Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
Mudanews.com OPINI – Perang lagi, perang lagi. Baru saja damai Hamas dan Israel, muncul perang baru, Afghanistan vs Pakistan. Padahal, Afghanistan itu saja menikmati damai usai mengusir Amerika. Nikmati narasinya sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
“Bang, dua negara itukan sama-sama Islam, sama sunni lagi. Malah tetanggaan, kok jadi perang?”
“Kita nikmati saja. Di sana itu, perang adalah seni dan bisnis, wak.” Ups.
Begini ceritanya. Oktober 2025, dunia kembali menyaksikan dua tetangga yang dulunya satu sejarah, satu bahasa, satu kakek moyang penjajah, tapi sekarang saling kirim “hadiah” berupa roket dan artileri. Kalau cinta bisa bersemi di perbatasan, maka di Durand Line, yang tumbuh hanyalah asap dan peluru. Itulah Afghanistan dan Pakistan.
Kisahnya dimulai dengan Pakistan mengirimkan serangan udara ke wilayah Kabul dan pasar di timur Afghanistan, katanya, untuk “menghancurkan sarang teroris”. Taliban, yang mungkin sedang sarapan teh susu, langsung membalas, menembaki pos-pos perbatasan Pakistan. Ledakannya bersahutan seperti pesta tahun baru, tapi tanpa kembang api, hanya serpihan bangunan dan ego nasionalisme. Hasilnya? Afghanistan mengklaim 58 tentara Pakistan tewas, Pakistan membalas dengan klaim “kami menghancurkan pos mereka”. Dunia pun bingung, siapa sebenarnya yang menang? Yang jelas, kalahnya rakyat kecil, selalu begitu, dari zaman batu sampai zaman drone.
Pakistan lalu menutup perbatasan Torkham, Chaman, Kharlachi, Angoor Adda, dan Ghulam Khan. Kalau ini drama sinetron, bagian ini adalah “adegan putus hubungan”blokir WA, unfriend Facebook, tutup border. Tapi penutupan itu bikin ribuan orang Afghanistan kelaparan, pedagang rugi besar, dan sopir truk nangis di tengah gurun. Ironisnya, dua negara ini dulunya sekutu di masa perang Soviet. Kini, mereka sibuk saling nuduh seperti dua mantan yang saling bilang, “Kau mulai duluan!”
Padahal, ini bukan episode pertama. Februari hingga Maret 2025, Torkham juga sudah ditutup selama hampir sebulan. Gara-gara apa? Pos baru di lahan sengketa. Afghanistan bangun pos, Pakistan marah, lalu saling tembak. Setelah 25 hari, mereka sepakat berdamai. Semua bahagia. Tapi dua bulan kemudian, peluru kembali beterbangan. Kalau konflik ini sinetron, judulnya pasti, Cinta Dua Perbatasan, Musuh di Atas Langit Kabul.
Lalu masuklah PBB. Dengan langkah elegan, lembaga paling sabar di dunia itu “menyesalkan kekerasan” dan “mengimbau kedua pihak menahan diri.” Terjemahan bebasnya, “Kami juga bingung harus ngapain.” Pakistan melapor ke Dewan Keamanan soal militan TTP yang berlindung di Afghanistan. Afghanistan pun tak mau kalah, melapor balik karena wilayahnya dibom. Dunia menatap, mencatat, lalu… kembali ke rapat anggaran.
Sementara itu, Arab Saudi dan Qatar menyeru agar kedua negara “menjaga stabilitas”. Iran mengingatkan supaya “tidak berlebihan”, meski di sisi lain sedang tes rudal. China pun muncul sebagai mediator bijak, menawarkan “dialog trilateral”, padahal semua tahu dialog itu biasanya berakhir dengan selfie dan perjanjian yang tidak ditepati.
Di luar meja diplomasi, warga sipil menanggung harga absurditas ini. Pasokan makanan macet, truk berhenti, anak-anak tak bisa sekolah. Tapi di televisi, pejabat berbicara tentang “kehormatan bangsa” kalimat favorit setiap pemerintah yang kehabisan logika.
Perang ini bukan cuma tentang peluru, tapi tentang ego yang diwariskan turun-temurun. Garis Durand Line yang dibuat Inggris 132 tahun lalu masih jadi sumber pertengkaran, padahal Inggrisnya sendiri sudah lupa letaknya di mana. Manusia memang unik, mereka menciptakan garis khayal di tanah, lalu rela mati mempertahankannya.
So, kalau sampeyan merasa hidupmu rumit, ingatlah! Ada dua negara yang terus berperang karena satu garis yang digambar pakai penggaris bengkok tahun 1893. Di sana, di antara gurun dan gunung, dentuman meriam terus bergema, seolah berkata, “Selamat datang di dunia absurd, tempat logika pensiun dan dendam dapat jatah pensiun tetap.”***