Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
Mudanews.com OPINI – Saya selalu ingat perkataan sintua Cornelis. “Yang patut disalahkan itu, jambu monyet. Kenapa bijinya di luar.” Dalam kasus kegagalan Timnas lolos ke Pildun, siapa yang patut disalahkan atau dijadikan kambing hitam? Apakah Erick Thohir atau Patrick Kluivert? Mari kita gilas, eh salah, kupas hal paling menyedihkan dunia sepakbola negeri ini. Siapkan kopi tanpa gula, wak!
Gagal lagi, wak! Negara ini sudah merdeka hampir delapan dekade, tapi sepak bolanya masih juga hidup segan mati tak mau. Begitu peluit panjang berbunyi, harapan rakyat rontok seperti daun kering disapu angin gurun. Timnas di bawah pendekar Patrick Kluivert gagal ke Piala Dunia, dan seluruh negeri langsung berubah jadi ruang rapat raksasa. Semua merasa paling tahu bola, dari tukang parkir sampai menteri.
Seperti biasa, upacara sakral pun dimulai, “ET OUT! PK OUT!” teriak netizen di kolom komentar. Erick Thohir dan Patrick Kluivert, dua nama yang tadinya bikin optimis, kini berubah jadi target tembakan. Kalau marah rakyat bisa dijual, Indonesia sudah lunas hutangnya.
Patrick Kluivert, eks Barcelona, datang dengan aura Eropa dan janji besar, membangun tim modern. Tapi yang dibangun malah drama sinetron 90 episode tanpa ending. Timnas main seperti band indie kehilangan vokalis, rame tapi tak sinkron. Mau main cepat, stamina abis. Mau main sabar, kebobolan duluan. Gol dari skema terbuka? Harapan palsu. Dua penalti lawan Arab Saudi itu pun rasanya lebih mirip santunan dari hasil kerja taktik.
Sementara itu, Erick Thohir tampil dengan jas rapi dan kalimat motivasi yang seolah baru keluar dari seminar “Leadership for Dummies.” Dia bilang, “Kita sedang berproses.” Lah, dari era Nurdin Halid sampai Shin Tae Yong pun katanya berproses. Kalau “proses” itu bisa dijadikan mata kuliah, rakyat Indonesia sudah S3 semua. Bedanya, yang lulus cuma kecewa.
Masalahnya bukan cuma di lapangan, tapi di langit. Di atas sana, ada sistem manajemen yang sudah lama bengkok tapi masih dipoles agar tampak kinclong. PSSI sibuk urus citra, bukan struktur. Timnas dirombak tiap pergantian pelatih seperti ganti tema acara tujuhbelasan. Hasilnya? Konsistensi mental kalah sama konsistensi janji.
Lalu publik bertanya, siapa yang salah? Kluivert? Mungkin. Taktiknya sering bingung antara pragmatis dan panik. Erick Thohir? Bisa jadi. Terlalu banyak janji, terlalu sedikit gol. Tapi menyalahkan dua orang ini saja seperti nyalahin kiper karena kapal tenggelam, padahal bocornya di lambung kapal, bukan di gawang.
Namun rakyat butuh pelampiasan. Dalam logika sepak bola ala warung kopi, kambing hitam wajib ada. Tanpa kambing, tidak ada drama. Tanpa drama, tak ada trending topic. So, Erick dan Patrick, terimalah nasib kalian, bukan sekadar pejabat dan pelatih, tapi simbol dari kegagalan nasional yang sudah turun-temurun.
Lucunya, setiap kali kalah, selalu ada yang bilang, “Yang penting kita sudah berjuang.” Kalimat klise paling menenangkan sekaligus paling menyakitkan. Kalau perjuangan tanpa hasil disebut prestasi, maka bangsa ini sudah juara dunia dalam hal menahan sabar.
Namun begitulah kita, bangsa paling romantis di dunia sepak bola. Kita tidak butuh kemenangan untuk tetap cinta. Kita hanya butuh alasan baru untuk marah.
Bisakah Erick Thohir dan Patrick Kluivert dijadikan kambing hitam? Bisa banget. Bahkan sudah. Tapi masalahnya, kambing itu bukan cuma dua. Ada gerombolan besar di baliknya, dari manajemen yang mabuk wacana, sistem yang kebingungan, sampai fans yang terlalu cepat percaya.
Sepak bola kita bukan lagi permainan sebelas lawan sebelas, tapi sebelas juta orang melawan harapan yang tak pernah gol. Selama bola itu belum benar-benar masuk, bangsa ini akan terus sibuk mencari kambing baru untuk disembelih di altar kekecewaan.***