Presiden Soeharto Penyelamat Bangsa dan Negara Republik Indonesia 

Breaking News
- Advertisement -

Oleh : Leriadi (Wakil Sekretaris Jenderal DPP AMPI / Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UNAS Jakarta)

Mudanews – Opini |

Pendahuluan.

Perdebatan tentang pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Jenderal Besar H. M. Soeharto, telah berlangsung lama dan memunculkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Sebagian kalangan menolak dengan alasan pelanggaran HAM dan gaya kepemimpinan otoriter, sementara sebagian besar rakyat menilai bahwa Soeharto adalah penyelamat bangsa dan negara yang berhasil mengakhiri kekacauan nasional pasca peristiwa G30S/PKI dan menegakkan kembali tatanan konstitusional.

Untuk menilai secara adil, kita harus memahami Soeharto dalam konteks historis dan konstitusional zamannya. Karena penilaian terhadap tokoh sejarah tidak boleh dilepaskan dari situasi dan ancaman nyata yang dihadapi bangsa pada masa itu.

*1. Latar Belakang Historis: Indonesia di Ambang Kehancuran*

Pada awal 1960-an, kondisi bangsa Indonesia berada dalam keadaan krisis multidimensi.

• Sistem politik yang dijalankan melalui Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Soekarno telah menyimpang dari prinsip dasar UUD 1945.

• Kekuasaan terpusat pada Presiden, sementara lembaga-lembaga negara kehilangan fungsinya.

• Pemilu tidak dilaksanakan sejak tahun 1955, rakyat kehilangan hak kedaulatan politiknya.

• Inflasi mencapai lebih dari 600%, ekonomi lumpuh, utang luar negeri menumpuk, dan rakyat hidup dalam kesulitan berat.

• Dalam situasi politik, Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi kekuatan dominan dan berupaya menguasai seluruh sendi kehidupan nasional dengan dukungan ideologis dari luar negeri.

Bangsa Indonesia saat itu berada di tepi jurang kehancuran total, baik secara ekonomi, politik, maupun sosial. Dalam situasi seperti itu, Soeharto muncul sebagai sosok penyelamat yang mampu mengembalikan arah perjuangan bangsa sesuai Pancasila dan UUD 1945.

*2. Peristiwa 1965: Konflik Horizontal dan Krisis Nasional*

Peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965 merupakan puncak dari konflik ideologis dan politik antara kekuatan nasionalis, agama, dan komunis. Pemberontakan tersebut menewaskan para perwira tinggi TNI AD dan mengancam keberlangsungan negara Republik Indonesia.

Setelah peristiwa itu, terjadi gelombang kekerasan di berbagai daerah yang sering digambarkan sebagai “pembantaian massal”. Namun secara faktual, peristiwa itu lebih tepat disebut sebagai konflik horizontal akibat kemarahan rakyat terhadap PKI dan anasir-anasirnya, yang selama bertahun-tahun menekan dan menindas kelompok lain.

Tidak ada bukti kuat bahwa kekerasan tersebut merupakan kebijakan sistematis yang dirancang oleh Soeharto atau TNI. Sebaliknya, kekacauan sosial yang meluas menunjukkan lemahnya kontrol pemerintahan pusat pada masa transisi kekuasaan. Jumlah korban yang beredar pun sangat spekulatif dan sering digunakan sebagai alat politik.

Oleh karena itu, menilai Soeharto sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kekerasan pasca-G30S tidaklah tepat. Ia justru berperan memulihkan ketertiban, menenangkan situasi, dan mencegah kehancuran total negara.

*3. Restorasi Konstitusional dan Stabilitas Nasional*

Langkah Soeharto setelah 1966 merupakan restorasi terhadap prinsip-prinsip UUD 1945 yang telah disimpangkan pada masa Demokrasi Terpimpin.

• Melalui TAP MPRS Nomor IX dan X Tahun 1966, Soeharto mengembalikan fungsi MPR, menata sistem pemerintahan, dan memulihkan mekanisme konstitusional.

• Ia menyelenggarakan Pemilu 1971, mengembalikan hak kedaulatan rakyat yang hilang selama 16 tahun.

• Ia menata kembali birokrasi dan merancang sistem pembangunan nasional melalui GBHN dan REPELITA yang menjadi dasar pembangunan jangka panjang.

