Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
Mudanews.com OPINI – Kalau ada orang terkaya di dunia, mestinya ada dong orang termiskin di dunia? Itu pertanyaan iseng saya sambil seruput kopi sedikit gula aren? Saya tak tahu yang baca tulisan ini orang kaya atau miskin. Simak narasinya, wak!
Elon Musk lagi-lagi duduk di puncak daftar Forbes Oktober 2025, dengan kekayaan USD 490,8 miliar. Itu artinya, setiap detik ia bisa kehilangan USD 100 ribu tanpa sempat berkedip, dan masih sempat beli Tesla baru buat peliharaan. Dalam sebulan, saham Tesla naik 33%, X (Twitter) resmi jadi koloni AI senilai USD 45 miliar, dan dunia kembali membuktikan, semesta mungkin menciptakan bumi, tapi Elon menciptakan isinya. Sombong amat!
Larry Ellison nongkrong di posisi kedua dengan USD 341,8 miliar, Mark Zuckerberg di USD 251,5 miliar, sementara Jeff Bezos “tersingkir” ke urutan keempat dengan USD 232,5 miliar. Warren Buffett yang punya USD 148,3 miliar tampak seperti anak kos dengan saldo e-wallet sekarat. Kalau dikonversi ke rupiah, kekayaan Elon Musk setara dengan Rp 7.800 triliun. Artinya, ia bisa beli seluruh APBN Indonesia dua kali dan masih punya sisa buat bangun jembatan ke bulan, plus tol baliknya.
Tapi kita punya versi lokal. Prajogo Pangestu, si raja petrokimia, menatap dunia dari puncak daftar Indonesia dengan USD 41 miliar atau Rp 676 triliun. Ia bisa membeli seluruh penduduk Kalimantan Barat masing-masing satu motor listrik dan masih tersisa untuk mendirikan patung dirinya di setiap SPBU Pertamina. Di bawahnya, Low Tuck Kwong (USD 24,7 miliar) menambang batu bara dengan senyum arkais, seolah tahu bahwa energi fosil lebih awet dari cinta manusia.
Namun, dunia ini seperti sandiwara absurd yang disutradarai statistik. Karena saat Elon Musk menambah USD 75 miliar hanya dalam sebulan, Bank Dunia mencatat lebih dari 700 juta orang hidup dengan kurang dari USD 2,15 per hari. Artinya, setiap 10 menit, dunia melahirkan 1.000 orang miskin baru. Tidak ada majalah yang mau menulis daftar mereka, karena kemiskinan tidak punya foto dengan jet pribadi.
Indonesia, negeri yang konon kaya sumber daya dan miskin distribusi, mencatat 9,36% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan nasional. Garisnya Rp 550.458 per bulan, alias Rp 18 ribu per hari, angka yang bahkan tak cukup untuk beli gorengan, apalagi harapan. Versi Bank Dunia lebih sadis. Hidup dengan kurang dari Rp1 juta per bulan sudah tergolong kemiskinan ekstrem. Provinsi dengan angka tertinggi? Papua, NTT, dan Sulawesi Barat. Tempat di mana “mimpi” masih harus antre dengan “makan”.
Lalu muncul pertanyaan,“Bagaimana kalau semua orang jadi kaya?” Jawabannya, kiamat ekonomi. Tidak akan ada tukang parkir, tukang bakso, atau dosen bahasa Indonesia, karena semua sibuk jadi CEO startup spiritual. Nilai uang akan hancur, karena tidak ada yang mau kerja, semua ingin “investasi diri”. Ketika semua orang kaya, satu-satunya kemiskinan baru adalah kurangnya makna.
Filsafatnya begini, wak! Kaya bukan berarti berlimpah uang, tapi berlimpah waktu yang tidak perlu dijual. Orang miskin menjual waktu untuk hidup, orang kaya membeli waktu untuk tidak mati bosan. Elon membeli roket ke Mars untuk menghindari realitas. Sementara si buruh menatap langit yang sama, berharap hujan turun agar tanahnya lembek dan bisa ditanami.
So, dunia ini bukan tentang siapa punya uang terbanyak, tapi siapa paling pandai bersembunyi di balik sistem. Musk bersembunyi di balik saham, si miskin bersembunyi di balik utang, dan kita, manusia biasa, bersembunyi di balik harapan, esok harga bensin turun.
Pada akhirnya, mungkin kekayaan dan kemiskinan hanyalah dua bentuk ekstrem dari satu penyakit sosial yang sama, kehilangan rasa cukup. Elon membangun roket untuk lari dari bumi, si miskin menggali tanah untuk bertahan di bumi, dan keduanya sama-sama takut kehilangan sesuatu yang tak pernah mereka punya, ketenangan.***