Oleh : Muhammad Joni
Mudanews,com OPINI – Di negeri yang masih mencari arti keadilan, nama Tengku Amir Hamzah muncul seperti gema sunyi dari masa lalu — seorang penyair yang memutus perkara dengan nurani, bukan dengan pasal.
Amir bukan sekadar pahlawan nasional, bukan sekadar penulis syair ‘Padamu Jua’ dan ‘Nyanyi Sunyi’, tetapi juga Kepala Mahkamah Langkat. Amir pembelajar hukum di Batavia, yang wafat bukan karena kalah, tetapi karena kejujuran yang terlalu terang di tengah zaman yang dirundung gelap.
Hakim Amir dari Dunia Syair
Batavia, awal 1930-an. Seorang mahasiswa hukum muda dari Langkat mencatat kata-kata Belanda di papan tulis dan menerjemahkannya dalam bahasa nurani. Ia menulis tentang rechtvaardigheid—keadilan, namun dalam puisinya disebut cinta yang memulihkan.
Nama mahasiswa itu: Amir Hamzah, sarjana hukum dari Rechtshogeschool te Batavia.
Di masa ketika hukum dipakai untuk menundukkan rakyat, Tengku Amir belajar untuk menegakkan harkat manusia. Amir membawa pulang ajaran kaidah hukum, tapi juga satu keyakinan: bahwa keadilan tanpa kasih hanyalah kekuasaan yang berwajah seram.
Ketika kembali ke neheei melayu Kesultanan Langkat, Ku Busu, begitu panggilan kesayangan Amir; bukan menempati singgasana kerajaan, melainkan kursi Kepala Mahkamah Langkat.
Di ruang sidang, Amir tidak berbicara dengan suara tinggi. Amir berbicara dengan nada yang membuat saksi tenang, terdakwa menangis, dan rakyat percaya hukum masih punya hati.
Lebih Awal dari Restorative Justice
Kini dunia hukum modern mengenal Restorative Justice — keadilan yang mengembalikan manusia ke martabatnya, bukan ke penjara.
Tapi jauh sebelum itu diucapkan di ruang seminar atau meja konferensi, Amir Hamzah telah melakukannya.
Hakim Amir menengahi sengketa rakyat dengan bahasa persaudaraan. Bila ada pencuri kecil, alahai dia malah lebih dulu bertanya dengan wajah santun: “Apakah engkau lapar, ataukah dunia yang membuatmu begitu?”
Hakim Amir memutus perkara dengan empati, bukan emosi. Dia yang dengan hatinya menghukum dengan harapan agar orang kembali menjadi manusia.
Putusan-putusan Amir tak tercatat di berkas pengadilan. Amba masih mencarinya ke sumber data. Tapi jejak moralnya terekam di hati rakyat Langkat. Amir bukan hanya hakim, tetapi penyair hukum — yang percaya bahwa setiap vonis harus punya sisi kemanusiaan.
“Sunyi itu duka,
Duka itu kudus,
Kudus itu cinta,
Dan cinta itu pengampunan.”
(—parafrase dari “Nyanyi Sunyi”)
Baris puisi itu seakan putusan moralnya: bahwa di balik kesunyian, selalu ada ruang untuk memaafkan.
Ketika Hukum Tak Lagi Melindungi
Namun sejarah Indonesia sering berbalik melawan yang berjiwa lembut. Tahun 1946, Revolusi Sosial Sumatera Timur meletus.
Di tengah amarah buatan seakan rakyat yang sengaja disulut terhadap bangsawan, Amir Hamzah dituduh ikut menjaga struktur lama, padahal ia sudah berpihak pada rakyat dan republik. Ujaran kebencian itu menyesatkan arah perjalanan bangsa yang dibuat meretak.
Amir ditangkap, dibawa ke Binjai dikegahuk kemjdian Kuala Begumit, dan duhmak Amir dipancung kebencian bjayan dan tak beralasan tanpa pengadilan.
Seorang Kepala Mahkamah dibunuh tanpa hukum. Seorang penyair yang menjunjung nilai kemanusiaan dihakimi oleh kebencian massal. Seorang pengusul Sumpah Pemuda dan penganjur bahasa Melayu sebagai bahasa nasional telah gugur muda.
Tragis, getir, tetapi lebih banyak ironis dibalik tabir. Hakim Amir yang menolak menghukum dengan kejam apalagi bengis, akhirnya mati karena kebencian yang menciderai sejarah kebangsaaan dan kemanusiaan.
Dalam catatan sejarah, tak ada berita resmi sidang yang merestorasi hak hukum korban tak berdosa disebalik syak wasangka nan durhaka kepada negara. Itu bukan revolusi sosial tapi kriminal setakaran genosida skala luar biasa. Tetapi oh tetapi apabila boleh menebak, mungkin kalimat terakhirnya bukanlah pembelaan, melainkan doa: “Padamu jua aku mengabdi, biar susah payah badan ini…”
Puisi itu menjadi naskah pengadilan terakhirnya — ditulis bukan di kertas, tapi di tanah yang menelan kucuran darahnya sendiri.
Warisan Sunyi Seorang Pahlawan
Setelah wafatnya Tengku Amir Hamzah, negeri ini baru sadar: Penyair Amir Hamzah yang aktifis penggerak kebangsaan, bukan bangsawan istana, tapi bangsawan nurani.
Amir bukan hakim karena jabatan, tapi karena rasa adil yang melampaui zaman dan waktu.
Dalam tiap bait puisinya tersimpan filsafat hukum yang lebih manusiawi. Ia tidak pernah menyebut “restorative justice”, tapi menulisnya dalam bentuk kasih, maaf, dan cinta.Dia tidak pernah bicara tentang due process of law, tapi hidupnya menjadi bukti bahwa tanpa kemanusiaan, maka oh maka hukum kehilangan jiwa.
Kini, ketika banyak putusan di negeri ini terasa dingin, birokratis, dan kering dari rasa, kita perlu menengok kembali pada Amir Hamzah — hakim penyair yang menulis keadilan restoratif dalam nyanyian sunyi.
Epilog
Sejarah telah mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional tahun 1975. Tapi jauh sebelum itu, rakyat sudah memuliakannya di dalam hati. Dia pahlawan yang tak menembak musuh, tapi menembus lekuk hati. Amir iki hakim yang tak membacakan vonis orang ke jeruji, tapi memberi maaf. Amir penyair yang tak menulis tentang dirinya, tapi tentang keadilan yang ia hidupi. “Aku ini manusia, Mencari adil dalam kasih, Menulis hukum dalam sunyi.”
Di hari Pahlawan ini, kita menghormati mereka yang gugur di medan perang. Tapi jangan lupakan mereka yang gugur di medan nurani.
Amir Hamzah — penyair, kepala mahkamah, dan manusia yang memutus dengan hati — telah menulis putusan paling awal dari restorative justice.
Ia mati dalam kesunyian, tapi gagasannya hidup selamanya: Bahwa hukum tanpa kasih hanyalah kekuasaan, dan keadilan tanpa nurani hanyalah formalitas yang kejam.
Dan di sela-sela doa 10 November, ketika sirene peringatan berdentang, kita mungkin mendengar bisikannya dari jauh: “Padamu jua, wahai keadilan, aku mengabdi.”
Tabik.
**)Muhammad Joni
Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI),
Sekjen PP IKA USU, Ketia bidang PB Ikatan Sarjana Melayu (ISMI).

