Astacita Prabowo – Pancasila Bung Karno, Dua Era di Forum PBB

Breaking News
- Advertisement -

Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed

Mudanews.com OPINI – Enam puluh lima tahun lalu, 30 September 1960, seorang presiden dari negara muda bernama Indonesia berdiri di podium PBB. Ir. Soekarno, dengan suara lantang yang bergetar penuh keyakinan, menantang dunia yang kala itu terbelah oleh Perang Dingin. Dunia hanya mengenal dua kutub kekuasaan: Amerika Serikat dan Uni Soviet. Tetapi Bung Karno hadir sebagai suara ketiga. Suara dari bangsa-bangsa yang baru lahir, dari dunia yang saat itu disebut “dunia ketiga”.

Bung Karno tidak sekedar mengkritik kolonialisme dan imperialisme yang masih bercokol. Ia menawarkan sesuatu ykni Pancasila. Filosofi lima dasar yang diracik dari pengalaman bangsa Indonesia, ia ajukan sebagai jalan tengah, sintesis dari pertentangan ideologi dunia. Dunia yang damai, kata Bung Karno, hanya bisa lahir di atas keadilan. Dan keadilan hanya mungkin bila tidak ada lagi eksploitasi bangsa atas bangsa, manusia atas manusia.

Pidato itu mengguncang ruang sidang PBB. Negara-negara Asia-Afrika bertepuk tangan panjang. Barat mendengarkan dengan waspada. Dunia tahu, ada suara baru yang berani melawan arus.

Hari ini, 22 September 2025, di podium yang sama, seorang Presiden Indonesia lain akan bicara, Prabowo Subianto. Dunia menunggu, apakah ia akan melanjutkan gema Bung Karno, atau sekadar menjadi suara formal dalam diplomasi global yang kian hambar.

Situasi memang sudah berbeda. Kolonialisme klasik sudah tiada, tetapi bentuk barunya hadir, ketergantungan pangan, dominasi energi, monopoli teknologi, serta standar ganda dalam konflik internasional. Dunia kini bukan lagi Perang Dingin, melainkan perang dingin baru antara Amerika dan Tiongkok. Perang di Ukraina, genosida di Gaza, ketidakpastian iklim, krisis pangan dan energi, semuanya menghimpit negara berkembang.

Prabowo membawa Astacita delapan cita-cita besar pemerintahannya, untuk diperkenalkan ke dunia. Ada kemandirian pangan, energi, dan air. Ada pertahanan yang kuat. Ada janji membangun manusia unggul, ekonomi berkeadilan, serta komitmen pada lingkungan hidup berkelanjutan. Ada pula penegasan peran Indonesia dalam perdamaian dunia.

Astacita ini bisa menjadi jawaban praktis atas persoalan global, sebagaimana dulu Pancasila ditawarkan sebagai jawaban filosofis. Dunia mungkin lelah dengan jargon-jargon kosong. Dunia butuh solusi nyata. Jika Bung Karno hadir dengan idealisme yang membakar, Prabowo diharapkan hadir degan pragmatisme yang membumi.

Namun, ada yang perlu digarisbawahi bahwa dunia tidak akan ingat teknis program, tetapi dunia akan ingat suara moral. Bung Karno dikenang karena keberaniannya mengusulkan dunia baru yang adil. Jika Prabowo hanya bicara tentang investasi, perdagangan, atau kerja sama teknis tanpa menyentuh nurani global, pidatonya akan hilang ditelan rutinitas diplomasi.

Bangsa ini sudah dua kali punya kesempatan emas di podium dunia. Pertama, Bung Karno dengan Pancasila. Kedua, hari ini dengan Prabowo dan Astacita. Pertanyaannya sederhana: apakah Prabowo akan berani berbicara lantang sebagai juru bicara bangsa-bangsa tertindas, atau ia memilih aman sebagai pemimpin yang hanya membaca teks diplomatik?

Sejarah akan menilai. Dunia akan mengingat. Dan kita, rakyat Indonesia, berhak berharap bahwa suara Indonesia tetap menjadi suara hati nurani dunia.

Kalibata, Senin 22 September 2025, 10:45 Wib.

Berita Terkini