Oleh: Muhammad Joni
Mudanews.com OPINI – Ketika Presiden Prabowo mengembangkan “layar” kebijakan besar bernama reformasi kepolisian, sejarah seperti berhenti sejenak—menatap arah baru. Sontak, publik mengelembungkan harap bahwa reformasi kepolisian bukan sekadar kebijakan administratif, ganti Kapolri, melainkan Great Policy, bahkan Great Legal Policy.
Dalam bahasa hukum publik, keputusan itu adalah law in motion—politik hukum yang menyalakan harapan rakyat akan keadilan yang selama ini tersumbat, terhalang impunitas, dan tersesat dalam gelapnya angka-angka kejahatan yang tak pernah terungkap alias dark number.
Ibarat seloka Melayu yang bergaung dari pesisir ke istana: “Sekali Layar Terkembang, Surut Presiden Prabowo Berpantang”.
Kapal besar bernama Republik ini telah berlayar jauh. Arahnya perlu dipastikan. Perkakas yang lapuk kudu dibenahi. Dan layar yang menentukan arah tujuan itu—bernama reformasi kepolisian—tidak boleh diturunkan sebelum hukum tegak lurus dan keadilan menyentuh rakyat di gang-gang sempit, di kampung nelayan, di lorong gelap tempat korban menunggu kabar dari polisi yang tak datang-datang.
Dari Policy ke Gerakan Publik
Reformasi kepolisian bukan semata tugas Presiden dan insan Polri. Namun menjadi pangkalan gerakan moral publik. Yang memerlukan konsolidasi masyarakat sipil, lembaga hukum, kampus, dan media yang jujur menatap luka bangsa: bahwa keadilan hukum telah lama terbelenggu oleh budaya kekuasaan, bukan budaya hukum.
Presiden Prabowo telah memberi payung kebijakan hukum reformasi kepolisian; masyarakat harus memberi angin layar—dorongan agar reformasi ini tidak menjadi ritual administratif.
Sebab dalam hukum, sebagaimana dikatakan sosiolog hukum Donald Black, “law varies inversely with other forms of social control.” Ketika masyarakat diam, hukum kehilangan daya moralnya; tapi ketika publik bersuara, hukum menemukan keberaniannya.
Posisi Polri
Masalah kepolisian bukan hanya soal figur baru Kapolri. Namun menyangkut relasi pun problematika ketatanegaraan: posisi Polri dalam sistem eksekutif di bawah Presiden sebagai top executive; relasi Polri dalam sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system); hingga posisi Polri dalam perkara pidana luar biasa—korupsi, pencucian uang, narkotika, human trafficking, terorisme, maupun kejahatan jasa keuangan/ perbankan.
Reformasi kepolisian ini harus memastikan keseimbangan: Polisi sebagai penegak hukum yang profesional dan independen dari intervensi kekuasaan. Juga, polisi sebagai pelindung warga yang berempati dan mampu social empowering. Maka, Polisi sebagai pengayom yang kembali dipeluk oleh rakyat, bukan ditakuti.
Dalam bahasa Lawrence Friedman, hukum bekerja lewat tiga dimensi: legal substance, legal structure, dan legal culture.
Namun kini, dalam reformasi kepolisian bangsa ini menambah msatu lagi dimensi baru: legal recovering—pemulihan atas keadilan yang terluka, kepastian hukum yang tersumbat, reclaiming justice atas impunitas yang membatu, kebijakan pimpinan yang mengalahkan KUHAP, dan penebusan atas rasa percaya publik yang telah perlahan bakal menghilang.
Quick Win: Memenangkan Hati Rakyat
Quick win Presiden bukan hanya mengganti Kapolri sebagai sirkulasi kepemimpinan Polri, melainkan asa berlayar mengembalikan kepercayaan rakyat kepada kepolisian.
Reformasi kepolisian harus menjawab problem klasik yang membusuk dalam diam:
gejala penyelidikan yang berbelit, penanganan perkara yang pilih kasih, dark number—kejahatan yang tak pernah tercatat, dan impunity—pelaku berseragam yang tak tersentuh hukum.
Presiden Prabowo harus memastikan, tidak ada lagi dinding tebal antara rakyat dan polisi; tidak ada lagi ruang gelap yang menelan korban tanpa nama. Itulah quick win sejati: hati rakyat kembali percaya.
Menuju Legal Policy Baru
Reformasi kepolisian mesti dilembagakan ke dalam kerangka hukum baru—undang-undang yang memastikan substansi, struktur, dan budaya hukum Polri sesuai rasa keadilan masyarakat.
Lantas reformasi kepolisian untuk siapa?Langkah legislatif ini bukan sekadar revisi atau mengganti Undang-undang akan tetapi reclaiming hukum: menegaskan batas wewenang, memperkuat akuntabilitas, dan menanamkan nilai HAM dalam setiap tindakan kepolisian.
Legal Policy baru dalam reformasi kepolisian harus mampu:
Pertama: Menata ulang posisi Polri dalam struktur dan relasi ketatanegaraan.
Kedua: Menegaskan peran Polri dalam sistem peradilan pidana terpadu. Termasuk tumpang tindih wewenang dalam penanbanan tindak pidana korupsi, kejahatan luar biasa dan serius seperti terorism. Ketiga: Menjamin independensi dan akuntabilitas etik.
Keempat: Membuka ruang partisipasi publik dalam pengawasan.
Kelima: Menyusun mekanisme pemulihan korban dan perlindungan saksi.
Reklaiming Keadilan
Reformasi kepolisian sejatinya adalah proses penyembuhan hukum, dan korban-korbannya Selama bertahun-tahun, rakyat mendapati hukum yang pincang: yang kuat menindas, yang lemah terpinggirkan. Memuluhkan apa yang diyakini Donald Black bahwa hukum memihak ke atas-the have. Penegakan hukum bagi Black adalah Perilaku Hukum itu sendiri yang tajam ke bawah dan santun ke the have. Kini, Presiden telah membuka layar kebijakan reformasi kepolisian yang saya usulkan tidak hanya mereform substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukim namun ruang bagi pemulihan-reclaming keadilan yang luka, kepastian hukum yang macat, membuka akses keadilan perkara lama yang bernanah.
Dalam istilah baru: legal recovering of justice—mereclaim keadilan yang sempat direbut oleh ketakutan dan koruptif. Itulah inti dari Great Legal Policy ini: bukan sekadar memperbaiki sistem, tetapi memulihkan nurani hukum bangsa yang masih terluka.
Seruan
Bangsa ini telah membuka layar besar menuju keadilan. Tinggal bagaimana Presiden, rakyat, dan institusi kepolisian menjaga angin agar layar itu tetap tegang, tidak kempis oleh kepentingan sesaat.
Sebab ketika hukum kehilangan arah, rakyatlah kompasnya. Dan ketika rakyat memandang Presiden dengan harapan, reformasi ini bukan lagi sekadar kebijakan, melainkan janji sejarah. Sekali layar terkembang, surut Presiden berpantang. Dan keadilan harus berlabuh—di pelabuhan nurani keadilan berhukum dan hukum berkeadilan bangsa ini. Bangsa yang paham derita penindasan, perampasan keadilan tatkala dieksploitasi penjajahan.
Tabik.
Muhammad Joni, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Sekjen PP IKA USU