Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed.
Mudanews.com OPINI – Ketika Presiden Prabowo Subianto menandatangani Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2025 tentang pemberian amnesti kepada sejumlah terpidana, dua nama yang mencuat ke ruang publik adalah Sugi Nur Raharja alias Gus Nur dan Bambang Tri Mulyono.
Keduanya dikenal sebagai figur vokal yang beberapa tahun terakhir terlibat dalam kasus hukum terkait dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo.
Bagi publik, keputusan Presiden ini terasa simbolik, seolah menjadi tanda bahwa pemerintahan baru ingin menutup bab politik yang menegangkan di era sebelumnya. Namun, tak lama setelah amnesti itu diumumkan, Polda Metro Jaya justru menetapkan Eggi Sudjana, kuasa hukum Bambang Tri dan Gus Nur, sebagai tersangka dalam kasus yang beririsan dengan perkara yang telah dihapus oleh keputusan presiden tersebut.
Muncul pertanyaan di benak banyak orang, Apakah hukum sedang berjalan di dua arah yang berbeda, atau negara belum satu suara dalam membaca pesan moral dari sebuah amnesti presiden Prabowo?
Kasus ini bermula dari tahun 2022, ketika Bambang Tri Mulyono menerbitkan buku berjudul “Jokowi Undercover” yang menuding adanya kejanggalan dalam ijazah Presiden Joko Widodo.
Buku itu, bersama dengan berbagai unggahan dan siaran daring yang dilakukan bersama Gus Nur, dinilai menyebarkan berita bohong dan mencemarkan nama baik presiden.
Pada 2023, keduanya ditangkap dan kemudian divonis enam tahun penjara berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Proses hukum berjalan cepat, diwarnai perdebatan publik soal proporsionalitas hukuman dan hak kebebasan berekspresi.
Namun, memasuki masa pemerintahan baru di 2024, situasi politik berubah.
Presiden Prabowo yang kala itu mengusung narasi “rekonsiliasi nasional” memutuskan memberi amnesti kepada Gus Nur dan Bambang Tri.
Langkah itu disambut beragam, sebagian melihatnya sebagai langkah berani meredam luka politik lama, sebagian lain menilainya sebagai kompromi politik yang beresiko mengaburkan kebenaran hukum.
Dalam konteks kasus ini, nama Eggi Sudjana memiliki posisi yang unik. Sebagai advokat, ia menjadi kuasa hukum resmi bagi Bambang Tri dan Gus Nur, membela keduanya dalam proses hukum yang dianggap penuh kejanggalan.
Namun pada 7 November 2025, Polda Metro Jaya secara resmi menetapkan Eggi Sudjana sebagai tersangka, dengan dugaan turut menyebarkan informasi bohong dan menghasut opini publik melalui media sosial terkait kasus ijazah Jokowi.
Polri menyebutkan bahwa Eggi tidak memenuhi panggilan pemeriksaan (mangkir), sehingga proses hukum tetap berjalan.
Namun versi lain muncul dari pihak Eggi sendiri, dan beberapa saksi dekatnya. Dalam keterangan kepada media, Eggi menyebut bahwa ketidakhadirannya disebabkan oleh kondisi kesehatan, bukan sikap menghindar dari hukum.
Ia bahkan menilai penetapan tersangka terhadap dirinya melanggar prinsip perlindungan hukum, salah satunya terkait profesi advokat, sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang menegaskan bahwa “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien.”
Dalam konteks itu, penetapan Eggi sebagai tersangka justru menimbulkan perdebatan etika hukum baru. Apakah advokat bisa dijerat pidana karena ikut mengadvokasi narasi yang menjadi bagian dari pembelaan hukum kliennya?
Dari sisi hukum positif, amnesti bersifat individual dan spesifik, hanya berlaku untuk nama yang tercantum dalam Keputusan Presiden.
Namun dalam konteks sosial-politik, amnesti mencerminkan kehendak negara untuk menutup bab konflik tertentu.
Artinya, pemberian amnesti kepada Gus Nur dan Bambang Tri seharusnya juga menjadi sinyal moral bagi seluruh lembaga penegak hukum agar tidak memperpanjang sengketa hukum yang bersumber dari peristiwa dan isu yang sama.
Polda Metro Jaya tentu berhak menegakkan hukum, namun dalam situasi seperti ini, ketepatan konteks penegakan menjadi kunci legitimasi moral.
Menetapkan kuasa hukum sebagai tersangka dalam perkara yang telah diputus “selesai” oleh Presiden berpotensi dianggap tidak sejalan dengan semangat amnesti itu sendiri.
Perlu dipahami, amnesti bukan pembenaran terhadap tuduhan, dan bukan pula penghapus fakta sejarah.
Amnesti adalah pernyataan politik negara bahwa kepentingan rekonsiliasi nasional lebih penting daripada melanjutkan perdebatan yang berpotensi memecah bangsa.
Dengan memberi amnesti, Presiden Prabowo menunjukkan sikap kenegarawanan, bahwa bangsa ini sudah cukup lama terjebak dalam polarisasi antara yang pro dan kontra terhadap Jokowi, antara pendukung dan pengkritik, antara yang dianggap benar dan salah.
Namun agar makna amnesti benar-benar hidup, seluruh aparatur hukum harus membaca arah moralnya, jangan sampai amnesti dimaknai sebagai sekedar dokumen politik yang tidak punya efek etik terhadap praktek penegakan hukum di lapangan.
Kasus ini menguji bukan hanya lembaga penegak hukum, tapi juga akal sehat publik dan moral negara hukum.
Apabila advokat seperti Eggi Sudjana bisa dijerat pidana atas dasar pembelaan terhadap kliennya, maka yang terguncang bukan hanya individu, tapi juga sendi profesi hukum itu sendiri.
Sementara itu, jika negara menghapus kesalahan Gus Nur dan Bambang Tri tetapi membiarkan kuasa hukumnya diproses atas isu yang sama, maka muncul pertanyaan logis, apakah negara benar-benar ingin menyelesaikan persoalan, atau hanya ingin memilih siapa yang harus dimaafkan dan siapa yang harus dikorbankan?
Dalam negara hukum yang sehat, hukum seharusnya menyembuhkan luka politik, bukan memperpanjangnya.
Keadilan tidak boleh menjadi alat penundukan, dan maaf negara tidak boleh dibaca sebagai kelemahan, melainkan sebagai kekuatan moral untuk menata ulang kesadaran hukum bangsa.
*Penutup*
Amnesti bagi Gus Nur dan Bambang Tri seharusnya dibaca sebagai momentum besar untuk memperbaiki tata pikir hukum dan politik di Indonesia.
Negara telah memaafkan, kini tugas Polri dan Kejaksaan adalah memastikan bahwa maaf itu diikuti oleh penerapan hukum yang berkeadilan, proporsional, dan tidak diskriminatif.
“Hukum yang adil tidak memenjarakan suara, dan politik yang dewasa tidak takut pada perbedaan.”
Jika lembaga penegak hukum mampu menangkap pesan moral ini, maka bangsa ini bisa keluar dari lingkaran saling curiga yang melelahkan.
Dan jika politik bisa berdamai dengan hukum, maka rakyat pun akan kembali percaya bahwa keadilan bukan milik penguasa melainkan hak semua warga negara.
_Kalibata, Jakarta Selatan, 10 November 2025, 16:54 Wib._
