Misteri Terbakarnya Rumah Hakim di Medan

Breaking News
- Advertisement -

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

Mudanews.com OPINI | Kisah Riau kita tinggalkan dulu ya. Serbuan dari fans ustaz yang itu pun udah mereda. Now, kita beralih ke Medan Sumatera Utara. Ada kisah misteri yang sampai sekarang belum terpecahkan. Siapkan Koptagul, kita sibak misteri tersebut, lae!

Siang itu, di Medan Selayang, matahari sedang tinggi-tingginya ketika asap hitam tiba-tiba menjulang dari sebuah rumah di Komplek Taman Harapan Indah. Bukan rumah pejabat kaya dengan pagar besi dan kamera CCTV di setiap sudut, melainkan rumah sederhana milik seorang hakim bernama Khamozaro Waruwu. Seorang penegak hukum yang hidup dengan cicilan rumah sejak 2009, bekerja dalam senyap, dan dikenal jujur dalam menjalankan tugasnya. Tapi pada 4 November 2025, rumah itu menjadi saksi bisu dari sesuatu yang jauh lebih panas dari api, tekanan terhadap keadilan itu sendiri.

Kebakaran terjadi saat rumah dalam keadaan kosong. Istri sang hakim baru saja keluar sekitar dua puluh menit sebelumnya. Ketika api muncul di kamar utama, ruang kerja sang hakim, tidak ada yang tahu bagaimana api bisa begitu cepat melahap. Pemadam tiba, warga berlari, dan dalam waktu singkat ruang yang dulu berisi berkas perkara dan catatan pengadilan kini berubah menjadi abu. Ironi yang begitu telak, ruang tempat hukum dijaga justru terbakar dalam ketidakpastian.

Khamozaro bukan sembarang hakim. Ia tengah memimpin sidang besar, kasus korupsi proyek jalan di Sumatera Utara yang menyeret mantan Kepala Dinas PUPR Sumut, Topan Obaja Ginting, nama yang tak asing karena dikenal dekat dengan Bobby Nasution, Gubernur Sumut sekaligus menantu mantan Presiden. Dalam sidang, sang hakim meminta jaksa mempertimbangkan untuk menghadirkan Bobby sebagai saksi. Permintaan yang sah secara hukum, tapi mengguncang ruang sidang. Kata “hadirkan” itu terdengar seperti suara palu yang menggema hingga ke dinding kekuasaan.

Beberapa hari kemudian, rumahnya terbakar.

Polisi berkata mereka masih menyelidiki. Tapi rakyat yang sudah kenyang dengan ironi segera berbisik, “Apakah ini kebetulan? Atau pesan halus agar hakim-hakim lain tahu diri?” Pertanyaan itu menggantung di udara seperti asap yang enggan pergi.

Khamozaro dikenal bukan hakim yang gemar tampil. Dalam catatan pengadilan, ia pernah menjabat Ketua PN Gunungsitoli, menangani banyak perkara tanpa riuh. Tidak mencari sorotan, hanya menjalankan sumpah jabatan yang dulu ia ucap di bawah bendera Merah Putih. Tapi kini, wajahnya terpampang di media bukan karena putusan adil, melainkan karena rumahnya jadi korban api yang “masih diselidiki.”

Ada sesuatu yang memilukan dalam kisah ini. Seorang hakim yang seharusnya dijaga, justru dibiarkan sendirian menghadapi ancaman yang tak kasat mata. Rumah pribadi yang dibangun dari gaji, bukan gratifikasi. Rumah tempat anak-anaknya tumbuh, kini gosong separuh. Ia kehilangan ruang kerja, tapi tidak kehilangan keberanian. Esok harinya, ia tetap memimpin sidang, mengetuk palu di atas meja seolah tak terjadi apa-apa. Tapi di balik tatap matanya, tersimpan duka yang tak mudah dijelaskan, duka seorang penjaga hukum yang sedang diuji oleh ketidakadilan itu sendiri.

Publik kini bersimpati. Media menulis, warganet berdoa, dan rakyat bertanya-tanya, sampai kapan orang jujur harus menanggung risiko karena menjalankan tugasnya? Sampai kapan api harus berbicara lebih keras dari hukum?

Mungkin benar kata seorang hakim tua di masa lalu, “Di negeri yang adil, hakim tidur nyenyak. Tapi di negeri yang genting, bahkan rumahnya pun bisa terbakar.”

Malam ini, di antara puing dan arang, hanya tersisa satu hal yang belum padam, keberanian seorang hakim yang tak mau tunduk pada api maupun kuasa.

Api menjilat malam berduka,
Hakim terpaku di antara bara,
Rumah sederhana habis terbakar luka,
Namun nurani tak ikut terbakar bersama.

Asap menari di langit kelabu,
Toga lusuh basah oleh air mata,
Keadilan tetap tegak walau waktu membisu,
Hati rakyat berpihak padanya.***

Berita Terkini