Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
Mudanews.com OPINI – Tumpukkan uang yang dipamerkan Kejagung disaksikan Prabowo, kemarin, muncul banyak pertanyaan. “Gimana cara ngumpulkan uang segunung itu. Apakah disita dalam bentuk kertas sebanyak itu? Ditarik dari kasir bank? Dicairkan lewat ATM? Atau, minta cetak BI?” Namanya netizen, selalu penasaran. Mari kita ungkap sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Uang segunung itu bukan hasil “razia karung”. Tidak ada jaksa yang datang ke rumah tersangka sambil bawa timbangan, teriak, “Ayo, kumpulin duitnya, wak, mau kita tumpuk di lobi buat konten YouTube Sekretariat Presiden!” Yang ditampilkan itu hanya sebagian kecil, sekitar Rp 2,4 miliar saja, buat pameran visual. Sisanya, Rp 13 triliun lebih, tetap dalam bentuk digital, ya, angka doang di rekening negara. Karena kalau beneran dicetak, Bank Indonesia bisa migrain massal, truk pengangkutnya bakal kayak konvoi film Fast & Furious: Rupiah Drift, dan ATM seluruh negeri bisa mendadak pensiun dini.
Ente bayangkan wak! Kalau semua Rp 13 triliun itu ditarik tunai. Satu lembar Rp100 ribu tebalnya sekitar 0,1 mm. Artinya, kalau ditumpuk semua, tingginya bisa nyentuh hampir 13 kilometer! Itu udah lebih tinggi dari Gunung Kerinci, bayangkan Prabowo berdiri di bawahnya, pakai helm proyek, sambil bilang, “Ini, saudara-saudara, bukti nyata bahwa korupsi kita produktif secara vertikal.”
Tapi yang terjadi tidak seaneh itu. Prosesnya elegan dan birokratis. Uang dikembalikan lewat sistem perbankan, transfer antar rekening, disahkan notaris, dan sebagian kecil diambil tunai buat “dipamerkan.” Bahasa halusnya, simbolik. Bahasa kasarnya, biar kelihatan nyata, biar publik ngerasa puas, biar headline media lebih menggigit. Karena kalau cuma dikatakan, “Rp 13 triliun telah dikembalikan,” pembaca cuma ngangguk. Tapi kalau ada foto Prabowo berdiri di depan tumpukan uang setinggi dadanya? Nah, itu bikin jantung netizen dan algoritma media sosial berdebar seirama.
So, jangan heran kalau pemandangan itu lebih mirip set syuting film dokumenter tentang dosa nasional. Uang Rp100 ribu disusun rapi, plastiknya masih cling-cling, warnanya merah muda cerah, seperti simbol malu yang ditata. Prabowo mendekat, menepuk-nepuknya pelan. Ada getaran halus di udara, seolah uang-uang itu baru saja menjalani ritual tobat kolektif dari tangan para koruptor menuju kas negara.
Beberapa netizen bahkan berspekulasi, “Apa itu uang beneran?” Ya, beneran. Tapi cuma secuil dari totalnya, Wak. Karena kalau Kejagung beneran bawa Rp 13 triliun fisik ke sana, gedungnya bakal berubah jadi Bank Indonesia cabang Bulungan. AC-nya jebol, lantai amblas, dan seluruh Jakarta Selatan bisa terguncang karena tekanan inflasi mendadak.
Sebenarnya, ini pertunjukan yang cerdas. Kombinasi antara teater moral, edukasi publik, dan sedikit sensasi sinematik. Negara ingin bilang, “Nih, duit korupsi balik!” tapi juga ingin bikin rakyat ternganga. Berhasil, karena sekarang, seluruh negeri membicarakan tumpukan uang itu dengan campuran bangga, geli, dan heran, sementara para koruptor mungkin sedang menatap layar televisi dengan perasaan seperti, “Duit gue jadi properti sinetron negara.”
Singkatnya, gunungan uang itu bukan bukti logistik gila, tapi simbol dari absurditas modern, ketika dosa disucikan dengan plastik bening dan pencahayaan studio. Prabowo, dengan ekspresi campuran antara jenderal, ekonom, dan filsuf, berdiri di depannya seperti sedang menyaksikan kebangkitan peradaban… dalam bentuk tumpukan Rp100 ribuan.
Prabowo berdiri wajah bersinar,
Plastik uang cling jadi saksi,
Bangsa terpana, hati bergetar,
Melihat dosa disusun rapi.
Tumpuk uang bagai gunung menjulang,
Wajah serius jenderal terpahat,
Netizen riuh rasa terbilang,
Duit korupsi pun ikut tobat.***