Foto Suara
Oleh : Adv.Muhammad Joni,SH.,MH., Praktisi Hukum dan Sekjend PP IKA USU
Mudanews.com-Opini | Di sebuah universitas negeri di luar sana, seorang profesor berjalan anggun memasuki bilik pemungutan suara untuk memilih calon rektor. Kemeja batiknya rapi, kepalanya tegak, namun di dalam saku kemejanya tersembunyi selembar kertas kecil dengan nama kandidat yang harus dipilih.
Lebih ironis lagi, setelah dia menusukkan pena ke kertas suara, diam-diam memotret hasil pilihannya—lalu mengirimkannya ke sebuah grup pesan singkat. Bukti. “Saya sudah memilih sesuai arahan,” begitu kekira pesannya, dingin, mekanis, tanpa rasa.
Fenomena “gambar suara” bukan fiksi. Di Meksiko, Filipina, hingga Turki, praktik serupa menjadi instrumen politik uang dan tekanan kolektif. Foto suara dipakai untuk mengawasi loyalitas, menekan independensi, bahkan memastikan bahwa transaksi politik punya “jaminan eksekusi.” Itu bukan demokrasi. Melainkan teater bayangan, di mana kebebasan memilih dipreteli menjadi formalitas belaka.
Nun di belahan planer bumi sebelah sana. Meksiko (2012, Pemilu Nasional): R ibuan laporan menyebut pemilih diminta memotret surat suara mereka untuk membuktikan dukungan kepada partai tertentu. Sebagai imbalannya, mereka mendapat uang tunai, kupon belanja, hingga voucher telepon genggam. Demokrasi berubah jadi lelang murah, suara rakyat jadi komoditas.
Pun di Filipina (2016, Pemilu Presiden): Praktik “vote buying” disempurnakan dengan teknologi. Pemilih diinstruksikan membawa ponsel. Lalu memotret bukti pilih, maka dan maka menerima uang di luar TPS. Mahkamah Agung Filipina menyebutnya “epidemi demokrasi.”
Turki (2018, Pemilu Erdogan): Foto suara dipakai kelompok partisan untuk mengintimidasi pemilih di basis minoritas. Mereka diminta menyerahkan “gambar suara” sebagai syarat keamanan diri dan keluarga. Sebuah instrumen kontrol sosial yang mengiris demokrasi. Bangkainya bau dan ngeri.
Kembali ke kisah profesor yang mencoblos untuk penyaringan calon rektor. Apakah dia korban tekanan, atau bagian dari mesin politik kampus? Profesor a.k.a guru besar mestinya mata air kebijaksanaan. Benteng besar penjaga integritas ilmu-cum-nalar. Tapi ketika tangan yang mestinya menggores pena akademik justru mengirim foto suara ke “donatur politik kampus”, bukankah itu akal besar dengan etika kerdil—atau mungkin etika stunting?
Alahai, kampus kelen rusak menjadi panggung miniatur demokrasi bangsa. Jika di ruang paling terdidik saja suara diperdagangkan, maka jangan heran bila bangsa lebih luas ikut belajar menjual keyakinan dengan harga recehan. Profesor itu, entah siapa namanya: bukan sekadar individu, tapi dia adalah simbol: bahwa cendekiawan pun bisa terjerat lumpur kekuasaan.
Teori yang Membungkus Fakta
Ilmu politik menyebut ini clientelis hubungan patron-klien di mana suara menjadi barang dagangan. Dengan patron memberi insentif dan klien memberi kepatuhan. Dalam teori political pressure disebut “compliance by surveillance”; patuh karena diawasi. Foto suara adalah CCTV demokrasi. Saksi bisu yang bersuara lantang bahwa kebebasan akademik hanyalah mitos.
Jika meminjam nalar analisis “mahzab” Grishamian mungkin menulisnya sebagai thriller hukum: seorang profesor dituntut di pengadilan etik karena “jual suara.” Novelis sekelas “guru besar” susastra Andrea Hirata mungkin menuliskannya lirih: suara yang mestinya murni, kini jadi barter murahan, suara profesor yang mestinya sakral. Aduhmak, kini lebih hina dari selembar voucher parkir.
Dentuman Penutup
Demokrasi akan mati bukan karena kudeta, tapi karena orang-orang berpendidikan tinggi ikut merelakan dirinya menjadi kaki tangan tekanan politik. Jika profesor pun tunduk, etika-moral dirompak, siapa lagi yang akan berdiri menjaga demokrasi juncto kebebasan akademik?
Ketahuilah majelis pembaca. Kampus tanpa integritas hanyalah pasar gelap intelektual. Dan profesor yang mengirim foto suara itu, setujukah anda hal iku tak lebih dari guru besar dengan akal kecil—etika kerdil, moral yang stunting. Tabik.