Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
Mudanews.com OPINI – Tak terasa kita ketemu lagi 30 September. Setiap tanggal itu muncul, negeri ini selalu diingatkan dengan sosok fenomenal, DN Aidit. Katanya, dialah dalang di balik pembantaian para jenderal di Lubang Buaya. Mari kita ungkap sejarah ini dan mengenal Aidit sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Nama itu masih bergetar di telinga sejarah Indonesia, Dipa Nusantara Aidit. Nama lahirnya sebenarnya Achmad Aidit, dipanggil Amat di masa kecil, seorang bocah yang pernah menjadi muazin dan khatam Alquran di Tanjungpandan, Belitung. Ia lahir 30 Juli 1923, dari keluarga yang tampak sederhana tapi sarat dengan tradisi pendidikan dan agama. Ayahnya, Abdullah Aidit, seorang tokoh pendidikan Islam sekaligus mantri kehutanan, mendirikan organisasi Nurul Islam. Ibunya, Mailan, berasal dari keluarga ningrat Belitung, berakar Minangkabau. Dari rahim itu lahirlah seorang anak yang kelak menantang takdir sejarah.
Aidit kecil mengenyam HIS di Bangka, lalu hijrah ke Jawa. Ia sempat tinggal bersama Isa Anshari di Bandung, seorang tokoh Islam yang kelak justru menjadi lawan politiknya. Ia belajar di Sekolah Dagang (Handelsschool), lalu mendirikan usaha jahit “Antara” di Senen, Jakarta. Di tempat kecil itu, para aktivis dan seniman berkumpul, bertukar ide, menganyam cita-cita. Aidit, bocah Belitung yang khatam Quran, perlahan berubah menjadi pemuda haus ideologi.
Keluarga tetap melekat. Ia menikah dengan Soetanti pada 1948 dan dikaruniai lima anak. Adik tirinya, Sobron Aidit, kelak menulis catatan getir tentang sang abang. Buku-buku seperti Aidit Dua Wajah Dipa Nusantara atau Aidit: Abang, Sahabat, dan Guru di Masa Pergolakan mencoba menjelaskan paradoks itu, bagaimana anak alim yang mengumandangkan azan bisa bertransformasi menjadi pemimpin komunis.
Karier politiknya meledak cepat. Bergabung dengan Perhimpunan Demokratik Sosial Hindia Belanda, yang kemudian menjadi cikal bakal PKI, ia naik menjadi Sekretaris Jenderal PKI sejak 1951 hingga 1965. Di bawah kepemimpinannya, PKI menjelma raksasa. Dengan jutaan anggota, PKI menjadi partai komunis terbesar di luar blok Soviet dan Tiongkok. Aidit pandai bermanuver, mendekatkan diri kepada Sukarno, bahkan mencoba merangkul militer. Di parlemen, di jalanan, hingga di sawah dan pabrik, nama Aidit bergema.
Namun sejarah adalah panggung tragis. Malam 30 September 1965 menjadi titik balik. Sejumlah jenderal TNI AD diculik dan dibunuh. Aidit segera dituding sebagai arsitek G30S. Apakah benar ia dalang utama? Orde Baru menuliskan demikian dengan tinta tebal. Tetapi sejarawan lain menyebut Aidit hanyalah aktor yang terseret arus, atau bahkan pion dalam catur Perang Dingin. Ada yang mengatakan ia berada di Halim malam itu, ada yang menyangkal. Yang pasti, setelah kudeta gagal, Aidit melarikan diri. Dari tokoh paling berkuasa, ia berubah menjadi buronan yang bersembunyi di semak-semak Jawa Tengah.
Tanggal 22 November 1965, drama itu tamat. Aidit ditangkap di Boyolali, lalu dieksekusi kilat, tanpa pengadilan, tanpa pidato perpisahan. Peluru menutup hidupnya, tapi membuka kontroversi panjang. Sebagian mengutuknya sebagai pengkhianat, sebagian lain menyebutnya revolusioner yang kalah dalam pertarungan global.
Aidit adalah nama dengan dua wajah. Seorang anak alim yang dibesarkan dalam keluarga religius, sekaligus pemimpin partai komunis yang menggetarkan republik. Ia bisa dikenang sebagai pengkhianat, bisa juga dibaca sebagai korban geopolitik, produk zaman di mana Indonesia dijadikan gelanggang Perang Dingin. Dari Belitung ke Boyolali, dari muazin ke ideolog, dari mimpi ke tragedi, Aidit adalah cermin buram sejarah bangsa, penuh darah, penuh mitos, penuh pertanyaan yang tak pernah tuntas dijawab.
Selamat jumpa (kalau panjang umur) pada 30 September tahun depan. Nama DN Aidit pasti akan muncul lagi di tanggal itu***

