Mengenal Richard Sorge, Spionase Legendaris yang Menyamar Jadi Wartawan Mabuk

Breaking News
- Advertisement -

 

Oleh ; Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

Mudanews.com OPINI – Baik kita lanjutkan dunia mata-mata. Sebelumnya sudah saya ungkap Kedutaan Amerika di Teheran dijadikan markas mata-mata, lalu cara kerja intelijen Indonesia, sekarang tokoh spionase legendaris. Kali ini jatuh pada sang legend mata-mata dunia, Richard Sorge. Siapkan lagi kopinya, kita hangatkan malam minggu dengan narasi mata-mata.

Kalau dunia ini film mata-mata, maka Richard Sorge bukan James Bond. Ia bukan pria berjas rapi dengan mobil Aston Martin dan jam tangan laser. Ia lebih mirip gabungan antara Karl Marx, Don Juan, dan jurnalis mabuk di pojok bar Tokyo. Entah bagaimana ia berhasil menggagalkan invasi dunia. Orang ini menulis berita politik sambil jadi mata-mata Soviet, menggoda istri duta besar Jerman, dan menyelamatkan Moskow hanya dengan mesin tik, vodka, dan keberanian tingkat dewa.

Lahir di Baku tahun 1895, Sorge adalah hasil kawin silang yang unik. Ayah Jerman, ibu Rusia, dan gen campuran antara disiplin tentara dengan gila ideologi. Ia doktor ilmu politik dari Universitas Hamburg. Jangan bayangkan dia akademisi serius yang rajin mengutip Weber. Sorge lebih suka teori revolusi yang diaduk dalam gelas bir. Setelah ikut Perang Dunia I dan patah kaki (dan hati), ia memutuskan satu hal, “Kalau dunia mau hancur, biarlah aku yang menulis laporannya.”

Ketika dikirim ke Tokyo sebagai wartawan, Sorge bukan cuma menyamar, ia hidup sebagai legenda. Ia menulis artikel untuk surat kabar Nazi, nongkrong dengan diplomat Jepang, dan punya hobi unik, tidur dengan istri duta besar Jerman. Semua demi akses intelijen. Bahkan kabarnya, pejabat Jepang percaya Sorge lebih “Jerman” dari orang Jerman sendiri. Padahal di malam hari, ia menulis laporan rahasia untuk Stalin sambil menatap langit Tokyo dan berkata dalam hati, “Semoga bos di Moskow nggak bebal kali ini.”

Tapi tentu saja, Stalin adalah Stalin, manusia yang kalau disuguhi kebenaran malah curiga itu racun. Ketika Sorge mengirim pesan bahwa Hitler akan menyerang Uni Soviet pada Juni 1941, Stalin cuma mengangkat alis dan bilang, “Ah, Sorge lagi halu.” Sampai akhirnya Nazi benar-benar datang menyerbu, barulah Stalin sadar bahwa satu-satunya orang waras di planet ini adalah wartawan yang mabuk di Tokyo.

Sorge tidak berhenti di situ. Ia juga melaporkan, Jepang tidak akan menyerang Uni Soviet dari Timur. Laporan ini jadi kunci. Stalin memindahkan pasukan Siberia ke Moskow, dan tentara itulah yang menghentikan invasi Jerman di depan ibu kota. Artinya, tanpa Richard Sorge, mungkin sekarang kita semua sedang menulis ini dalam bahasa Jerman. Tapi apakah Stalin berterima kasih? Tidak. Ia bahkan tidak percaya Sorge sudah disiksa dan digantung oleh Jepang pada 7 November 1944, tepat di hari ulang tahun Revolusi Bolshevik. Sungguh hari ulang tahun yang absurd, revolusi dirayakan, pahlawan digantung.

Sorge mati dengan gaya yang bahkan Kafka akan kesulitan menulis ulang. Jepang menggantungnya, Nazi membencinya, dan Soviet melupakannya. Dunia menganggapnya pengkhianat, sampai dua puluh tahun kemudian, Uni Soviet akhirnya sadar, “Oh, ternyata orang ini yang bikin kita nggak kalah perang, ya?” Lalu pada 1964, Khrushchev memberinya gelar Pahlawan Uni Soviet, hadiah paling basi dalam sejarah penghargaan.

Kini, nama Richard Sorge hidup seperti mitos di antara agen-agen intelijen. Ia bukan sekadar mata-mata, ia adalah pelawak tragis dalam drama politik dunia. Seorang wartawan yang menulis kebenaran, tapi hanya dipercaya setelah mati.

Mungkin jika ia hidup hari ini, Sorge akan jadi kolumnis nyinyir di X menulis, “Kadang, yang paling setia bukan yang di depan meja rapat, tapi yang nongkrong di bar sambil pura-pura mabuk.” Dunia mata-mata mungkin berubah, tapi logika politik tetap sama, pahlawan sejati sering mati tanpa diundang ke konferensi pers.

Richard Sorge, wartawan paling mabuk, paling romantis, dan paling berbahaya yang pernah menulis sejarah dengan darah dan tawa sarkasme.***

Berita Terkini