Oleh: Lukas Luwarso
Mudanews.com OPINI – Statistik dan politik adalah kombinasi berbahaya. Bagi politikus lancung, statistik bisa menjadi “senjata penyesat massal”. Darrell Huff dalam buku _How to Lie with Statistics_ (1954) pernah menyatakan: statistik tidak netral, bisa dipakai untuk menyesatkan fakta, meyembunyikan persoalan. Atau menyepelekan tragedi kemanusiaan.
Dengan mengutak-atik statistik, menyajikan angka dan persentase secara serampangan, kinerja ecek-ecek bisa dibesar-besarkan. Atau sebaliknya, problem besar disepelekan. Pernyataan Presiden Prabowo terkait kasus keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah contoh politik statistik.
Dengan menyebut “cuma 0,00017% yang keracunan dari 30 juta penerima,” tragedi MBG disepelekan menjadi angka yang tak bermakna. Penderitaan dan kesakitan anak-anak sekolah, serta ketakutan orang tua, seolah lenyap non-eksisten. Statistik bukan dipakai untuk mengungkap kebenaran perkara, melainkan untuk menyumbat kekhawatiran publik.
Mengubah penyebut _(changing the denominator),_ menurut Darell Huff, adalah trik tipu-tipu statistik yang sering dipakai. Menyebut “8000 murid keracunan MBG”, pasti sangat mengagetkan dan menakutkan. Namun saat angka penyebut–yang faktual sangat besar–itu dibagi dengan 30 juta penerima, maka terasa sangat mungil, tak berarti secara psikologis.
Padahal, satu anak–apalagi satu sekolahan– keracunan akibat makanan yang “diwajibkan” negara adalah indikasi kegagalan atau korupsi sistemik. Bayangkan, jika maskapai Garuda menutupi keteledoran sistem yang berakibat pewat jatuh menewaskan seluruh penumpangnya. Alih-alih mengungkap kesalahan, menteri Perhubungan berdalih dengan angka statistik: “Tenang, penerbangan tetap aman, hanya 0,00017% korban pesawat jatuh dari 30 juta penumpang tahun ini.”
Prabowo memainkan narasi politik: tidak ada masalah dengan program MBG. Kesalahan sistemik tidak signifikan, angka tragedi sangat kecil. Pertunjukan MBG harus terus berlanjut, tak soal kualitas makanan dan cara penyajiannya membahayakan. Dana ratusan triliun harus dicairkan untuk perbaikan gizi. Pertanyaannya, gizi siapa yang ingin diperbaiki melalui program ambisius ini?
Politikus negeri ini perlu belajar untuk berhenti berdalih atas inkompetensi atau keteledorannya. Bangsa ini kerap tertimpa tragedi,, dari tragedi G30S/PKI (plus Gestok) — pembunuhan massal warga yang dianggap terafiliasi PKI, hingga tragedi perkosaan massal yang menimpa perempuan Chindo pada 1998. Secara statistik korban dua tragedi besar ini mungkin “hanya nol koma sekian persen.” Namun tragedi dan penderitaan manusia tidak semustinya ditilik melalui angka statistik.
Menyulap tragedi menjadi angka adalah upaya menghibur diri, pelipur lara atas ketidak-becusan kinerja. Menyepelekan tragedi MBG menjadi angka persentase presentasi PowerPoint, seolah program berjalan baik, adalah satu kebohongan.
Dalam politik, menurut PM Inggris, Benjamin Disraeli, ada tiga jenis kebohongan, yaitu: “kebohongan, kebohongan terkutuk, dan statistik” _(lies, damn lies, and statistics)._
Memakai statistik untuk tujuan politik, dengan memanipulasi persepsi atau membuat argumen menyesatkan, sudah sering dipakai 10 tahun terakhir. Ditandai dengan munculnya sejumlah lembaga survey bayaran yang surveyornya kemudian mendapat posisi atau jabatan di kekuasaan. Praktik manipulatif ini tidak semustinya berlanjut, karena bisa membawa tragedi pada bangsa ini.
*****