Oleh: Aznil Tan
Mudanews.com OPINI – Kejutan datang dari Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Ia menolak tanggung jawab beban utang proyek kereta cepat Jakarta–Bandung, yang dikenal dengan nama Whoosh, untuk dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sikap Purbaya yang “ogah” menggunakan APBN untuk membayar utang proyek ini adalah refleksi kejujuran yang langka di tengah euforia pembangunan infrastruktur. Ia seolah mengirimkan sinyal bahwa bahkan di dalam tubuh pemerintah sendiri, ada kegelisahan terhadap beban finansial dan ketidakjelasan tanggung jawab proyek ini.
Sebuah pernyataan yang, menurut saya, disambut dengan rasa lega oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Akhirnya, ada pejabat tinggi yang berani menegaskan bahwa proyek ambisius ini tidak boleh menjadi beban rakyat.
Sejak awal, proyek ini memang tidak pernah sepi dari kecurigaan publik. Mega proyek yang diklaim sebagai simbol kemajuan nasional justru sarat dengan pembengkakan biaya, perubahan skema pembiayaan, dan kabut tebal dalam urusan tanggung jawab keuangannya.
Bagaimana mungkin sebuah proyek bisnis justru meminta negara ikut menanggung risikonya? Bisnis adalah bisnis — ia lahir dari kalkulasi untung rugi, bukan belas kasihan fiskal.
Whoosh bukan proyek sosial, bukan pula program kesejahteraan rakyat. Ia adalah proyek komersial yang sejak awal dijanjikan akan dibiayai oleh konsorsium BUMN dan investor China, tanpa satu rupiah pun dari APBN, tanpa menyentuh pajak rakyat.
Pernyataan Presiden Joko Widodo saat peletakan batu pertama dulu tegas: “Proyek ini tidak akan menggunakan dana APBN.”
Namun, bertahun kemudian pemerintah justru harus menyuntikkan Penyertaan Modal Negara (PMN) senilai Rp4,1 triliun ke PT KAI untuk menutup kekurangan modal akibat pembengkakan biaya.
Kata “tanpa APBN” pun kehilangan maknanya. Proyek yang diklaim murni Business to Business (B2B), kini berubah menjadi Business to Budget.
Dan kini, ketika biaya terus membengkak dan utang menumpuk, negara diminta ikut menanggung. Artinya, uang pajak masyarakat — hasil kerja keras petani, pedagang, nelayan, dan pekerja — berpotensi digunakan untuk menutup kesalahan bisnis segelintir elite.
Inilah wajah ketidakadilan fiskal dan ketidakjujuran manajerial. Ketika untung, mereka privatisasi; tetapi ketika rugi, risikonya disosialisasikan.
Publik pun berhak bertanya: di mana letak tanggung jawab korporasi dalam proyek yang mengaku murni bisnis ini?
Politik Pencitraan Bertemu Perangkap Bisnis China
Dalam teori pembangunan, infrastruktur strategis bukan sekadar proyek fisik; ia adalah ladang penciptaan manfaat ekonomi (benefit). Jika direncanakan dan dikelola dengan baik, infrastruktur semacam ini dapat menimbulkan efek ganda bagi ekonomi rakyat: menekan ongkos logistik, menghubungkan pusat industri, memperlancar distribusi barang, dan menurunkan biaya produksi.
Namun investasi raksasa bernilai puluhan triliun rupiah seperti proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) tidak dapat dilakukan tanpa studi kelayakan bisnis (feasibility study) yang matang.
Proyek infrastruktur modern semestinya didukung oleh analisis pasar, proyeksi penumpang, harga tiket, biaya operasional, risiko finansial, hingga perhitungan titik impas (Break Even Point / BEP). BEP menjadi tolok ukur utama: kapan investasi akan kembali, berapa lama waktu untuk mencapai titik impas, dan seberapa besar risiko yang harus ditanggung oleh investor.
Dalam logika bisnis murni, sebuah proyek yang sejak awal diproyeksikan merugi tidak layak untuk dijalankan. Jika potensi kerugian sudah terlihat di awal, keputusan melanjutkan proyek menunjukkan lebih besar unsur politis daripada rasionalitas ekonomi. Inilah yang tampak pada proyek kereta cepat Whoosh, yang kini justru membebani keuangan negara.
Ketika proyek ini diumumkan pada tahun 2015, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa pembiayaan kereta cepat akan menggunakan skema business-to-business (B2B) antara konsorsium Indonesia (PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia/PSBI) dan konsorsium China Railway International Co. Ltd., tanpa melibatkan APBN dan tanpa jaminan pemerintah.
