Kisah Koboi Purbaya dalam Lanskap Indonesia

Breaking News
- Advertisement -

Oleh: Lukas Luwarso

Mudanews.com OPINI – Baru sebulan menjabat Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa berhasil mencuri perhatian publik dan sorotan media. Berbagai gebrakan dan pernyataannya mengagetkan. Mengingatkan narasi lakon film koboi Spaghetti Western ala Sergio Leone era 1960-an: “A Fistful of Dollars”; “For a Few Dollars More”; “The Good, The Bad, and The Ugly”.

Membaca berbagai judul pemberitaan media seminggu terakhir: “Purbaya Tolak APBN Buat Bayar Utang Whoosh”; “Purbaya Akan Bubarkan Satgas BLBI”; “Purbaya Mau Hapus Triliunan Tunggakan Iuran BPJS.” Atau lontarannya: “serapan APBN 2025 tidak maksimal, ada banyak uang nganggur.”

Purbaya menempatan dana 200 triliun ke bank untuk menggerakkan ekonomi, dan melontarkan perlunya “reformasi fiskal tanpa kompromi”. Ia menantang Lord Luhut Panjaitan, tidak akan menggunakan anggaran negara (APBN) untuk mendanai pembangunan family office di Bali, menolak membayar utang kereta cepat Woosh, dan akan memangkas dana MBG yang tak terserap.

Purbaya sedang memerankan figur “Django”, koboi penembak cepat, di lanskap padang tandus politik-ekonomi Indonesia yang korup dan birokrasi yang lemot. Di ruang publik, Purbaya berani mempersoalkan stagnasi ekonomi. Di lahan politik, langkahnya membuat banyak pihak gemas: ini koboi yang sedang mencari solusi atau sedang membuat problem baru? Menantang para bandit-gangster lama di padang-politik-uang peninggalan Jokowi?

Purbaya ingin menata ulang sirkulasi uang agar “tidak ke konglomerat lama – dia lagi-dia lagi”. Namun, seperti di film koboi, niat baik sering terjebak di tengah debu dan asap kuasa jahat para penguasa ekonomi-politii. Ia, misalnya, akan berhadapan dengan gerombolan Danantara — penguasa tambang emas di bukit El-dorado — yang telah kukuh menjadi “tangan besi ekonomi negara”.

Gaya komunikasi blak-blakan, asal tembak, telah memunculkan “efek Purbaya”. Ia bicara soal bank malas menyalurkan kredit, soal birokrat yang “tak punya sense of crisis”, dan bahkan menyinggung kementerian lain yang “menunggu arahan tanpa inisiatif”. Gaya teknokrat tak kenal takut, yang sangat diperlukan oleh publik — tapi di telinga sebagian elite, ia terdengar seperti “politikus wannabe” yang sedang membangun panggung popularitas pribadi. Popularitas terlalu cepat yang bisa menjadi perangkap politik untuknya.

Dalam ekosistem yang belum lepas dari politik rente patronase, pejabat yang terlalu populer adalah ancaman. Apalagi jika ia ingin mengutak-atik wilayah gelap kuasa hantu-belau, soal transparansi dana, efisiensi BUMN, dan digitalisasi fiskal. Dalam ekosistem politik-ekonomi mafia yang berkeberlanjutan, ketika jaringan bisnis di balik proyek dan program besar sudah mapan, keberanian ala koboi Purbaya adalah “pengkhianatan.”

Jika ekonomi adalah permainan strategi, Purbaya sedang berada di lanskap terbuka, dikelilingi semak belukar – tempat para bandit bersembunyi siap menembaknya. Posisi Purbaya agak rumit, ia bicara soal inklusi dan efisiensi fiskal, tapi harus berhadapan dengan inefisiensi struktur lama yang masih dikontrol jejaring patronase bisnis-politik era-Jokowi.

Prabowo agaknya butuh figur reformis untuk memberi kredibilitas ekonomi pemerintahannya, tapi ia juga perlu memastikan “keberlanjutan sistem” tetap berjalan — sistem yang menjamin stabilitas politik melalui kompromi ekonomi. Purbaya tak bisa mundur, tapi juga tak bisa maju sendirian. Ia perlu dukungan politik yang tak selalu sejalan dengan rasionalitas ekonominya.

Jika Purbaya tak mengelola ujaran dan tembakannya dengan cermat, ia bakal terjebak di tengah padang tandus “wild-wild-west”. Terlalu naif sebagai koboi, terlalu idealis untuk kultur patronase, terlalu teknokratik untuk politik transaksional. Dan akhirnya, seperti dalam duel koboi klasik, siapa yang terlalu banyak bicara dan bertingkah, biasanya kalah duluan. (Django beneran, dalam film Spaghetti Western, lazimnya langsung tembak, tanpa banyak cakap).

Di dunia “game theory”, posisi Purbaya boleh jadi membuka keseimbangan baru (Nash Equilibrium). Titik keseimbangan ketika pemain hanya bisa memperbaiki situasi jika pemain lain turut menyamakan strategi. Masalahnya, dalam politik Indonesia, permainan bukan sekadar soal strategi rasional, tapi juga soal siapa memegang kuasa, siapa menulis aturan main, dan siapa menguasai akses.

Purbaya ingin mereformasi fiskal untuk menjadi lokomotif perubahan ekonomi, dan menghentikan praktik distribusi-rente politik? Dalam lanskap politik Indonesia kontemporer, rasionalitas tidak bisa bertahan tanpa proteksi politik. Jika ia gagal membaca peta-kekuasaan, dengan segala jaringan mafia proyek, politik uang, dan kompromi di balik layar, ia bisa terjungkal sebelum sempat menembak.

Saat semburat senja merah membara di langit Jakarta, Purbaya “si Django fiskal” berdiri di pintu saloon Kemenkeu. Ia telah melepaskan tembakan senilai 200 triliun, mengancam memotong dana MBG, dan sukses mengusir gerombolan kepala daerah yang menggeredugnya untuk membatalkan pemangkasan anggaran.

Apakah Purbaya “Django” Sadewa bisa menyelamatkan Indonesia dari krisis fiskal dan mampu menumbuhkan ekonomi 6% tahun depan? Atau ia bakal terjungkal di duel koboi vs bandit dalam lanskap politik-ekonomi Indonesia? Mari kita tunggu kelanjutan kisah Spaghetti Western Koboi Purbaya ala Indonesia ini. ***

Berita Terkini