Raja Ulugh Beg, Rektor Bintang Dibunuh Intrik (3): Observatorium  Langit

Breaking News
- Advertisement -

by: Muhammad Joni

Mudanews.com-Opini | Malam itu angin Samarkand mengendus batu-batu tua. Di atas sebuah bukit kecil, sisa-sisa observatorium Ulugh Beg berdiri seperti jamur arkeologis: tidak angkuh, namun menuntut rasa ingin tahu.

Bayangkan sebuah cincin marmer besar — lengkungan meridian yang menjorok, sebagian tertanam dalam parit agar tak perlu membangun menara segunung tinggi — itulah jantung instrumen yang membuat para ilmuwan muda di Samarkand bisa “mengukur” langit sampai detik yang nyaris tak terbayangkan pada zamannya.

Kita bisa mengubah bab sejarah jadi adegan percakapan. Mari dengarkan. “Naik ke tangga, Nasir,” ujar Ulugh Beg, suaranya tenang namun tegas, ketika seorang asisten membawa papan catatan malam itu.

“Taruh tanda pada garis itu persis di sini — lagi-lagi. Bintang tidak pernah bosan mengulang kebenarannya.”

Nasir, jari-jarinya dingin dari malam, menatap skala marmer yang dibagi sampai ketelitian menit dan detik — pembacaan yang, jika salah, berarti pergeseran seluruh tabel. “Bagaimana, Yang Mulia? Lima detik?”

Ulugh Beg tersenyum tipis. “Bintang tidak berbohong. Hanya manusia yang suka berkolusi dengan kesombongan.”

Dialog ini bukan kutipan literal dari prasasti; ini fiksi naratif. Tapi dari ruang-ruang seperti itulah data lahir—dari asisten yang menuruni tangga, dari pena yang menggaruk kertas, dari diskusi yang kadang memanas seperti sidang.

Dan alat utama diskusi itu adalah sextant raksasa — sebuah lengkung meridian beradius sekitar 40 meter, sebagian terbenam dalam parit, sebuah mahakarya teknik yang memungkinkan pengukuran sampai ke beberapa detik busur, sesuatu yang dunia belum sering lihat.

Ulugh Beg tidak bekerja sendiri. Di sampingnya ada ahli seperti Ali Qushji dan Jamshid al-Kashi — ilmuwan yang mengubah madrasah menjadi laboratorium pengamatan.

Mereka membuat tabel. Menghitung ulang nilai obliquity (kemiringan bumi). Menyusun katalog bintang yang diberi nama Zij-i Sultani — katalog yang merinci hampir seribu bintang dengan ketelitian luar biasa. Sebuah rujukan yang bertahan berabad-abad. Ketelitian itu bukan sekadar angka pamer; ia menjadi tolok ukur ilmiah yang kemudian dibaca di Timur dan Barat.

Di sela-sela perhitungan yang rumit muncul kecaman. Seorang qadi (hakim agama) berkepala plontos datang menghampiri. Dia mengernyitkan dahi pada batu marmer yang memantulkan cahaya bulan. “Mengapa Yang Mulia sibuk dengan bintang?” sindirnya, setengah pedas, setengah pedih.

“Tuhan sudah atur semua. Bukankah doa dan tafsir jauh lebih mulia daripada mengukur?”

Seorang mahasiswa—lebih muda, lapar akan angka—membalas dengan nada sarkastik: “Tuan Qadi, jika Tuhan memberi kita akal, bukankah akal itu untuk digunakan? Jika bintang berbicara dalam bahasa angka, bukankah wajib bagi kita mempelajarinya?”

Qadi menatap mereka seperti hakim yang mempertanyakan otoritas baru dalam kota: ilmu empiris yang menuntut waktu, ruang, dan prioritas dari istana.

Dan di sinilah drama politik mengendap: ilmu butuh patronase, patronase butuh dukungan, dukungan bisa tumpah menjadi persaingan.

Itulah tragedi yang akan datang. Ketika politik berubah, ketika suksesi menjadi pisau yang menggerogoti keluarga Timurid, ilmuwan menjadi korban.

Ulugh Beg — yang memilih pena dan pengamatan di atas palu dan panji — akhirnya kehilangan nyawanya pada 1449 dalam pergulatan intra-keluarga dan intrapolitik.

Setelah kematiannya, observatorium runtuh: peralatan rusak, banyak ilmuwan melarikan diri, dan situs itu ditelantarkan sampai penggalian modern menemukan fondasi marmernya. Runtuhnya lembaga itu bukan sekadar hilangnya batu; ia adalah hilangnya sebuah komunitas ilmu.

Tapi sains yang baik tidak berakhir bersama pembunuhnya. Zij-i Sultani terus beredar: salinan-salinan manuskrip melintasi Asia, sampai ke India, ke Anatolia, ke perpustakaan Eropa.

Ali Qushji dan murid-muridnya menjadi jembatan intelektual—membawa metode observasi, tabel trigonometri, dan diagram yang kelak memberi inspirasi pada matematikawan dan astronom Eropa.

Dengan cara inilah warisan Samarkand menyelinap ke Renaisans yang berjarak ratusan tahun dan ribuan kilometer. Ilmu itu, seperti virus yang damai, menular.

Sedikit sarkasme menempel pada meja laboratorium sejarah: negeri-negeri bisa menata monumen, menaruh patung, tetapi sering lupa merawat perangkat yang membuat monumen itu berarti.

Di Samarkand, makam-makam dan fasad biru dibiarkan menjadi panggung foto; di bawahnya pernah berkumpul generasi yang mengukur musim, gerak bulan, dan menguji hukum langit dengan presisi yang menantang klaim tak terbantahkan.

Salah seorang siswa, menatap jejak marmer yang kini bocor dimakan zaman, menunduk: “Kita mendirikan sekolah untuk memelihara masa depan. Tapi masa depan kadang tidak mau dilahirkan oleh mereka yang memegang kekuasaan.”

Jika Bab 2 menggambarkan Registan sebagai kampus, maka Bab 3 ini adalah ode untuk laboratorium: tempat di mana teori bertemu alat, dan keberanian intelektual diuji oleh politik.

Ulugh Beg membangun lebih dari sebuah observatorium; dia menata sebuah komunitas ilmiah—asrama bagi astronom, bengkel bagi matematikawan, dan ruang debat yang tak kalah panasnya dengan sidang pengadilan.

Ia memaksa kota yang dibangun dari pedang untuk beralih — sebentar saja — menjadi kota yang menimbang langit dengan neraca angka.

Akhirnya, sarkasme terakhir ditulis oleh waktu: batu tetap biru, kubah tetap memantul, turis memotret wajah-wajah yang berdiri di Registan.

Namun bagi yang tahu membaca bekas-bekas marmer, ada pesan yang masih basah: jangan takut memadukan doa dengan data; jangan biarkan politik mematikan laboratorium; jangan jadikan kebanggaan nasional sekadar patung tanpa gugus ilmuwan yang menghidupkannya.

Tabik.

*) Muhammad Joni, SH.MH.,  Sekjen PP IKA USU, Ketua bidang Sospol, Hukum dan Advokasi PB ISMI (Ikatan Sarjana Melayu Indonesia), Advokat di Jakarta, E:  jonitanamaslaw@gmail.com

Berita Terkini