Oleh :Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
Mudanews.com OPINI – Saat diresmikan, ingin sekali naik Whoosh. Sekarang, niat itu jadi hilang. Lilitan utang sepanjang rel membuat proyek kebanggaan Jokowi itu seperti hilang daya tariknya. Apalagi Menkeu Purbaya ogah bayar utang KCIC dengan APBN, membuat kereta cepat menuju “neraka” finansial. Duh, si abang rasa kopi semakin pahit saja. Simak narasinya, wak!
Ada yang lebih cepat dari kecepatan 350 km/jam KCIC, yaitu kecepatan bunga utang yang berlari tanpa rem. Sementara keretanya melesat gagah di atas rel, laporan keuangannya terguling di jurang defisit. Katanya proyek kebanggaan bangsa, tapi kini lebih mirip kebanggaan bank.
Menkeu Purbaya sudah teriak, “Jangan pakai APBN!” suaranya seperti bapak kos yang muak melihat anak kos tiap bulan ngutang Indomie di warung sebelah. Tapi di sisi lain, Istana bilang sedang mencari “skema terbaik”. Nah, itu dia. Di negeri ini, kalau kata “skema” sudah muncul, artinya logika sedang cuti.
KCIC awalnya dijual sebagai simbol kemajuan. Sekarang, simbolnya berganti, kemajuan menuju utang yang tak kunjung pulang. Penumpang masih sedikit, tiket mahal, biaya listrik jalan terus, dan bunga utang tumbuh seperti jamur di musim janji politik. Rata-rata penumpang harian masih di bawah 20 ribu dari target 30 ribu. Tapi ya sudah, kita tetap disuruh bangga, karena katanya ini “modernisasi transportasi.”
Padahal kalau tak segera diselesaikan, proyek ini bisa jadi monumen utang paling keren di Asia Tenggara. Bayangkan, kang! KAI, yang sudah punya utang sekitar Rp 40 triliun, masih harus menanggung tambahan Rp 8–10 triliun dari proyek ini. Lalu bunga utang dari China Development Bank (CDB) terus menetes manja, kayak air bocor di atap rumah tua. Sementara itu, Danantara, sang superholding BUMN, lagi sibuk mikir dua opsi ajaib, pertama, tambah modal ke KAI biar keuangannya gak tumbang. Kedua, serahkan infrastruktur KCIC ke pemerintah.
Kedengarannya keren, tapi intinya sama aja, utang tetap di sini, cuma dipindah-pindah kursi.
Kalau semua buntu, ya tinggal satu jalan, APBN. Mau diakui atau tidak, kalau proyek ini nyungsep, duit rakyat pasti jadi perisai terakhir. Lalu keluar lagi kalimat legendaris itu, “Demi kepentingan bangsa dan stabilitas ekonomi nasional.” Terjemahan bebasnya, “Maaf ya, uang pajak Anda sedang kami ubah jadi bunga utang.”
Kalau sudah begitu, rakyat yang nonton dari warung kopi cuma bisa geleng kepala. “Lha, katanya kereta cepat, kok bayarnya lama?” Yang lebih lucu lagi, kalau nanti KCIC bangkrut, bisa jadi negara nyalahin “faktor eksternal”, padahal eksternalnya cuma logika yang hilang sejak awal groundbreaking.
Lihatlah, proyek ini seolah punya misi spiritual, mempercepat perjalanan menuju defisit, sambil tetap meyakinkan dunia bahwa “semua terkendali.” Padahal di balik layar, Danantara sudah ngos-ngosan cari investor baru, KAI mulai cemas soal gaji pegawai, dan Istana sibuk menulis narasi heroik agar publik tidak sadar bahwa mereka sedang membayar bunga dari impian yang tak selesai.
Kalau terus begini, KCIC bukan lagi singkatan Kereta Cepat Indonesia Cina, tapi “Kereta Cicilan Ibu Cinta” karena setiap pembayar pajak akan ikut menyicil demi cinta pada proyek yang katanya membanggakan.
Utang itu seperti kereta cepat. Begitu naik, susah turun, dan makin lama makin mahal tiketnya. Kalau bangsa ini tak segera menekan rem, kita semua bakal ikut melaju ke masa depan di mana satu-satunya yang cepat hanyalah cara utang menua sebelum lunas.
Kereta melaju menembus kota,
Tagihan datang tak tahu malu,
Janji manis tinggal cerita,
Negara tekor, rakyat terpalu.
Rel berkilau di bawah mentari,
Utang menumpuk sampai ke langit,
Janji cepat tapi rugi sendiri,
Yang bayar nanti cucu cici***