Dengan skema ini, seluruh risiko seharusnya ditanggung oleh investor, sementara keuntungan menjadi hak mereka sepenuhnya.
Namun, realitasnya berbeda. Pembengkakan biaya dan kesulitan keuangan memaksa negara turun tangan melalui suntikan Penyertaan Modal Negara (PMN) ke PT KAI, sebagai pimpinan konsorsium.
Pada Tahun Anggaran 2021, pemerintah memberikan PMN sebesar Rp 4,3 triliun kepada PT KAI untuk menutup kekurangan pendanaan proyek (sumber: dokumen RAPBN 2021 dan catatan Komisi VI DPR RI).
Selain PMN, risiko proyek kini turut dijamin oleh negara melalui regulasi baru. Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2021, yang mengubah Perpres Nomor 107 Tahun 2015, secara eksplisit membuka peluang adanya dukungan pemerintah untuk mengatasi kenaikan biaya (cost overrun).
Perpres ini juga membentuk Komite Kereta Cepat Jakarta–Bandung di bawah koordinasi Menko Maritim dan Investasi, yang bertugas menentukan langkah-langkah penyelesaian pembengkakan biaya dan menilai bentuk dukungan yang diperlukan—termasuk kemungkinan penyertaan modal atau penjaminan pemerintah.
Dengan terbitnya Perpres tersebut, prinsip awal B2B yang menolak campur tangan APBN mulai bergeser. Negara kini memiliki peran sebagai penyelamat (bail-out) ketika proyek menghadapi tekanan keuangan.
Langkah ini kemudian diperkuat dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 89 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Penjaminan Pemerintah untuk Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung.
PMK ini menetapkan bahwa pemerintah, melalui Kementerian Keuangan, dapat memberikan penjaminan atas kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang dilakukan oleh PT KAI atau konsorsium proyek, apabila terjadi kegagalan pembayaran.
Meskipun dalam istilah resmi disebut “penjaminan pemerintah”, substansinya berarti APBN berpotensi menanggung risiko apabila proyek gagal bayar.
Artinya, risiko yang semula bersifat privat kini tersosialisasikan ke publik—melalui jaminan negara dan dana pajak.
Inilah yang dianggap oleh banyak kalangan sebagai pergeseran prinsip dari murni B2B menjadi B2G (business-to-government) terselubung.
Pada awalnya, total biaya proyek diperkirakan US$ 6,07 miliar (sekitar Rp 86,5 triliun). Namun, seiring berjalannya waktu, biaya meningkat sekitar US$ 1,9 miliar (sekitar Rp 27 triliun), sehingga totalnya mencapai US$ 8 miliar (sekitar Rp 114 triliun).
Kenaikan ini disebabkan oleh faktor-faktor teknis dan sosial: pembebasan lahan yang lebih luas dari perkiraan, medan yang rumit (terowongan dan jalur elevated), serta kenaikan harga material. Perkiraan awal yang terlalu optimistis terbukti tidak realistis.
Lebih parah lagi, proyeksi permintaan penumpang jauh dari ekspektasi. Data publik menunjukkan bahwa rata-rata penumpang harian Whoosh hanya berkisar 16.000–21.000 orang, jauh di bawah target yang dibutuhkan untuk menutup biaya operasional dan cicilan utang. Sementara itu, utang proyek telah mencapai lebih dari Rp 116 triliun.
Kesenjangan antara realitas ridership dan beban utang ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana proyek ini akan mencapai titik impas?
Ketika Presiden Jokowi menegaskan bahwa proyek ini tidak akan membebani APBN, publik percaya bahwa negara tidak akan menanggung risiko finansial. Namun, melalui kombinasi PMN, Perpres 93/2021, dan PMK 89/2023, arah kebijakan bergeser. Negara kini menjadi penyangga terakhir proyek yang secara bisnis tidak lagi murni layak.
Banyak ekonom menilai, perubahan ini menciptakan preseden berbahaya: proyek infrastruktur besar dapat dimulai dengan klaim “tanpa beban APBN”, namun ketika gagal, risiko justru dialihkan ke negara. Kepercayaan publik terhadap janji efisiensi dan transparansi pun menurun.
Fenomena ini bukan hal baru dalam skema investasi global China. Beberapa negara—seperti Sri Lanka, Pakistan, dan Zambia—telah mengalami jebakan utang (debt trap diplomacy) akibat proyek infrastruktur besar dengan pembiayaan tinggi dan proyeksi ekonomi yang tidak realistis.
