Oleh : Firman Syah Ali
Mudanews.com OPINI – Saya menulis artikel ini sebagai mantan pemuda sekaligus mantan aktivis Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP). Sebagai pemuda setidaknya saya pernah menjadi pelaku sejarah gerakan reformasi 1998, sehingga ada kepuasan bathin sendiri sebagai aktivis pemuda telah berhasil menggerakkan perubahan bangsa dan negara ke arah yang lebih baik. Walaupun saat ini gerakan reformasi sedang anti klimaks.
Saat ini kita sedang menyaksikan sebuah kenyataan sejarah bahwa peranan pemuda dan mahasiswa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sedang menurun.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada Mei 2023 menyebutkan bahwa angka partisipasi pemuda dalam pembangunan menunjukkan tren penurunan, terutama dalam kaitannya dengan Indonesia Emas 2045. Sebuah survei yang dilakukan oleh Populix menunjukkan bahwa 65% masyarakat Indonesia merasakan penurunan semangat nasionalisme di kalangan generasi muda. Hasil survei nasional oleh GoodStats dan GNFI pada tahun 2025 menunjukkan adanya kesenjangan generasi yang signifikan dalam hal optimisme publik, di mana banyak pemuda merasa kehilangan keyakinan akan masa depan.
Saat ini kita memang sedang merasakan stagnasi idealisme pemuda dan mahasiswa, di mana mereka banyak sekali absen dalam berbagai isu nasional dan daerah yang sebetulnya sangat membutuhkan kehadiran pemuda dan mahasiswa sebagai agen of change serta pengawal garda depan tegaknya kebenaran dan keadilan. Di saat kehadiran pemuda dan mahasiswa diharapkan sebagai kekuatan kritis, penyeimbang kekuasaan, yang terjadi malah hujan apresiasi dari kalangan pemuda dan mahasiswa terhadap alat-alat kekuasaan. Iklim ini sangat tidak baik untuk masa depan bangsa yang sedang menuju Indonesia Emas 2045.
Menurut beberapa ahli, penyebab mundurnya peranan pemuda di Indonesia antara lain karena faktor internal dan external. Faktor internal yang utama adalah karena krisis identitas, yang membuat mereka kesulitan menemukan jati diri, idealisme dan tujuan hidup, sehingga mereka cenderung apatis terhadap lingkungan sosial. Sedangkan faktor eksternal adalah tingginya angka korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) di semua lini, bahkan termasuk lini kepemudaan, yang betul-betul melumpuhkan sendi-sendi idealisme pemuda. Selain itu, perkembangan media sosial yang kurang terkelola dengan baik juga menyumbang penurunan peranan pemuda dalam pengelolaan, penyelenggaraan dan pengawasan pemerintahan negara.
Krisis identitas yang dialami oleh pemuda disebabkan oleh pergeseran nilai-nilai sosial akibat globalisasi, penyalahgunaan media sosial dan rendahnya kualitas pendidikan.
Ada beberapa tawaran solusi agar kita dapat menyaksikan kembali keperkasaan peranan pemuda sebagaimana tahun 1945, di mana telah berdiri republik muda bikinan anak-anak muda.
Pertama, revitalisasi pendidikan karakter sebagaimana telah diterapkan kepada generasi pendahulu kita, sehingga kemurnian idealisme pemuda tetap terpelihara dengan baik. Penanaman nilai-nilai pancasila, nasionisme dan religius perlu diarusutamakan kembali di semua jenjang pendidikan. Terkait dengan itu semua, pendidikan kewarganegaraan sebaiknya disesuaikan dengan kondisi, situasi dan tantangan terkini sehingga bersentuhan langsung dengan panggilan idealisme pemuda.
Kedua, revitalisasi organisasi kepemudaan agar bebas dari segala bentuk kooptasi kekuasaan walaupun yang berkuasa adalah senior-seniornya sendiri. Seluruh stakeholder dalam sistem kolaborasi pentahelix hendaknya punya itikad yang sama untuk memberdayakan kekuatan pemuda, terutama dalam fasilitasi kegiatan-kegiatan yang mencerahkan dan membangkitkan jiwa idealisme serta nasionalisme. Dalam konteks ini pemuda juga harus dilibatkan aktif dalam seluruh proses pembangunan.
Ketiga, pemerintah harus aktif menciptakan kebijakan-kebijakan pro pemuda, misalnya dengan mempermudah akses dana untuk program-program idealis dan inovatif yang dilaksanakan oleh organisasi-organisasi atau jejaring pemuda. Selain itu harus disediakan platform digital atau forum luring untuk wahana aspirasi dan partisipasi pemuda dalam proses kebijakan publik.
Keempat, pemuda harus punya kesadaran kolektif untuk bangkit serentak dari kuburan idealisme dan kemarau intelektual yang selama ini mengungkungnya. Kembangkan diskusi-diskusi kritis baik di lingkungan sosial maupun lingkungan digital, serta manfaatkan kemajuan teknologi digital untuk menggerakkan advokasi terhadap isu-usu kebijakan publik yang tidak pro rakyat.
Dari keempat alternatif solusi tersebut, saya kira akternatif nomor tiga perlu diprioritaskan, yaitu peran aktif pemerintah dalam menciptakan kebijakan-kebijakan pro pemuda, sehingga berpengaruh besar terhadap ketiga alternatif solusi lainnya.
*) Penulis adalah eksponen gerakan reformasi 98, kader GP Ansor dan pengurus pusat Asosiasi Dosen Pergerakan (ADP)

