Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
Mudanews.com OPINI – Malam minggu ini, ingin menambah wawasan soal dunia intelijen untuk followers saya. Tak lah disuguhi kopi tanpa gula terus. Tadi saya sudah jelaskan betapa mengerikannya spionase Amerika di Teheran Iran. Kantor kedutaan dijadikan markas mata-mata. Lantas, bagaimana dunia mata-mata negeri kita sendiri. Mari hangatkan malming dengan narasi ini dan segelas kopi.
Berhasil tidak dipuji, gagal tidak diakui. Kalimat itu bukan sekadar semboyan. Ia adalah sumpah darah bagi setiap insan intelijen Indonesia. Mereka bekerja di ruang hampa pengakuan, dalam keheningan. Bahkan, semesta pun mungkin berpura-pura tak tahu. Inilah dunia intelijen Indonesia. Dunia yang lebih absurd dari naskah film Hollywood, lebih sunyi dari lorong ruang bawah tanah, dan lebih tajam dari pisau yang tidak pernah terlihat.
Bayangkan sekelompok manusia yang hidup dalam bayangan. Tetapi, memegang rahasia masa depan negara. Itulah Badan Intelijen Negara, lembaga yang tidak pernah ikut kampanye, tapi tahu siapa pemenang pemilu bahkan sebelum surat suara dicetak. Mereka melapor langsung kepada Presiden, bukan melalui rapat kabinet, melainkan lewat pesan terenkripsi, secangkir kopi dingin, dan bahasa kode yang tidak bisa diterjemahkan Google Translate. BIN bukan sekadar lembaga pengintip, ia adalah organ vital negara yang memastikan republik ini tetap berdetak meski di luar sana sedang ada badai politik, ekonomi, atau siber yang tak tampak oleh mata awam.
Di balik layar, BIN menjalankan fungsi-fungsi yang terdengar membosankan di atas kertas, pengkajian kebijakan, penyusunan rekomendasi, analisis situasi nasional, tetapi justru di situlah letak dramanya. Satu laporan bisa menentukan apakah harga pangan naik atau turun, apakah kapal perang berlabuh atau berbalik haluan, apakah seorang pejabat tinggi harus segera “pensiun dini”. Itulah seni dari pekerjaan intelijen, mengubah informasi menjadi keputusan sebelum informasi itu sempat menjadi berita.
Intelijen Indonesia bukan hanya urusan senjata atau peluru. Ini adalah dunia algoritma, sinyal, dan analisis. Di era digital, mereka tak lagi mengintai dari balik kacamata hitam, tapi dari balik layar monitor dengan ratusan tab data yang terus bergulir. Ancaman sekarang bukan tentara, tapi malware. Bukan mata-mata asing yang menyelinap, melainkan server anonim yang menembus sistem keuangan nasional. Karena itulah BIN kini memiliki unit khusus intelijen siber dan teknologi, tempat para ahli data, peretas etis, dan analis komunikasi bekerja siang malam menjaga ruang digital negeri ini dari sabotase tak terlihat.
Namun jangan salah, dunia intelijen tetap memerlukan daging dan darah. Di lapangan, masih ada mereka yang menyamar sebagai pedagang, mahasiswa, diplomat, bahkan tukang bakso. Mereka bukan karakter fiksi James Bond, tapi wajah-wajah biasa yang melaporkan sesuatu yang luar biasa. Di antara mereka mungkin ada agen yang pernah duduk di sebelah nuan di bus kota, pura-pura sibuk dengan ponsel padahal sedang merekam percakapan yang bisa mencegah kerusuhan nasional.
Dari mana datangnya para bayangan itu? Dari Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN), kampus yang didirikan atas prakarsa Jenderal A.M. Hendropriyono pada 2003 dan diresmikan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Di kampus ini tidak ada OSPEK dengan tepuk tangan konyol, hanya disiplin, analisis, dan simulasi operasi intelijen. Para tarunanya belajar intelijen ekonomi, cyber, biomedis, dan strategi global. Mereka bukan tentara, bukan polisi, tapi Pegawai Negeri Sipil dengan otak seperti mesin pencari yang tak pernah tidur. Kuota penerimaan tahun 2024 mencapai 400 taruna, sebagian akan ditempatkan dalam satuan cyber nasional, sebagian lagi menjadi analis ancaman bioteknologi, karena perang masa depan tak lagi berwujud tembakan, melainkan infeksi dan manipulasi informasi.
Begitulah cara kerja intelijen Indonesia. Lembut, senyap, presisi, dan kadang brutal dalam kecerdasannya. Mereka adalah arsitek ketenangan di tengah kekacauan, pelukis bayangan di kanvas republik. Tak ada lagu kebangsaan yang dikumandangkan untuk mereka, tak ada pahlawan nasional yang lahir dari dunia gelap ini. Tapi ketika negara aman, ketika harga stabil, ketika perang gagal meletus, itulah saat mereka sebenarnya sedang bekerja paling keras.
Jika suatu malam ente menatap langit dan bertanya mengapa Indonesia masih berdiri di tengah semua kekacauan global, jawabannya sederhana, karena di balik semua cahaya itu, ada bayangan yang setia menjaga. Mereka tidak terlihat. Tapi tanpa mereka, kita semua sudah lama lenyap.**