China memanfaatkan ambisi politis pemerintah negara mitra untuk membangun proyek simbolis, sementara beban finansial jangka panjang akhirnya ditanggung negara penerima pinjaman.
Di Indonesia, ambisi pencitraan politik untuk menampilkan “simbol kemajuan” melalui proyek kereta cepat tampaknya bersinggungan dengan strategi ekonomi China yang menawarkan proyek cepat namun berbiaya tinggi.
Ketika kelicikan bisnis bertemu dengan kelicikan pencitraan, yang menjadi korban adalah logika pembangunan yang sehat, serta rakyat yang akhirnya menanggung risiko fiskal dari proyek yang sejak awal tidak layak secara ekonomi.
Investasi dan Kejujuran Fiskal
Ketika proyek kereta cepat Jakarta–Bandung beroperasi, Whoosh dianggap sebagai simbol kemajuan. Lambang kecepatan, efisiensi, dan modernitas bangsa Indonesia.
Ia dirayakan sebagai tonggak baru infrastruktur nasional, bukti bahwa Indonesia mampu menandingi negara-negara maju dalam membangun moda transportasi berteknologi tinggi.
Namun kini, simbol itu justru berbalik menjadi ironi. Suara Whoosh yang dulu nyaring melesat di udara, perlahan berubah menjadi embusan napas berat ekonomi: janji yang melesat, tapi beban yang tertinggal di belakangnya.
Pernyataan Purbaya Yudhi Sadewa yang menolak penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menanggung utang proyek Whoosh adalah semacam tiupan angin segar di tengah kabut tebal pencitraan pembangunan.
Sikapnya mengingatkan publik bahwa ada batas moral antara pembangunan yang sehat dan pembangunan yang dimanipulasi untuk kepentingan politik. Ia menandai kegelisahan yang mulai menyeruak dari dalam tubuh pemerintah sendiri — kegelisahan terhadap beban fiskal dan tanggung jawab keuangan yang kian kabur.
Rakyat pun menyambut pernyataan ini dengan rasa lega. Akhirnya ada pejabat tinggi yang berani mengatakan apa yang selama ini banyak orang pikirkan: bahwa proyek Whoosh tidak boleh menjadi beban rakyat, dan negara tidak seharusnya menanggung risiko dari kesalahan kalkulasi bisnis.
Kegelisahan ini bukan tanpa alasan. Sejak awal, proyek kereta cepat Jakarta–Bandung dibangun dengan janji bahwa tidak akan ada dana publik yang digunakan.
Namun kenyataan berkata lain. Pembengkakan biaya, penyertaan modal negara (PMN), dan potensi jaminan utang lewat APBN membuktikan bahwa janji “tanpa beban negara” telah bergeser arah.
Kini, proyek ini bukan lagi murni urusan konsorsium BUMN dan investor China, melainkan telah membuka risiko fiskal yang nyata bagi negara.
Pembangunan, sejatinya, tidak pernah salah. Yang sering keliru adalah cara manusia menafsirkan makna pembangunan itu sendiri.
Infrastruktur semestinya menjadi alat untuk memperkuat ekonomi rakyat — bukan sekadar monumen politik. Ia seharusnya membangun kepercayaan publik, bukan menggerusnya melalui janji-janji yang berubah arah.
Keberanian Purbaya Yudhi Sadewa untuk menolak beban utang Whoosh ditanggung APBN adalah bentuk kejujuran fiskal yang langka, tetapi sangat berharga.
Di tengah euforia pembangunan yang kerap dibungkus narasi kemajuan, suara seperti Purbaya menjadi pengingat bahwa integritas dalam kebijakan keuangan negara masih mungkin tegak berdiri.
Rakyat Indonesia tidak anti terhadap pembangunan. Mereka hanya menuntut kejujuran dalam pelaksanaannya. Mereka berhak atas pembangunan yang transparan, yaitu pembangunan yang tidak memanipulasi kata “tanpa beban negara”, dan tidak menyamarkan kegagalan korporasi sebagai tanggung jawab publik.
Pembangunan sejati bukan diukur dari seberapa cepat kereta melaju, melainkan dari seberapa jujur niat para pemimpinnya dan seberapa besar keberpihakan kebijakan terhadap rakyat kecil.
Jika proyek seperti Whoosh ingin benar-benar menjadi simbol kemajuan, maka ia harus mencerminkan nilai transparansi, efisiensi, dan akuntabilitas. Tanpa ketiganya, pembangunan hanya akan menjadi monumen kebohongan yang melaju cepat — tetapi menuju arah yang salah.***