Menempatkan Jurnalis Baru Secara Adil

Breaking News
- Advertisement -

 

Mudanews.com OPINI  – Minggu ini saudara Rudi S Kamri diadili sebagai terdakwa UU ITE di PN Jakarta Utara karena terkait materi podcastnya. Saya diminta menjadi ahli di persidangan tanggal 9 September 2025.

Setelah Rudi, mungkin bisa saja akan menyusul kasus hukum lain mengenai para jurnalis yg takshow di podcast. Abraham Samad sempat diperiksa dan dipanggil polisi terkait podcastnya. Sebelumnya pernah Bocor Alus Tempo juga diancam akan dilaporkan pelanggaran UU ITE. Dedy Corbuzier juga pernah mengalami hal yang sama. Artinya ini bisa mengenai banyak aktivis youtuber atau podcaster. Karena media podcast tidak terlindungi hukum dalam hal kebebasan berpendapat dan berkomunikasi.

Karena itu hari ini SMSI menyelenggarakan Dialog Nasional dengan mengundang beberapa pembicara membahas ini. Salah satunya saya diminta bicara terkait konsep pemikiran hingga jadi gerakan dan upaya hukum, bagaimana kebebasan berpendapat lewat media baru khususnya podcast itu supaya bisa lebih terjamin.

Kritik dalam bentuk penyampaian pendapat dan mengungkap fakta buruk adalah alarm moral. Bukan sebagai kebencian. Bukan mau merongrong atau memusuhi pihak yg dikritik. Namun untuk mengingatkan bahwa niat baik semua pihak itu bisa terjaga dalam pelaksanaannya jika diingatkan dan diperingatkan.

Tujuannya agar pihak pihak yang berkuasa menjadi lebih hati-hati, lebih cerdas, lebih dewasa, dan lebih bijaksana. Itulah pentingnya kritik.

Agar podcast bisa jadi setara jurnalisme pers, pengertian pers konvensional di UU Pers perlu di JR agar dimaknai lbh terbuka terhadap media baru ini, sehingga bisa dianggap sebagai pers oleh UU. Dalam hal ini tidak perlu revisi UU tapi cukup Judicial Review di MK.

Adaptasi regulasi itu penting untuk mengikuti perkembangan teknologi dan konsekuensinya. Teknologi dan disrupsi tidak bisa dilawan secara frontal dengan dikotomi berdasar ukuran lama. Yang penting ada equality of playing fields pada pelaku jurnalistik.

Podcast itu beda dengan media sosial secara umum. Di media sosial terlalu banyak pelaku anonim sehingga isinya jauh dari objektivitas. Sedang podcast itu terbuka. Narsumnya kredible, memiliki identitas jelas. Bahkan ada tuntutan harus punya reputasi personal pada pembawa podcast agar salurannya dipercaya dan diikuti. Makanya podcast termasuk bentuk baru jurnalisme yg mendalam dengan format fleksibel.

Ke depan harus ada standard jurnalistik dan tata nilai terkait yg mengatur podcast. Sebagamana juga berlaku dalam talkshow media secara umum. Podcast hanya lebih fleksibel dan spesifik.

UU Pers kalau pengertiannya hanya melindungi kebebasan institusi perusahaan pers, tetapi tidak sesuai perkembangan baru, maka prinsip itu bisa melanggar azas equality before the law.

Perusahaan pers sekarang makin terancam terdisrupsi menjadi content creator di hadapan platform global. Oleh karenanya lebih dilihat dari perspektif fungsinya. Yaitu menyampaikan fakta secara objektif. Podcast juga punya fungsi yang sama, dan dimungkinkan dalam menganalisis dan memberikan ulasan bisa mengikuti standar objektivitas yang berlaku sebagaimana standard jurnalistik dengan menjunjung tinggi factuality dan impartiality.

Kalau kemudian pers tradisional dan media baru diperlakukan berbeda oleh UU, maka UU itu bisa dicabar bertentangan dengan prinsip keadilan yang dijamin amanah konstitusi.

Pasal 1 ayat (3) dan pasal 27 ayat (1) UUD 45 : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Kalau podcast tidak dilindungi UU Pers padahal itu bagian dari perkembangan bentuk displaced journalist, maka pasal 1 ayat 1 UU Pers, mengenai apa itu pers tidak sesuai dengan perkembangan profesi jurnalistik di era digital.

Jika pers masih pakai makna lama, berarti bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) UUD 45 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” (Henri Subiakto).

Berita Terkini