Dedi Mulyadi, Pemimpin Keblinger dan Tak Profesional?

Breaking News
- Advertisement -

 

_Oleh: Bang Eggi Sudjana (BES) – Advokad, Ketua GPPSD-LH_

Mudanews.com OPINI – Setelah gelombang kritik keras terhadap Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 11 Tahun 2025 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan, Gubernur Dedi Mulyadi akhirnya menawarkan “opsi penyelamat”, Bantuan Langsung Tunai (BLT) Rp. 2–3 juta per bulan bagi masyarakat yang kehilangan mata pencaharian akibat penutupan tambang, seperti di Parung Panjang, Bogor.

Sekilas kebijakan ini tampak simpatik, namun sejatinya hanya menjadi plester sementara di atas luka struktural yang diciptakan pemerintah sendiri.

BLT Rp. 2–3 juta hanya mampu bertahan satu hingga dua bulan. Setelah itu, ribuan penambang tetap kehilangan pekerjaan, sopir tidak punya muatan, pedagang kehilangan pelanggan, dan ekonomi desa lumpuh. Padahal, sebelum kebijakan ini, rata-rata pendapatan pekerja tambang rakyat mencapai Rp. 5–8 juta per bulan.

Hingga kini, belum ada data otentik maupun dokumen resmi Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang menunjukkan BLT Rp. 2–3 juta itu benar-benar terealisasi atau bahkan tersedia dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan Tahun 2025.

Bila kita hitung secara sederhana, terdapat sekitar 20.000 penambang rakyat, 6.000 sopir truk, dan sedikitnya 30.000 pedagang, pemilah batu, dan buruh tambang tidak langsung yang turut terdampak.

Artinya, total penerima dampak langsung mencapai sekitar 50.000 orang.

Jika masing-masing menerima BLT rata-rata Rp. 2,5 juta per bulan, maka dana yang dibutuhkan mencapai, Rp. 2.500.000 x 50.000 orang = Rp. 125 miliar per bulan,
atau Rp. 1,5 triliun per tahun bila dijalankan selama 12 bulan.

Jumlah ini jelas tidak kecil. Tanpa kejelasan sumber dana apakah dari APBD, CSR perusahaan tambang, atau bantuan pusat, kebijakan ini rawan menjadi sekedar janji politis yang sulit dilaksanakan.

Padahal, dalam konteks fiskal Jawa Barat tahun 2025, ruang fiskal pemerintah provinsi sangat terbatas. Anggaran prioritas masih terserap pada belanja wajib, gaji ASN, dan infrastruktur dasar. Maka, wajar publik bertanya: dari mana dana BLT sebesar itu akan diambil?

Artinya, BLT bukan solusi, melainkan pengakuan diam-diam bahwa Pergub 11 gagal total. Pemerintah seharusnya menyiapkan rencana transisi ekonomi, pembentukan koperasi, pelatihan usaha baru, atau proyek padat karya bukan menggiring rakyat pada ketergantungan.

Konstitusi telah jelas menegaskan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Tidak dapat dipungkiri, Dedi Mulyadi dikenal luas sebagai figur yang berkarakter pekerja keras dan disiplin dalam tata kelola pemerintahan daerah.
Beberapa keberhasilannya di masa lalu antara lain:

Penataan ruang publik dan revitalisasi lingkungan di Purwakarta yang mengangkat nilai budaya Sunda,

Peningkatan indeks reformasi birokrasi pada masa awal kepemimpinannya, dan penerapan prinsip “pamarentahan rahayat” (pemerintahan yang dekat dengan rakyat) melalui pendekatan budaya lokal.

Namun, keprofesionalan ini tampak tidak konsisten dalam implementasi Pergub 11/2025.
Dalam hal perumusan kebijakan, Dedi Mulyadi gagal menerapkan prinsip “due diligence” dan “impact assessment” terhadap aspek sosial-ekonomi masyarakat terdampak. Ia tampak terlalu fokus pada aspek lingkungan, namun mengabaikan keseimbangan ekonomi rakyat kecil, sesuatu yang justru menjadi inti dari kepemimpinan berbasis kearifan lokal yang selama ini ia banggakan.

