Machado Raih Hadiah Nobel, Kenapa Bukan Trump yang Medamaikan Hamas dan Israel

Breaking News
- Advertisement -

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

Mudanews.com OPINI | Sedikit saja saya nyentil rezim, duh buzer macam cacing kepanasan. Bagaimana dengan Maria Corina Machado yang setiap waktu melawan rezim. Semua ia lawan dengan jiwa dan raga. Luar biasa keberanian perempuan ini. Hadiah Nobel layak didapatkannya. Lantas bagaimana Donald Trump yang sukses mendamaikan Israel dan Hamas? Kok si rambut jagung itu tidak dapat? Mari kita lindas, eh salah, kupas perempuan baja ini sambil seruput kopi tanpa gula, wak. Eh, lupa selamat malam minggu semua.

Dunia terbelalak. Bukan karena kiamat. Karena, Maria Corina Machado, perempuan asal Venezuela yang menolak tunduk pada diktator, justru meraih Hadiah Nobel Perdamaian 2025. Ya, Machado. Bukan Trump. Bukan juga juru damai dadakan dari Washington yang mengira perdamaian bisa dideklarasikan lewat unggahan media sosial dengan font kapital semua.

Pada Jumat, 10 Oktober 2025, Komite Nobel Norwegia di Oslo mengumumkan keputusan bersejarah, Maria Corina Machado menerima penghargaan atas “perjuangan damai dan tanpa kekerasan dalam membela hak-hak demokratis rakyat Venezuela.” Sementara itu, di Gedung Putih, Donald Trump kabarnya terdiam lima detik sebelum berteriak, “Ini Politik, Bukan Perdamaian!” lalu menulis status panjang di platform sosialnya, diselingi emoji api dan tanda seru bertubi-tubi.

Machado memang bukan diplomat. Bukan jenderal. Bukan miliarder dengan rambut ajaib. Ia hanyalah perempuan yang memilih melawan rezim Nicolás Maduro tanpa menembakkan satu peluru pun. Ia menyatukan oposisi, menolak kekerasan, dan mempertahankan akal sehat di negara yang sudah lama kehilangan listrik, bensin, dan harapan. Ia ibarat lilin di tengah badai minyak.

Komite Nobel menegaskan, Machado memenuhi tiga kriteria Alfred Nobel: mempromosikan perdamaian, mengurangi ketegangan antarbangsa, dan memperjuangkan hak asasi manusia. Dengan kata lain, damai tanpa selfie, heroik tanpa hotel mewah, berani tanpa pasukan bayaran.

Sementara itu, Trump dengan penuh keyakinan menyebut dirinya layak menang karena “telah mendamaikan Hamas dan Israel.” Klaim ini tentu terdengar heroik… sampai kita ingat bahwa yang ia maksud adalah “fase pertama penghentian sementara tembakan selama dua jam dan tiga kopi diplomatik.” Perdamaian dua jam, lalu lanjut bombardir. Itu bukan ceasefire, itu coffee break.

Gedung Putih, lewat juru bicara Steven Cheung, menyebut keputusan Nobel itu “politik di atas perdamaian.” Ia memuji Trump sebagai “pemimpin yang mampu menggerakkan gunung dengan tekadnya.” Mungkin yang dimaksud adalah Trump Tower, bukan Sinai.

Machado sendiri tak bereaksi. Ia sedang berbicara kepada para relawan di Caracas, bukan di konferensi mewah, tapi di halaman rumah warga. Di sana, “perdamaian” berarti bertahan hidup tanpa listrik, berjuang tanpa senjata, dan berharap tanpa lelah. Ia bahkan tetap aktif meski hidup di bawah ancaman penjara. Ia pernah dilarang ikut pemilu, tapi tak pernah berhenti mengingatkan rakyatnya, demokrasi bukan hadiah dari semesta, melainkan hasil keringat manusia.

Sebagai simbol perlawanan damai, Machado sejajar dengan nama-nama seperti Aung San Suu Kyi (1991), Liu Xiaobo (2010), dan Malala Yousafzai (2014), semua pernah menerima Nobel di tengah represi. Ia dijuluki “La Libertadora”, sang pembebas modern Venezuela, versi tanpa pedang.

Trump mungkin punya “perdamaian gaya Abraham Accords,” tapi Machado punya perdamaian gaya Rosario Caracas, tidak glamor, tapi tulus. Ia tak menandatangani perjanjian di meja marmer. Ia menandatangani sejarah di tembok rakyat yang lelah menunggu kebebasan.

Ketika Komite Nobel menyebutnya “simbol moral di tengah kegelapan otoritarianisme,” dunia bertepuk tangan. Bukan karena politik, tapi karena manusia seperti Machado membuktikan bahwa keberanian bisa lembut, dan perdamaian tak perlu pasukan.

Trump? Ia masih sibuk menulis, “Saya membawa perdamaian ke Timur Tengah!” ya, mungkin ke lapangan golf Timur bagian Florida.

Perdamaian ala Machado tak butuh panggung, hanya keyakinan. Sedangkan perdamaian ala Trump butuh mikrofon, spanduk, dan dua juta pengikut daring. Bedanya sederhana, Machado menenangkan bangsa, Trump menenangkan egonya.

Pada akhirnya, Oslo menegaskan satu hal yang paling absurd sekaligus indah. Kadang, dunia lebih percaya pada kekuatan seorang perempuan yang menentang diktator tanpa senjata, dari seorang miliarder yang menentang kenyataan tanpa logika.***

Berita Terkini