_Oleh: Agusto Sulistio — Pegiat Sosmed, mantan Kepala Aksi & Advokasi PIJAR era 1990-an._
Mudanews.com OPINI – Dalam suasana kebebasan demokrasi hari ini, rakyat tidak butuh pemimpin yang banyak bicara, tetapi yang paham rasa lapar, rasa takut kehilangan pekerjaan, dan rasa terancam di tanah sendiri. Karena itulah pertanyaan besarnya bukan sekadar siapa yang pro atau kontra terhadap regulasi tetapi siapa yang benar-benar berpihak. Siapa yang masih menjejak tanah, bukan hanya duduk di belakang meja.
Prof. Eggi Sudjana berbicara dari bawah, dari suara para petani, buruh angkut, sopir truk, dan UMKM yang hidup dari denyut ekonomi harian. Sementara Dedi Mulyadi berbicara dari atas dari sudut pandang administrasi dan teknokrasi pemerintah.
Keduanya bukan posisi yang salah, tetapi posisi keberpihakan yang berbeda dan inilah inti soal yang tidak boleh disamakan.
Analoginya sederhana, seorang dokter boleh menggunakan teori kedokteran modern, tetapi bila resepnya justru membuat pasien makin sakit, apakah tetap bisa disebut profesional?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “keblinger” berarti salah arah, kehilangan akal sehat, atau bertindak tanpa pertimbangan yang benar. Maka pertanyaannya, siapa yang sesungguhnya lebih layak disebut keblinger?
Itulah kritik Prof. Eggi. Bahwa Pergub 11/2025 soal alih fungsi lahan, meski tampak mulia di atas kertas, secara faktual membuat petani, UMKM, dan masyarakat desa justru kebingungan, terhambat, bahkan terjerat birokrasi.
Dalam kerangka hukum tata negara, Eggi menilai pergub tersebut melampaui mandatnya karena mengatur sampai titik yang menyulitkan akses rakyat. Ia tidak hanya mengingatkan, tetapi juga memberi solusi, agar pemerintah tidak mengedepankan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang justru melahirkan ketergantungan, melainkan membuka lapangan kerja melalui program padat karya sebagai jalan keluar yang lebih berkelanjutan.
Dan yang menarik, hingga kritik itu disampaikan, memang belum ada kesiapan maupun realisasi BLT maupun lapangan kerja baru bagi warga terdampak pergub 11 dari Pemprov Jawa Barat. Hal ini bahkan ditegaskan sendiri oleh Dedi Mulyadi dalam video pendek yang sempat viral, bahwa pihaknya masih menghitung total biaya yang harus disiapkan dan baru belakangan mulai menyiapkan program lapangan kerja bagi warga terdampak.
Artinya, kritik dan solusi yang disampaikan Eggi langsung atau tidak, terbukti ikut didengar dan menjadi bahan perbaikan.
Sementara Dedi, dalam banyak kesempatan, tampil sebagai “one man show’. Seolah visi tunggal cukup untuk menentukan nasib jutaan orang.
Padahal demokrasi ekonomi sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945 mensyaratkan musyawarah sebagai instrumen utama, sebagaimana pidato visi kedepan Presiden Prabowo, bahwa sumber alam harus dikelola dengan adil bagi kelestarian alam dan kemakmuran rakyat.
Pergub 11 buatan Dedi justru bertolak belakang dengan visi Presiden Prabowo, dan ini membahayakan stabilitas nasional, sebab dampak pergub Dedi Mulyadi memunculkan pengangguran massal.
Jika kebijakan menjadi susah, bagaimana mungkin pemerintah bisa memberi? Jika pintu akses ditutup, jangan salahkan rakyat bila mencari jalan lain. Negara hadir bukan mempersempit udara hidup, tetapi memperluas.
Maka dalam pertarungan gagasan ini, kritik Eggi lebih berdiri di sisi konstitusi, dan di sisi rakyat. Ia bukan sekedar menolak, tetapi menegaskan, bahwa hukum harus berpihak, bukan hanya rapi di atas kertas.
Itu bukan radikal, tapi itu justru kewajiban akademik dan moral seorang intelektual publik.
Pada akhirnya, publik tidak butuh pemimpin yang sekedar pintar mengatur. Mereka butuh pemimpin yang mampu mendengar sebelum memutuskan. Sebab hukum yang lahir tanpa empati hanya menjadi pagar besi, bukan pagar pelindung.
Maka sikap Prof. Eggi lebih mencerminkan akal sehat demokrasi.
Sebagaimana kata KH. Hasyim Asy’ari: “Keadilan adalah fondasi negeri; jika keadilan roboh, maka negeri akan ikut ambruk.”
Dan Al-Qur’an telah mengingatkan dengan terang, “Sesungguhnya Allah memerintahkan (kamu) untuk berlaku adil dan berbuat ihsan (kebaikan).” (QS. An-Nahl: 90).
Kalimat diatas menegaskan bahwa kebijakan negara tidak cukup hanya adil secara konsep, tetapi harus terasa adil di kehidupan rakyat yang menerimanya.
Nelson Mandela pun pernah mengingatkan dunia “A nation should not be judged by how it treats its highest citizens, but its lowest ones.” Sebuah pengingat tajam bahwa ukuran keagungan sebuah negara bukan pada kuatnya aturan, tetapi pada mulianya cara negara memperlakukan yang paling rentan.
Dan pada akhirnya, sejarah tidak pernah memihak pada siapa yang lebih keras bicara, tetapi pada siapa yang lebih tulus dan adil dalam menjaga martabat manusia. Jika negara hadir dengan empati sebelum otoritas, dengan tangan yang mengangkat sebelum melarang, maka rakyat bukan hanya akan patuh, tetapi akan ikut menjaga negeri ini dengan cinta tanpa rasa ketakutan.
_Kalibata, Sabtu 18 Oktober 2025, 12:54 Wib._