowi yang asli, lalu dibandingkan dengan informasi elektronik yang sama yang sudah diubah atau diedit.

Dalam hal ini harus ada bukti digital forensik perubahan itu. Minimal secara teknis ada bukti perubahan di dalam file itu sendiri (intrinsic). Ada bukti jejak di luar file (extrinsic/sistem) dan bukti perilaku (behavior) tersangka yang menunjukkan bukti melakukan perubahan, menggunakan perangkat elektronik tertentu yang digunakan oleh tersangka. Ada bukti jejak digitalnya dalam perangkat yang dipakai pelaku.

Jadi penegak hukum harus membuktikan ada meta data, waktu edit dan software device ID yang mereka gunakan. Penegak hukum harus menemukan perbedaan kompresi JPEG di area informasi ijazah yang diedit. Jadi ada bukti forensik. Penegak hukum harus menemukan bukti pola noise kamera dengan noise edit (ketidak akuratan hasil edit).
Diketemukan juga adanya digital signature/ Hash mis match. Tanda tangan di ijazah hasil edit rusak atau hasih berubah.

Data asli yang tersembunyi di file, terbukti ada yang mengubah dan menjadikan berbeda seolah-olah asli. Tanpa bukti-bukti itu semua, berarti unsur-unsur pasal 32 dan pasal 35 UU ITE tidak tepat dipakai oleh penegak hukum.

Sepengetahuan saya, ijazah asli itu bukan informasi elektronik. Tapi kertas ijazah yang legal dan otentik yang dikeluarkan oleh institusi pendidikan yang berwenang yaitu dalam hal ini adalah UGM. Ketika kemudian ijazah itu difoto, atau discan lalu diupload orang, hasil scan itu bukan lagi informasi elektronik yang legal dan otentik yang disimpan dalam sistem yang dilindungi UU ITE.

Foto ijazah atau hasil scan ijazah yang sudah diupload orang di medsos, tersebut bukan informasi elektronik yang bersifat otentik dan legal yang dimaksud dan dilindungi UU ITE karena merupakan properti ekonomi, sosial dan politik pemiliknya.

Foto-foto dan hasil scan yang beredar di medsos adalah informasi biasa di ranah publik, bukan properti milik pribadi yang dilindungi UU, atau kalau ada yang mengubahpun bukan wilayah yang jadi larangan norma pasal 32 dan 35 UU ITE. Mereka yang terbukti mengubah foto, atau hasil scan, mencoret membuat beda penampilan dan lain-lain itu hanya terkena pelanggaran etika. Baru ada ancaman pidana jika itu dipakai untuk menipu, itupun kenanya KUHP bukan ITE.

Jadi objek yang dianggap informasi legal yg dilindungi UU itu bukan hasil scan ataupun hasil foto. Ijazah hasil scan itu berubah saja tidak masuk pasal ITE apalagi kalau tidak ada perubahan materi isi terhadap itu semua. Makin tambah tidak ada hubungan dengan UU ITE. Maka jelas tidak tepat jika urusan hasil scan ijazah ataupun upload foto copy itu dianggap ada pelanggaran UU ITE.

Beda lagi dengan pasal 27A UU ITE yang baru tentang pencemaran nama baik. Disebut ada fitnah dan pencemaran nama baik itu jika pokok persoalan utamanya sudah terbukti, dimana ijazah pak Jokowi benar- benar asli berdasar putusan pengadilan yang telah diuji dan dievaluasi keabsahannya secara terbuka oleh para ahli. Tanpa proses pembuktian di pengadilan, polisi tidak bisa dan tidak punya kewenangan menyimpulkan ijazah Jokowi asli. Yang berwenang hanyalah pengadilan yang terbuka dilengkapi proses pengujian. Persoalan hukum serius seperti ini tidak cukup didasarkan klaim atau pernyataan di luar pengadilan.

Prof Henri Subiakto pakar hukum dan komunikasi Unair Surabaya.

Berita Terkini