Gerakan Rereongan 1000 Per Hari, Antara Semangat Solidaritas dan Catatan Kritis Tanggung Jawab Negara

Breaking News
- Advertisement -

 

Oleh: Doddie FT (Dosen UNPI Cianjur)

Beberapa waktu lalu, Gubernur Jawa Barat menerbitkan surat edaran tentang Gerakan Rereongan 1000 per Hari, sebuah ajakan bagi masyarakat, Aparatur Sipil Negara (ASN), dan pelajar untuk menyisihkan seribu rupiah setiap hari sebagai wujud solidaritas sosial.

Sekilas, gagasan ini terasa indah. Di tengah naik-turunnya ekonomi dan banyaknya warga yang kesulitan, ajakan untuk saling membantu adalah nilai luhur yang layak diapresiasi. Namun, di balik niat baik tersebut, terdapat sejumlah catatan kritis yang patut diperhatikan.

Secara kultural, rereongan adalah bagian dari DNA masyarakat Sunda. Ia merefleksikan semangat gotong royong dan kesetiakawanan yang menjadi ciri khas sosial masyarakat Jawa Barat. Dalam konteks ini, kebijakan gubernur sejatinya ingin menghidupkan kembali nilai solidaritas yang mulai luntur di tengah individualisme modern.

Namun, dari sudut pandang etika pemerintahan, kebijakan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah negara sedang memperkuat partisipasi warga, atau justru memindahkan sebagian tanggung jawabnya kepada masyarakat?

Pendidikan dan kesehatan adalah hak dasar yang dijamin konstitusi. Ketika pemenuhannya digantungkan pada donasi warga, muncul risiko pergeseran fungsi negara dari penanggung jawab menjadi penggerak donasi.

Selain itu, dalam struktur birokrasi yang hierarkis, ajakan gubernur bisa menimbulkan tekanan moral. ASN atau pelajar mungkin merasa “harus” ikut menyumbang agar tak dianggap menolak kebijakan pemerintah. Padahal, nilai rereongan sejati terletak pada kesukarelaan, bukan keterpaksaan.

Masalah lain terletak pada aspek tata kelola. Setiap pengumpulan dana publik tak peduli besar atau kecil memerlukan mekanisme transparansi yang jelas. Jika tidak, potensi kecurigaan atau penyalahgunaan akan selalu menghantui. Pengelolaan yang tidak akuntabel justru bisa merusak niat baik gerakan sosial itu sendiri.

Di sisi lain, akademisi dan masyarakat sipil memiliki peran penting untuk menjaga agar semangat rereongan tidak disalahartikan. Akademisi perlu hadir sebagai penyeimbang: melakukan kajian ilmiah, memberi masukan berbasis data, sekaligus mengingatkan pemerintah bahwa solidaritas sosial tidak boleh menggantikan kewajiban negara.

Gerakan rereongan akan bermakna jika dikelola secara partisipatif berbasis komunitas, bukan perintah dari atas. Jika warga dilibatkan dalam perencanaan, pengawasan, dan penggunaan dana, rereongan bisa menjadi model gotong royong baru yang berakar pada budaya lokal sekaligus modern.

Akhirnya, inti dari rereongan bukanlah soal uang seribu rupiah per hari, melainkan tentang membangun kepercayaan sosial. Kepercayaan itu hanya tumbuh jika kebijakan publik dijalankan dengan transparan, sukarela, dan berkeadilan. Tanpa ketiganya, rereongan berisiko berubah menjadi pungutan sosial baru yang mengikis kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.

Berita Terkini