Kebijakan ekonomi Soeharto berhasil menurunkan inflasi, meningkatkan produksi pangan, dan membawa Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984. Indonesia yang sebelumnya terpuruk menjadi negara berkembang yang stabil dan disegani di kawasan.

*4. Argumen yang Menolak dan Kontra-Argumen Historis*

Mereka yang menolak pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto biasanya menggunakan tiga argumen utama:

1. Tuduhan pelanggaran HAM terkait peristiwa 1965–1966.

2. Gaya kepemimpinan yang otoriter selama Orde Baru.

3. Kasus korupsi dan kolusi pada masa akhir pemerintahannya.

Namun, ketiga argumen tersebut harus dilihat secara proporsional dan historis:

• Peristiwa 1965 merupakan kekacauan sosial nasional, bukan kejahatan negara yang dirancang pemerintah.

• Kepemimpinan kuat Soeharto lahir karena situasi darurat politik dan keamanan, bukan karena ambisi pribadi semata. Dalam konteks saat itu, kepemimpinan yang tegas justru menyelamatkan bangsa dari disintegrasi.

• Mengenai korupsi, Soeharto tetap menjalankan mekanisme hukum dan pengawasan negara yang saat itu sesuai dengan kondisi institusi pemerintahan yang sedang dibangun.

Dengan demikian, kelemahan Soeharto tidak dapat menghapus jasa-jasa besarnya dalam menyelamatkan negara dan membangun fondasi nasional.

*5. Soeharto sebagai Penyelamat Ideologi dan Kedaulatan Bangsa*

*Peran terbesar Soeharto adalah menyelamatkan Pancasila dan NKRI dari ancaman komunisme.*

*Jika pemberontakan G30S/PKI berhasil, maka Indonesia akan berubah menjadi negara totaliter berideologi ateistik-komunis, yang menolak agama, menghancurkan tatanan sosial, dan menyingkirkan para pemimpin nasionalis serta tokoh agama.*

*Dengan keberaniannya, Soeharto memastikan bahwa Pancasila tetap menjadi dasar negara, dan UUD 1945 tetap menjadi konstitusi Republik Indonesia.*

*Ia memadamkan api ideologi yang ingin menggantikan dasar negara, dan mengembalikan kehidupan bangsa kepada jalur yang benar.*

*Soeharto tidak hanya menyelamatkan pemerintahan, tetapi menyelamatkan eksistensi bangsa Indonesia itu sendiri.*

*6. Kepemimpinan dan Sikap Kenegarawanan*

Soeharto dikenal tegas, disiplin, dan berjiwa prajurit. Ia memimpin bangsa dengan semangat pengabdian dan kesetiaan terhadap negara.

Selama lebih dari tiga dasawarsa, Indonesia hidup dalam suasana stabil, aman, dan produktif, yang memungkinkan pembangunan di segala bidang.

Ketika krisis melanda pada 1998, Soeharto memilih untuk mundur secara konstitusional dan damai demi menghindari pertumpahan darah.

Keputusan tersebut menunjukkan jiwa kenegarawanan dan tanggung jawab moral yang tinggi — bahwa kekuasaan bukan tujuan, melainkan sarana untuk menjaga keutuhan bangsa.

*7. Kesimpulan*

Secara historis dan konstitusional, Presiden Soeharto telah:

• Menyelamatkan Republik Indonesia dari ancaman komunisme dan kehancuran negara.

• Memulihkan kedaulatan rakyat dan menegakkan kembali prinsip UUD 1945.

• Membangun fondasi ekonomi, politik, dan sosial yang kuat bagi masa depan bangsa.

• Menjaga eksistensi Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional.

Oleh karena itu, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Jenderal Besar H. M. Soeharto merupakan bentuk pengakuan negara atas jasa penyelamatan bangsa dan negara dari kehancuran total.

Sejarah yang jujur harus menempatkan Soeharto bukan sebagai diktator, tetapi sebagai penyelamat bangsa dan restorator Republik Indonesia.

Tanpa peran Soeharto pada tahun 1965–1966, tidak akan ada lagi Pancasila, tidak akan ada lagi Republik Indonesia seperti yang kita kenal hari ini.

[Red]

Berita Terkini