_Oleh: Prof. Eggi Sudjana – Advokat & Ketum GPPSDA-LH._
Mudanews.com OPINI – Hari ini kita hidup di era media sosial, di mana setiap orang bisa bicara langsung ke publik. Celakanya, sebagian kepala pemerintahan ikut terbawa arus tampil bicara langsung lewat akun pribadi, gaya “tanpa filter”, kadang seolah seorang influencer. Bahkan tak jarang yang lebih mirip konten kreator daripada pejabat negara.
Padahal, komunikasi pejabat negara bukan wilayah bebas. Ia adalah wilayah hukum, protokol, dan martabat negara.
Agar jelas, pemimpin boleh bicara langsung kepada rakyat. Sangat boleh. Tetapi tidak boleh semaunya sendiri. Ada mekanisme resmi yang harus dihormati.
*Landasan Al-Qur’an*
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan ucapkanlah perkataan yang benar.” (QS. Al-Ahzab: 70)
Allah SWT langsung mengaitkan dua hal, ketaatan kepada Allah dan kehati-hatian dalam berbicara.
Ucapan bukan sekadar komunikasi, tetapi pertanggungjawaban moral dan spiritual.
“Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak benar-benar mengetahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS. Al-Isra: 36)
Ini adalah peringatan keras, jangan bicara tanpa data, tanpa verifikasi, apalagi spontan emosional.
Inilah prinsip yang sejalan dengan UU Administrasi Negara & Protokol Pemerintahan hari ini.
Analogi Sederhananya,
Bayangkan seorang dokter ahli bedah. Ia boleh jelaskan kondisi pasien. Tetapi tidak boleh sembarang live di Instagram, dll saat operasi, karena yang ia bawa bukan dirinya pribadi, melainkan nyawa pasien.
Begitu juga kepala pemerintahan, yang ia bawa bukan dirinya pribadi, melainkan nama negara, stabilitas publik, bahkan kepercayaan rakyat.
Perlu hati-hati, karena setiap ucapan pejabat negara otomatis dianggap sebagai sikap resmi negara, bukan lagi opini pribadi. Efeknya bisa ke politik, hubungan luar negeri, hukum, ekonomi, bahkan psikologi masyarakat.
Karena itulah aturan hukumnya jelas, UU Administrasi Pemerintahan, nformasi harus tertib, terukur, bertanggung jawab.
UU Keterbukaan Informasi Publik, keterbukaan iya, tapi tetap melalui jalur resmi. UU Pemerintahan Daerah, menjaga marwah, bukan tebar sensasi.
Protokoler & Humas Pemerintah, bukan pembatas, melainkan penjaga kredibilitas negara.
*Kita Punya Contoh Baik dan Contoh Buruk*
Hingga hari ini, Presiden Prabowo, sepengetahuan saya tidak pernah menggunakan HP pribadi untuk menyampaikan informasi negara. Begitu juga
Mendagri Tito Karnavian pun selalu berbicara secara resmi, elegan, dan terstruktur. Ini contoh baik. Inilah standar kenegaraan.
Sebaliknya, kita juga menyaksikan perilaku “Gubernur Konten”, gaya pemerintahan ala vlog pribadi, gaya kampanye terus-menerus, atau bicara tanpa protokol. Ini berbahaya, karena mengubah komunikasi negara menjadi arena personal branding.
Negara modern hanya bisa berdiri jika mampu menyeimbangkan dua hal, yakni Transparansi, rakyat berhak tahu dan Tata kelola formal, agar negara tetap berwibawa dan kredibel.
Masalahnya bukan pada bicara langsung, tapi masalahnya adalah ketika pejabat negara bicara seolah dirinya bukan negara.
Penutup
Ucapan kepala pemerintahan adalah instruksi negara. Karena itu tidak boleh liar, tidak boleh emosional, tidak boleh tanpa protokol.
Demi menjaga kepercayaan rakyat dan martabat negara, saya mengajak seluruh pejabat kembali pada aturan resmi komunikasi negara. Ini bukan soal gaya, ini soal wibawa dan tanggung jawab negara.
_Bogor, Jawa Barat, Rabu 22 Oktober 2025, 13:54 Wib._