Kepemimpinan profesional seharusnya ditunjukkan melalui perencanaan matang, mitigasi risiko sosial, dan komunikasi publik yang transparan, bukan lewat kebijakan tambal-sulam setelah krisis terjadi.

Tugas negara bukan sekadar melarang, melainkan mengelola dan memberdayakan.

Pergub 11/2025 menunjukkan lemahnya kepemimpinan. Dedi Mulyadi membuat aturan yang menjerat rakyatnya sendiri tanpa peta jalan ekonomi dan tanpa antisipasi sosial. Saat dampaknya terasa, ia justru menambal dengan kebijakan darurat.

Inilah yang oleh Bung Karno disebut “pemimpin keblinger” pemimpin yang kehilangan arah perjuangan, tidak lagi berpihak pada rakyat, dan terperangkap dalam logika administratif tanpa jiwa kerakyatan.

Seorang pemimpin sejati memiliki “sense of crisis” terhadap penderitaan rakyat. Namun yang terlihat di Jawa Barat justru sebaliknya: rakyat tercekik, sementara kebijakan makin menambah beban.

Tak Sejalan dengan Visi Presiden Prabowo

Kebijakan ini juga bertolak belakang dengan visi Presiden Prabowo Subianto yang menekankan kemandirian ekonomi, pemerataan, dan pengelolaan sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat.
Alih-alih memperkuat ekonomi produktif, Pergub 11 justru menutup ruang usaha rakyat dan menumbuhkan ketimpangan baru antara pemerintah yang “mengatur” dan rakyat yang “menunggu belas kasihan”.

Jika pemerintah ingin menjaga lingkungan, jalannya bukan dengan larangan total, tetapi dengan pemberdayaan tambang rakyat berizin, penerapan teknologi ramah lingkungan, dan pembagian hasil yang adil.

Pergub 11 telah melumpuhkan ribuan usaha dan memutus rantai ekonomi di berbagai wilayah Jawa Barat. Di Parung Panjang dan Sukabumi, lebih dari 6.000 sopir truk berhenti bekerja, 20.000 lebih penambang kehilangan pendapatan, dan puluhan ribu usaha mikro terhenti.

Kehilangan penghasilan massal ini menimbulkan keresahan sosial yang berpotensi memicu instabilitas. Kita sudah melihat contohnya dalam kerusuhan akhir Agustus 2025, yang berawal dari ketimpangan ekonomi dan berujung pada krisis kepercayaan terhadap pemerintah pusat.

Ketika rakyat marah, mereka tidak membedakan mana kebijakan gubernur dan mana tanggung jawab presiden. Dalam pandangan rakyat, semua itu adalah “pemerintah”.

Karena itu, kebijakan Dedi Mulyadi yang tidak berpihak pada rakyat bukan hanya merugikan Jawa Barat, tetapi juga berpotensi menggerus legitimasi politik Presiden Prabowo.

Presiden Perlu Bertindak

Presiden perlu mengevaluasi kepemimpinan Dedi Mulyadi. Provinsi dengan lebih dari 50 juta penduduk tak bisa dipimpin oleh sosok yang kebijakannya menimbulkan keresahan sosial dan mengancam kestabilan ekonomi nasional.

Langkah evaluasi ini bukan urusan politik semata, tetapi soal keselamatan sosial bangsa. Bila keresahan rakyat terus dibiarkan, yang terancam bukan hanya ekonomi Jawa Barat, tapi juga stabilitas nasional dan kepercayaan publik terhadap pemerintahan pusat.

Penutup

Pemimpin yang baik bukan yang membuat rakyat tunduk karena takut aturan, tetapi yang membuat rakyat percaya karena merasakan keadilan.

Pergub 11/2025 menjadi pelajaran mahal, ketika kebijakan lahir tanpa empati dan perencanaan, rakyat akan membalas dengan keresahan. Dan bila keresahan itu tak dijawab dengan keadilan, hal ini akan mengguncang dari bawah hingga ke istana.

Bogor, Selasa 14 Oktober 2025, 14:36 Wib.

Berita Terkini